Pdt. Bigman Sirait
Follow Twitter: @bigmansirait
Istilah ‘reformasi’ mulai akrab di telinga orang-orang Indonesia menjelang kejatuhan Orde Baru. Istilah ini digulirkan para mahasiswa dalam upaya menghadirkan perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara. Setelah Soeharto tumbang, Mei 1998, Indonesia memasuki era baru yang disebut sebagai era reformasi. Di era ini, rakyat mengharapkan suasana kehidupan berbangsa dan bernegara yang benar-benar tenang, aman, damai, sejahtera, adil. .
Namun impian masyarakat Indonesia tentang negeri yang gemah ripah loh jinawi itu nampaknya tidak segera terwujud. Kebebasan yang seolah tanpa batas – sebagai konsekuensi terbukanya keran reformasi – membuat rakyat lupa diri. Setiap orang – atas nama kelompok mayoritas, misalnya – merasa memiliki kebebasan melakukan apa saja, termasuk menghalangi umat lain melakukan ibadah agamanya. Itu hanyalah secuil contoh dari buah reformasi yang kelahirannya tergolong prematur itu.
Bercermin dari kondisi negara yang amburadul ini, kita pun lantas bertanya-tanya tentang manfaat reformasi bagi kita. Sesungguhnya, reformasi yang bagaimana yang diperlukan bangsa ini? Reformasi yang sejati, atau reformasi oleh Kristus, itulah jawabannya.
Injil, adalah sesuatu kekuatan yang mampu atau bisa melakukan reformasi yang sejati itu. Injil adalah pusat reformasi yang sesungguhnya. Injil, kematian Kristus, penebusan dosa, memuaskan tuntutan Allah di dalam Kerajaan Sorga. Allah yang suci, sehingga Kristus rela menjadi tumbal, menjadi korban atas dosa yang tidak pernah dilakukanNya, menjadi korban atas dosa-dosa manusia, termasuk manusia yang menyalibkannya.
Reformasi yang sejati atau reformasi oleh Kristus, sangat penting kita kedepankan. Pasalnya – seperti telah disinggung di atas – dewasa ini pengertian reformasi menjadi agak rancu karena pemakaiannya yang kurang tepat. Reformasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perubahan yang radikal. Jadi reformasi adalah perubahan yang radikal. Ada pula yang meminta agar perubahan itu dilakukan secara gradual (bertahap), dan ini berlawanan dengan pengertian dalam kamus tadi. Kita tidak tahu mana yang harus dipegang: kamus atau permintaan tadi.
Sementara itu, para demonstran menuntut reformasi total. Padahal sebenarnya reformasi itu tidak bisa secara total, sebab reformasi adalah perubahan yang radikal. Dengan penjelasan itu, mengertilah kita bahwa istilah yang tepat dalam konteks ini bukanlah reformasi, tetapi transformasi, yang artinya perubahan. Alasannya, transformasi adalah perubahan yang bisa berlangsung lambat, cepat atau secara bertahap, disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan, sembari mencari suatu pola yang dinilai ideal. Jadi, mengutip pernyataan sejumlah tokoh, dewasa ini kita tidak sedang mengalami reformasi, tetapi transformasi yaitu mengalami perubahan untuk mencari satu bentuk yang ideal.
Dalam sejarah gerakan reformasi yang berlangsung pada abad pertengahan (sekitar abad XV), ada kekuatan dahsyat yang membawa gereja kembali kepada kebenaran. Dari kalimat ini dapat diketahui bahwa gereja pernah benar, gereja pernah setia. Tetapi dalam perjalanannya gereja pernah salah, menyeleweng, lari dari rel-nya. Itulah sebabnya, di dalam pelariannya, di dalam kesalahannya, gereja perlu dan harus kembali ke terminal yang sebenarnya, pada kebenaran yang seharusnya. Dengan kekuatan gerakan reformasi itu, gereja dibawa kembali ke rel-nya. Dalam kehidupan gereja, prinsip-prinsip sola gracia, sola vide, sola scriptura, perlu ditegakkan lagi, untuk kembali setia kepada Alkitab.
Slogan-slogan itu bukan baru, sebab sudah ada di dalam Alkitab. Tetapi slogan atau prinsip itu mengajak semua orang percaya (yang sudah sempat melenceng dari rel keyakinan) untuk kembali kepada Tuhan, kembali setia kepada Alkitab. Jadi, reformasi adalah membawa orang yang sudah kembali itu kembali kepada basic-nya, di-reform kembali kepada formatnya, kembali pada yang asli, mundur (retreat), menarik diri dari keramaian, masuk ke dalam kesepian untuk merenung ulang, menemukan jati diri, menemukan kebenaran itu. Itulah reformasi yang sebenarnya. Jadi kita di sini perlu memahami secara sungguh-sungguh bahwa reformasi itu menuntut, memerlukan suatu terminal, tempat berpijak yang tepat. Tempat berpijak itu adalah kebenaran yang mutlak.
Nah, saudara-saudara yang kekasih, di sini saya mengulangi dan mengingatkan kembali, bahwa reformasi yang bersumber dari Kristus itulah yang tepat bagi kita semua. Namun, tidak ada salahnya jika kita diingatkan supaya jeli dalam menempatkan suatu kata atau menggunakan suatu istilah sehingga pas dan jelas.
Sekali lagi, reformasi dalam konteks kita kali ini adalah kembali ke terminal. Sedangkan untuk Indonesia saat ini, yang paling cocok adalah istilah transformasi. Sebab kalau dikatakan reformasi, kita mau kembali ke terminal yang mana? Tuntutan ‘reformasi’ masyarakat luas supaya Undang Undang Dasar (UUD) 45 diamandemen (diubah/direvisi), sudah dikabulkan. Masa jabatan presiden sudah dibatasi hingga dua periode. Tetapi perubahan itu tidak bisa dengan reformasi, tetapi transformasi, berubah, dan itu penting bagi kehidupan suatu bangsa.
Meski demikian, setiap kita pun perlu memeriksa diri sendiri apakah selalu mengalami reformasi? Karena reformasi itu bersifat ‘senantiasa’. Artinya, kita harus senantiasa diperbaharui. Jadi dalam konteks waktu, reformasi itu selalu memperbaharui kehidupan orang-orang percaya, selalu memperbaharui hidup orang-orang Kristen. Dia senantiasa menuntut pembaharuan. Dan kita setiap hari perlu diperbaharui. Tetapi oleh siapa? Oleh Yesus Kristus yang telah berfirman kepada kita. Maka firman itu telah berbicara supaya kita selalu diperbaharui setiap hari, setiap pagi kita merasakan kasih yang baru dari Tuhan kita yang hidup, sehingga pembaruan yang berlaku terus-menerus itu membawa kita makin menyerupai Dia, Tuhan dan juru selamat kita. Sehingga kita kembali kepada citra kita yang semula, kepada gambar kita. Itulah sifat reformasi yang utama. ***