Pdt. Bigman Sirait
Follow Twitter: @bigmansirait
Tahun ini – 2004 – boleh jadi merupakan ‘tahun pemilihan umum (pemilu)’ bagi bangsa Indonesia. Tanggal 5 Mei lalu, kita sudah memilih anggota legislatif. Dua bulan setelah itu, yakni 5 Juli, kita sudah pula melakukan pemilihan presiden (pilpres). Pada putaran pertama pilpres itu tampil lima pasang calon presiden (capres)–calon wakil presiden (cawapres). Berhubung pada putaran pertama itu belum ada yang terpilih, maka pilpres putaran kedua akan dilaksanakan pada 20 September nanti, sampai terpilih seorang presiden dan wakilnya yang akan memerintah negeri ini hingga tahun 2009.
Dengan demikian, pemilu kali ini berbeda dibanding yang sudah-sudah. Dulu, rakyat hanya memilih partai politik (parpol). Lalu parpol menentukan komposisi wakil-wakil rakyat. Selanjutnya para wakil rakyat memilih presiden dan wakilnya. Sekarang, rakyatlah yang harus memilih sendiri pimpinan nasionalnya.
Seperti disinggung di atas, pada putaran pertama ada lima pasangan capres-cawapres yang disodorkan kepada rakyat. Berdasarkan perolehan suara tertinggi, dua pasang capres-cawapres kini sudah tersaji di hadapan rakyat. Kita sebagai pemilih akan menentukan siapa di antara mereka yang akan menjadi junjungan kita selama lima tahun ke depan. Memilih satu di antara dua, seringkali bukan sesuatu yang sederhana. Apalagi menyangkut pimpinan nasional, yang diharapkan pula mampu membawa bangsa dan negara ini keluar dari jurang keterpurukan, menuju arah yang didambakan rakyat banyak.
Sebagai pemilih, kita harus menyadari konsekwensi pilihan, bisa menjadi baik atau buruk. Di sini, gereja harus berhati-hati memainkan sikapnya. Gereja mesti memainkan perannya sebagai kontrol sosial, menyuarakan suara kenabian, bukan bersikap pro atau kontra. Tidak perlu menjadi oposisi, benar adalah benar, salah adalah salah. Gereja mesti elegan memainkan peran seperti ini. Oleh karena itu, gereja harus belajar berdemokrasi. Bagaimana kita menuntut suatu demokrasi murni, di mana rakyat mempunyai kedaulatan yang dipercayakan kepada pemerintah dan pemerintah harus mempertanggungjawabkan itu secara utuh kepada rakyat, kalau gereja tidak memulai?
Pemilih harus cermat menilai program yang ditawarkan sewaktu kampanye. Misalnya, ada yang menjanjikan pendidikan gratis. Jika ternyata janjinya itu tidak ditepati setelah terpilih, jangan mengomel. Jika ini terjadi, kita sendiri yang bodoh, percaya begitu saja pada mulut orang. Kenapa tidak melihat tingkah laku orang yang ngomong itu seperti apa? Siapa yang bicara? Apakah janji-janjinya itu memang realistis untuk diwujudkan?
Sebenarnya, sebagai warga yang sudah sering ikut pemilu, kita sudah bisa mengetahui apakah janji-janji kampanye itu akan dilaksanakan atau tidak. Tetapi kita memang tidak pernah mau belajar. Bahkan sebaliknya, masih bisa terus dibodoh-bodohi. Apakah karena kita memang bodoh? Bisa ya, bisa juga karena kita memang tidak mau tahu alias masa bodoh. Oleh karena itu dengan menyadari hal ini, gunakan hak pilih sebaik-baiknya, dengan hati-hati. Ketika orang Israel mau memilih raja, Tuhan sudah memberitahu konsekwensinya lewat Samuel. Tetapi mereka ngotot supaya diberikan raja. Belakangan, setelah mereka kacau balau, baru berteriak-teriak pada Tuhan. Jangan mau mengulangi kesalahan yang sama.
Saat ini ada dua pasangan capres-cawapres yang tersaji. Telitilah, siapa yang paling pantas dipilih. Seandainya tidak ada yang pantas, jangan dipilih. Misalnya, jika di antara yang disodorkan itu ada pembunuh, penipu, maling, tidak pantas menjadi pemimpin, jangan dipilih. Gunakan nurani. Peka. Kalau kita punya hak memilih, kita juga punya hak untuk tidak memilih, toh? Tetapi syukurlah, dari sejumlah capres-cawapres yang ada saat ini, paling tidak ada masih ada yang pantas untuk dipilih, walau mungkin belum memenuhi seluruh standar yang kita dambakan. Meski demikian, gunakan hati nurani secara bebas dan personal. Jangan memilih karena anjuran pemimpin gereja, tok. Bukan pula karena anjuran orang-orang tertentu yang tidak kita ketahui apakah itu murni atau tidak. Dengan hati nurani, dengan kepekaan, dengan pemahaman, dengan pengetahuan, kita melihat. Hati nurani yang peka menjadi sangat penting dalam saat-saat seperti ini.
Seandainya orang Israel mau memakai hati nuraninya, mereka tentu tidak akan mau memaksa agar diberikan seorang raja. Mereka menolak perkataan Samuel, padahal itu suara Allah. Di sini, kita harus berani bersikap sebaliknya dengan orang Israel. Artinya kita harus berani menolak yang tidak benar, menerima yang benar. Jadi hati nurani harus benar-benar dipakai. Tanyakan diri sendiri, “Apakah capres yang ada sesuai dengan pimpinan Tuhan, common grace, anugerah umum Allah?” Bermutu enggak? Berbobot enggak?
Dalam menentukan pilihan, gunakan akal budi, bukan emosional. Pada kampanye-kampanye lalu, pada umumnya hanya emosi yang diumbar, akal budi kurang diperhatikan. Tidak diperlihatkan elegansi di mana kita bisa menarik suatu pelajaran. Yang namanya debat presiden pun, harus dicermati secara proporsional. Sebab tentu akan sangat menyedihkan jika seseorang menjadi presiden hanya karena menang debat. Karena debat bisa memancing emosi, yang secara akal budi belum tentu benar. Dari sini kita mesti belajar banyak. Saya harap orang Kristen-lah yang dapat belajar secara lebih cepat dan lebih banyak. Jadi, pakai akal budi.
Pemilih harus menggunakan data-data yang ada secara akurat. Jangan mudah terpengaruh, dibodohi dan dicekoki dengan data-data palsu. Jadi tidak ada salahnya membaca-baca buku, kliping tentang sepak terjang-latar belakang calon pilihan. Tidak ada salahnya jika kita mengoreksi putusan pilihan lalu yang salah. Misalnya, jika pilihan kita yang dulu ternyata tidak benar dalam kiprahnya setelah menjabat sesuatu posisi di pemerintahan, jangan dipilih lagi, walaupun dia berteriak-teriak sebagai benar. Sebaliknya, kalau dia memang benar, kita pun mesti berani memilih dia sekalipun banyak orang yang cemburu kepadanya dan mengatakan dia tidak benar.
Jadi di sini kita harus pula memainkan peran sebagai pengoreksi supaya yang benar ditegakkan sebagai benar, dan yang salah ditolak. Kita harus menegakkan keadilan, kebenaran, dan kejujuran. Jangan memilih capres A karena ditekan oleh seseorang. Beranilah menolak untuk memilih seseorang capres yang tidak sesuai dengan nurani, meskipun diancam. Hanya dengan pemilih-pemilih seperti inilah bangsa ini bisa maju menuju cita-cita bersama, keadilan merata bagi seluruh bangsa. ***