Menghitung Hari Dalam Perspektif Baru

Pdt. Bigman Sirait
Follow Twitter: @bigmansirait

Semarak tahun baru memang menjadi fenomena menarik.  Setiap kali awal tahun tiba, maka orang latah menyebutnya dengan tahun baru.  Walaupun sebenarnya tidak jelas benar yang dimaksud dengan baru itu seperti apa.  Toh, jikalau tahun depan datang, maka tahun sekarang ini yang disebut orang tahun baru itu tak lagi menjadi baru.  Begitulah terus-menerus bergulir di sepanjang perjalanan hidup orang.  Hal Ini perlu ditelisik dan pikirkan lebih mendalam.  Menyikapinya dengan arif agar tidak terjebak pada rutinitas perputaran waktu itu sangat diperlukan.  Mazmur 90:3-19 mempunyai gambaran menarik tentang waktu dan bagaimana orang menyikapinya.  Mazmur yang berisi tentang doa Musa melukiskannya dengan sangat indah, apalagi jika orang paham betul bagaimana latar mazmur itu ditulis.
Musa adalah manusia lengkap.  Dalam artian, manusia yang mendapat anugerah hidup selama tiga periode berbeda dengan greget yang berbeda pula.  40 tahun pertama hidup Musa berada di Istana. Menjadi orang terbaik, terhebat di jamannya dari antara bangsanya.  Diangkat anak oleh putri Firaun. Hidup menjadi seorang pangeran muda luar biasa, penuh fasilitas, menjadi orang terkaya, terbaik, dan terhebat di jamannya dan  dari antara bangsanya. Hidup di istana memberi musa limpahan, bukan saja fasilitas hidup, tapi juga ilmu yang tinggi. Sebuah pembentukan pendidikan dasar yang berkualitas berkelas istana.  Namun pembentukan dasar seperti itu rasanya mubazir saja jika orang memperhatikan periode 40 kedua kehidupan Musa.  Kehidupan istana seolah sirna belaka setelah dia menjadi buron, gara-gara kecintaannya kepada bangsanya, Israel, bukan Mesir, tempat dimana dia diasuh dan dibesarkan.  Hatinya selalu gelisah dan terpanggil untuk membela saudara sebangsanya. Ketika dia melihat saudara sebangsanya dianiaya orang Mesir, kontan darahnya mendidih, lalu membunuh orang Mesir itu.  Alih-alih Musa dipuji, hujatan justru diterimanya. Bahkan dianggap sok tahu dan mau ikut campur saja oleh orang sebangsanya, yang mati-matian Musa bela.  Pertolongan Musa dilupakan.  Sialnya, mereka justru berteriak kiri dan kanan, membuat Mesir mendengar dia melakukan pembunuhan. Alhasil Musa menjadi buronan.  Maka pergilah Musa, lalu kemudian tinggal di padang rumput menjadi gembala domba.
Dari Istana turun ke padang domba.  Dari kehidupan teratas nan mulia menjadi terbawah yang dihina. 40 tahun di padang rumput sebagai gembala, Musa menikahi putri Yitro, imam di Median.  Kemudian hidup tak menentu sebagai gembala di padang rumput.  Jikalau hanya untuk hidup sebagai gembala rendahan, gembala upahan yang tak perlu skill khusus melakoninya, maka kehidupan istana yang menjadi dasar pembentukan pribadi Musa sepertinya tak berarti apa-apa. Toh yang dikerjakan tak lebih dari membawa domba ke padang rumput hijau, itu sudah. Menariknya, dalam dalam kondisi sebegitu terpuruknya, Musa tidak lantas menjadi gila.  Musa tidak menjadi seorang yang kehilangan arah hidup.  Musa memulai hidup baru, menjalaninya, meski terasa berat. Tetapi langkah demi langkah terus dia ayunkan, untuk menunjukkan kualitas hidup. Kualitas keimanannya.
Episode ketiga kehidupan Musa adalah ketika dia dipanggil Tuhan untuk membebaskan Israel dari jeratan Mesir.  Tentu saja perintah ini ditolak oleh Musa.  Sebab bukan hal gampang berurusan dengan Israel.  Mengingat pengalaman pahitnya bersama mereka.  Di Mesir, saudara sebangsanya sendiri ini yang justru membuat dia menjadi buron.  Membekas benar dalam ingatannya betapa bebal Israel. Meski ada rasa belas kasihan, tetapi melihat kebebalan orang sebangsanya maka  semua gugur sudah.   Sebuah tugas yang super berat memimpin orang Israel yang jumlahnya enam ratus ribu laki-laki, belum termasuk perempuan dan anak-anak.  Dan orang-orang ini adalah orang-orang yang tegar tengkuk.  Musa berhadapan dengan orang-orang yang siang dan malam melihat mujizat, tiang awan dan tiang api.  Tiap hari melihat mujizat Tuhan melalui mana yang Tuhan beri cuma-cuma, namun tetap saja enggan percaya.  Meski menolak, tapi toh akhirnya menerima juga.  Karena Tuhan berdulat “menetapkan” Musa harus berangkat.
