Harry Puspito
(harry.puspito@yahoo.com)*
Dalam tulisan sebelumnya kita sudah membicarakan pentingnya orang percaya membangun kebiasaan-kebiasaan “disiplin rohani”, yang mengikatkan dirinya kepada Kristus, karena tanpa Kristus orang percaya tidak bisa melakukan apa-apa (Yohanes 15:5). Salah satu kebiasaan itu adalah apa yang dikenal dengan “Saat Teduh” dimana seseorang menetapkan waktu, biasanya pagi hari, untuk bertemu dengan Tuhan, melalui doa, pembacaan Firman dan meditasi. Saat Teduh bukanlah waktu belajar Alkitab, walau ada pembacaan Firman. Namun ini lebih merupakan waktu berkomunikasi dengan Tuhan, membangun hubungan intim dengan Dia dengan banyak mendengarkan suara-Nya, di samping membawakan beban-beban dan doa-doa kita.
Tuhan Yesus sendiri memiliki kebiasaan seperti ini. Di satu bagian Alkitab dikisahkan: Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana (Markus 1:35). Sebelum memulai dengan hari-hari yang berat dalam pelayanan dan perjalanan-Nya menuju salib, sepertinya Dia perlu “me-recharge” diri-Nya dengan suatu persekutuan dan komunikasi dengan Allah Bapa. Setelah itu sepanjang hari, kita membaca dalam Alkitab, dalam kehidupan sehari-hari Dia sangat disibukkan dengan berbagai pelayanan dan aktivitas seperti menyembuhkan orang dari berbagai penyakit dan cacat, mengusir kuasa gelap dari orang, melakukan berbagai mukjijat, memberitakan Injil dan mengajar – baik orang banyak, tapi terutama ke-12 murid. Yesus juga banyak bertemu dan makan bersama berbagai kalangan, dan menggunakan kesempatan-kesempatan seperti itu untuk mengajar.
Jika kita perhatikan Yesus dalam Injil, ternyata Dia dalam satu hari tidak hanya bersekutu dengan Bapa sekali saja dalam satu hari pada pagi hari. Dikisahkan setelah Yesus dan para murid selesai memberi makan kepada 5000 orang, Dia menyuruh orang banyak itu pulang, Yesus kemudian naik ke atas bukit “untuk berdoa seorang diri” (Matius 14:23). Alkitab tidak mencatat berapa kali dalam satu hari Yesus berdoa seorang diri, namun catatan-catatan mengenai kebiasaan Yesus berdoa sangat banyak, tidak saja seorang diri tapi juga di depan orang-orang lain dan dalam banyak kesempatan, seperti ketika Dia dibaptis, ketika menyembuhkan, ketika mau membangkitkan orang mati (Lazarus), pada perjamuan kudus, dan sebagainya. Bahkan ketika Yesus menyerahkan nyawa-Nya di atas kayu salib. Yesus memberi contoh untuk ‘Tetaplah berdoa” (1 Tesalonika 5:17), yaitu untuk terus menerus berdoa.
Kita bisa berkata, itu ‘kan Yesus yang adalah manusia Allah? Sebenarnya kita bisa mengatakan kalau Tuhan saja terus berdoa, kita manusia biasa seharusnya juga meniru Dia dan patuh kepada perintah untuk tetap berdoa. Namun bagaimana dengan contoh pribadi-pribadi orang percaya dalam Alkitab yang menjadi teladan kita? Dalam Perjanjian Lama, dikisahkan Daniel – seorang Yahudi yang memegang posisi tinggi di kerajaan Babilonia dan Media selama 70 tahun dan merupakan salah satu nabi Perjanjian Lama terbesar, berdoa tiga kali sehari (Daniel 6:10b). Daud – seorang yang berkenan di hati Allah – berdoa “tujuh kali dalam sehari” (Mazmur 115:164). Orang Farisi berdoa 5 kali sehari. Para rasul diceritakan sering berdoa tapi tidak dikatakan berapa kali. Yang jelas Paulus mengajarkan agar orang percaya terus-menerus berdoa (1 Tesalonika 5:17). Setelah mengenal Kristus, segala hal yang dia bangga-banggakan sebelumnya, menjadi tidak berharga dan keinginannya adalah hidup dalam persekutuan dengan Dia, dalam penderitaan-Nya, sehingga dia menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya (Filipi 3:10).
Seperti terhadap kebiasaan Kristus bersekutu dengan Bapa-Nya, kita juga bisa mengatakan maklum mereka adalah para pemimpin iman yang besar, sudah seharusnya mereka sering berdoa kepada Allah. Sebaliknya kita bisa mengatakan kalau para nabi, para rasul dan para pemimpin umat Allah begitu sering berdoa, seyogyanya kita, orang biasa-biasa, meniru kebiasaan mereka berdoa, bahkan lebih sering berdoa. Hanya dengan bergaul dengan Dia kita akan dibentuk menjadi seperti Dia, hidup berkenan kepada-Nya dan bisa Dia pakai untuk pekerjaan-pekerjaan-Nya di muka bumi ini.
Bapa-bapa gereja dan orang-orang kudus membangun kebiasaan-kebiasaan berdoa yang beragam. Pengajaran dan tradisi mereka mungkin ada yang turun kepada generasi kita sekarang. Salah satu kebiasaan ini adalah berdoa pada waktu tertentu dengan menggunakan suatu liturgi yang dikenal sebagai “daily office”. Seseorang atau sekelompok orang menentukan jam-jam doa, dan ketika jam itu tiba, maka mereka meninggalkan apapun yang sedang mereka kerjakan untuk ber-“saat teduh”. Kita bisa mengembangkan suatu daily office yang sesuai. Seorang karyawan yang bekerja dengan waktu yang lebih kurang tetap bisa menetapkan waktu saat teduh itu sekali di rumah, tiga kali di kantor, misalnya. Pada saat teduh awal, dia bisa menyediakan waktu yang lebih. Sedangkan waktu doa di kantor sudah barang tentu akan lebih pendek, misalnya 10-20 menit setiap kali. Namun dalam saat teduh mini, ini kita berkomunikasi dengan Allah melalui doa dan meditasi Firman.
Dengan merancang kebiasaan-kebiasaan saat teduh sepanjang hari dan dengan ditambah dengan berbagai doa di antaranya, maka kita mencoba mewujudkan apa yang dikatakan “tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia” (Yohanes 15:5); atau perintah “Tetaplah berdoa” itu. Dengan tinggal di dalam Dia, maka Dia akan mendengarkan doa-doa kita, berbuah banyak dan memuliakan Tuhan (Yohanes 15:7, 8). Tuhan memberkati!