Pdt. Bigman Sirait
Follow Twitter: @bigmansirait
Lazimnya, acara pergantian tahun dirayakan dengan sukacita. Acara kebaktian diselenggarakan di gereja maupun di rumah-rumah tangga. Semua merasa bersyukur karena Tuhan masih mengijinkan kita memasuki kehidupan di tahun berikutnya. Masalahnya, bukan seberapa lama kita hidup di dunia, tetapi bagaimana nilai kehidupan kita di dunia.
Waktu, punya dua sisi yang perlu kita pahami, yakni bertambah dan berkurang, dan itu terjadi sekaligus. Seperti mata uang, ada sisi kiri dan sisi kanan. Ada angka dan lambang. Uang dinyatakan sah dan punya nilai kalau ada lambang dan angka itu. Pada waktu kita berkata, “selamat panjang umur”, kepada orang yang sedang merayakan hari ulang tahun, pada saat yang bersamaan, umurnya juga makin pendek. Mengapa? Misalkan Tuhan sudah memberi ‘jatah’ baginya 60 tahun, maka pada saat memasuki usia 20, jatahnya semakin berkurang. Dalam hal ini, ‘bertambah panjang’ dan ‘bertambah pendek’ terjadi sekaligus. Ini disebut paradoks: dua hal yang berbeda atau bertolak belakang, tetapi dua-duanya benar.
Saat pergantian tahun, masa hidup kita di dunia makin bertambah, tetapi jatah juga berkurang. Namun janganlah kita hanya melihat sisi tambahnya, lihat juga sisi kurangnya, sebab itu akan membuat kita bijaksana. Dengan menghitung hari-hari, kita introspeksi dan bertanya tentang apa yang telah kita lakukan sepanjang usia itu. Dengan menyadari bahwa waktu kita makin sedikit, berusahalah mengisinya dengan hal yang baik-baik.
Dalam mengisi hari-hari, kita sering terjebak dalam rutinitas. Kita terjebak dalam perjalanan waktu. Kita terjebak dalam kesibukan, tuntutan waktu, sampai-sampai kita tidak lagi mempunyai momentum penting dalam waktu itu sendiri untuk menjadi bijaksana memahami apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab kita. Jika kita tidak pernah menghitung hari-hari kita, bagaimana mungkin kita bisa menjadi bijaksana menjalani sisa-sisa hidup?
Jika tidak belajar dari sana, kita tidak mendapatkan hati yang bijaksana, karena kita hanya menghitung nilai tambahnya. Nilai kurangnya tidak pernah kita hitung. Kita hanya ‘berani’ bersyukur jika memperoleh sesuatu kemajuan materi atau posisi. Maka, ucapan-ucapan yang kita dengar hanya: “Wah, puji Tuhan, uangku bertambah banyak. Puji Tuhan, saya sembuh dari penyakit…”, dan sebagainya. Kalau wujud keberimanan kita seperti ini, alangkah sedihnya.
Sebelum kerusuhan Mei 1998, banyak orang merasa bangga dan berkata, “Puji Tuhan”, karena memiliki harta kekayaan yang melimpah, atau meraup sukses di sana-sini. Tetapi, apa yang mereka katakan ketika usaha mereka runtuh? Ketika mereka mendadak jatuh pailit karena perubahan nilai rupiah terhadap dollar AS yang begitu drastis, bagaimana sikap mereka? Hutang berlipat ganda, usaha menjadi hancur. Apa karena Tuhan tidak ada? Apa karena Tuhan tidak mengasihi?
Kita sering salah mengerti tentang cinta-kasih Tuhan. Kita sering salah memahami kehendak Tuhan. Jika kita mengalami kekurangan, kehancuran, kehilangan, maka kita menganggap Tuhan tidak adil, atau Tuhan tidak bersama dengan kita. Lalu kita menjadi kecewa. Inilah kegagalan dan kehancuran yang melanda banyak orang Kristen, karena menganut faham teologi yang selalu sukses, selalu sehat.
Sebagai pengikut Kristus, kita harus memahami bahwa bertambah dan berkurang dalam kepemilikan, atau status, keduanya sama-sama memiliki nilai plus dalam hidup kita. Ketika seseorang menjadi miskin, mungkin saja kondisi itu membuatnya menjadi bijak. Seperti Nabi Musa. Sewaktu di istana, dia hanya tahu membereskan segala sesuatu dengan kekuatannya. Dia mencoba menyelesaikan persoalan bangsa Israel dengan statusnya sebagai bangsawan, tetapi dia tidak dianggap. Sampai akhirnya dia terlempar dari istana, menjadi gembala. Tetapi, justru di sinilah dia belajar, dan makin memahami kehendak Allah, dia makin mengerti cinta-kasih Allah. Hidupnya pun menjadi indah.
Tuhan tidak pernah membuat sesuatu itu tanpa meaning (maksud). Rencana Tuhan selalu indah, tetapi bagaimana perspektif kita sebagai manusia? Jangan karena sudah merasa percaya dan kenal pada Tuhan, maka semuanya akan menjadi baik dan mulus. Baca kisah Alkitab tentang Ayub yang saleh, cinta pada Tuhan, namun mengalami pencobaan yang sangat hebat. Hartanya yang melimpah habis. Bukan cuma itu, dia juga kehilangan anak-anaknya, bahkan dia menderita penyakit berat pula. Namun kecintaan dan ketaatannya pada Tuhan tiada berkurang. Zakaria dan Elisabet, pasangan yang cinta Tuhan, namun baru memiliki anak pada usia tua. Hanna adalah seorang perempuan yang selalu memuji dan memuliakan Tuhan, tetapi kerap disakiti menantunya. Banyak kisah dalam Alkitab tentang orang-orang saleh namun mengalami berbagai kesulitan, sesaat, bahkan sampai mati. Namun mereka bertumbuh hebat dalam kerohaniannya.
Sekali lagi, sisi tambah dan kurang dalam dimensi waktu sangat penting dalam hidup kita. Waktu merayakan hari ulang tahun, rasanya tidak cukup hanya mengucapkan: “selamat panjang umur”, tapi juga: “selamat pendek umur”. Jangan hanya ucapkan: “selamat berbahagia”, namun juga: “hati-hati, berbahaya.” Mengapa? Karena dalam menapaki sisa-sisa usianya, mungkin saja dia tidak berbuat apa-apa, malah hanya terlena dalam pesta yang memabukkan. Atau bisa saja dia hanya terlena dalam pujian-pujian syukurnya. Dalam keterlenaannya dia hanya sekadar mengatakan, “Terimakasih Tuhan”, tetapi pelayanannya, kepasrahannya pada Tuhan tidak bertambah.
Ketika harta benda atau jaminan hidup seseorang bertambah, rasa kebergantungannya pada Tuhan seringkali justru berkurang. Atau sebaliknya, ketika jaminan hidup atau kepemilikan atas harta benda semakin berkurang, ketergantungan kita pada Tuhan semakin bertambah. Tetapi, tidak perlulah kebergantungan pada Tuhan menjadi kuat karena harta semakin berkurang. Yang paling bagus adalah bagaimana supaya ketergantungan pada Tuhan terus-menerus menguat baik di saat harta semakin berlimpah maupun berkurang. Jika ini bisa kita lakukan, bukankah sangat indah hidup ini?
Mazmur 90:12 berkata: Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana. Semoga, di tahun yang baru ini kita mengerti dan menyadari bahwa segala apa yang kita miliki dalam hidup ini, pada dasarnya bukanlah milik kita, tetapi milik Tuhan. Kesadaran seperti inilah yang membawa kita ke dalam pertumbuhan yang sehat. Selamat tahun baru Januari 2005.