Perjalanan hidup selama tiga episode, dari mesir menuju tanah perjanjian, Musa melihat dan belajar banyak dari perilaku manusia yang notabene orang-orang sebangsanya.  Tiga episode hidup Musa menghantarkan dia sampai kepada doanya, seperti tertulis dalam Mazmur 90.  Disini dilukiskan dengan sangat baik tentang betapa besarnya Allah, dan sekaligus betapa manusia itu hina luar biasa.  Betapa manusia itu tiada.  Tetapi ironisnya, dalam kelemahan manusia, dalam ketidakberdayaannya dia, ternyata manusia tetap bisa kurang ajar juga kepada Allah yang maha berkuasa.  Karena itu keluarlah kalimat:”Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana”. (90:12).
Di Mazmur yang sama, Musa juga menggambarkan betapa Allah adalah Allah yang sangat besar, yang sanggup mengembalikan manusia pada ‘subtansi” asalinya, dari debu.  Dia juga mempertunjukkan Allah yang lintas ruang dan waktu. Dalam ranah ruang dan waktu Musa memberikan gambaran, bahwa seribu tahun bagi manusia itu hanyalah sekejab bagi Allah.  Tak lebih dari giliran jaga saja. Artinya perjalanan hidup manusia yang ribuan tahun, itu hanya sekejab bagi Allah.   Maka, jikalau orang hendak mengerti sejauh dan sebesar apa pemeliharan Allah, maka orang akan mengalami kesulitan luar biasa, jika hanya memahami dalam terminologi yang dikurung oleh ruang dan waktu.
Ajar kami menghitung hari-hari kami sedemikian rupa.  Ini mengajarkan kepada orang bagaimana menghitung dengan ketelitian yang tinggi.  Memperhatikan dengan cermat, dan memahami dengan bijak. Supaya orang tahu apa yang Tuhan mau sesungguhnya dalam hidupnya.  Dan tentu saja agar orang tidak menjadi salah.  Seharusnya ini yang menjadi semangat orang di kehidupannya agar dapat melakoni hari-hari seperti yang Tuhan kehendaki. Celakalah jika orang tidak menghitung hari-hari, menelitinya dengan cermat. Meneliti diri penting dilakukan.  Dengan meneliti atau mengaudit diri, maka orang diperhadapkan pada fakta sesungguhnya, bahwa betapa manusia itu jahat luar biasa, sementara di sisi lain, betapa luar biasanya Allah menolong kita, sekalipun kita jahat luarbiasa.
Dengan menghitung hari seperti demikian, orang dapat melakukan sebuah progres tindakan, yaitu dengan:
•Kurangi!  Yang dikurangi adalah kesahan dan dosa kita.  Manusia begitu hoby berbuat dosa, hoby berbuat salah, dan rutin lagi. Dengan menghitung hari, kita akan dibawa pada komitmen untuk mengurangi. Berdoa dan bergumul untuk tidak lagi melakukan kesalahan sama.  Berdoa dan bergumul untuk melakukan apa yang Tuhan mau.
·Tambah! Menambahkan kebajikan dalam hidup.  Tambahkan perbuatan-perbuatan benar. Mulai lihat hal baik apa yang dilakukan, lalu siap menambahkan.  Belajar memahami orang lain. Belajar menghargai orang lan.  Dengan mengurangi keributan, kita bisa meambah damai sejahtera.  Bukan sekadar menambahkan kolekte.  Karena persembahan tidak berarti apa-apa kalau diri kita, hati kita bengkok.  Ketika orang melihat perubahan di diri, dari tambah dan kurang tadi, itu pun sudah menjadi berkat bagi mereka. Selanjutnya adalah Bagikan!
•Bagikan! Membagi kelebihan yang ada, keunggulan yang dimiliki.  Waktu orang bersaksi, berarti sedang membagikan fakta tentang kebenaran akan pemeliharaan Tuhan.  Ketika orang berbagi berkat, berarti dia juga sedang menunjukkan, bahwa Tuhan telah memelihara dia, Tuhan telah memperkaya dia. Karena itu hasrat diri ingin membagi apa yang ada, supaya orang  merasakan, bukan agar diri kaya sendiri.
Inilah yang musti dibangun dalam diri kita, dan patut dikembangkan.  Sebuah makna baru dalam memandang tahun baru.  Sehingga kita sungguh-sungguh menjadi hidup yang berkenan kepada Dia. Amin! Slawi

 

Recommended For You

About the Author: Reformata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *