Pdt. Bigman Sirait
Follow Twitter: @bigmansirait
Karena itu perhatikanlah dengan seksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat. (Efesus 5: 15-16)
Surat dari Rasul Paulus kepada jemaat di Efesus mengingatkan supaya orang-orang di Efesus bijaksana menggunakan waktu, karena waktu adalah jahat. Pengertian waktu adalah jahat, merupakan proses yang terjadi secara alamiah: pagi, siang, sore, dan malam. Di dalam waktu itu, iblis berusaha menjebak dan menjatuhkan setiap orang percaya. Di dalam waktu itu, iblis berusaha menghancurkan kehidupan orang-orang percaya. Itulah sebabnya maka dikatakan bahwa waktu itu adalah jahat.
Tetapi, jangan karena waktu itu disebut jahat maka kita punya pemikiran tidak boleh menggunakan waktu, tidak boleh mengatur waktu, tidak perlu memakai jam, dan sebagainya. Yang perlu kita sadari adalah bahwa dalam perjalanan waktu itu pun iblis berkarya terus-menerus untuk menjatuhkan anak-anak Tuhan. Kalau kita tidak bijaksana, tidak berpegangan erat pada Tuhan, pada saat itulah disebut waktu menjadi jahat, sebab kita meniti hari-hari yang berbahaya.
Dalam Khotbah Populer edisi lalu, telah dipaparkan tentang sisi tambah dan sisi kurang daripada waktu. Di sana kita dituntut untuk mampu bijaksana supaya kita juga melihat, bahwa dalam hidup, bukan hanya sisi tambah: tambah uang, tambah rumah yang harus dinikmati, tetapi sisi kurang juga harus kita nikmati. Artinya, kalau kita hanya bersyukur karena sehat, orang dunia juga bisa melakukan hal yang sama. Sebagai orang percaya, bersyukur jugalah pada waktu sakit, karena bisa jadi Tuhan sedang menegur. Kalau sakit karena salah/ulah sendiri, perbaikilah diri, jangan diulangi lagi kesalahan itu. Sebab jika kesalahan yang sama masih diulangi, itu bebal namanya.
Jadi, karena itulah – sebagaimana dikatakan Rasul Paulus – kita perlu memperhatikan dengan seksama bagaimana kita hidup. Janganlah seperti orang bebal tetapi seperti orang arif. Orang bebal adalah orang yang sudah tahu salah, dikasih tahu bahwa itu salah, tetapi masih bikin salah. Sebaliknya, kalau orang berbuat salah karena tidak tahu, dikasih tahu (kesalahannya) lalu minta maaf dan tidak melakukan kesalahan lagi, itu namanya normal, karena manusia punya kelemahan. Tetapi, sudah tahu bahwa itu salah, namun selalu bikin salah, itu namanya bebal.
Rasanya, tidak ada seorang pun yang mau disebut bebal. Ketika kita membaca Alkitab tentang orang Israel keluar dari Mesir menuju Tanah Kanaan, perilaku mereka kita katakan sebagai bebal. Kenapa? Karena mereka selalu mempersalahkan Tuhan, padahal mereka diselamatkan oleh Tuhan dari perbudakan. Melihat perilaku mereka yang bebal itu, Tuhan pun murka dan menghukum orang-orang Israel. Bumi terbelah, ada yang mati dipagut ular, kelaparan, kena tulah, dan hukuman lainnya. Mengenaskan dan menyakitkan, tetapi mereka tidak kapok-kapok, tidak mau belajar dari peristiwa-demi peristiwa yang menimpa. Inilah yang disebut bebal.
Kita pun mestinya sadar, bahwa pada dasarnya kebanyakan dari kita punya perilaku atau konsep hidup yang bebal. Buktinya, kita selalu mengaku takut akan Tuhan, tetapi perilaku hidup kita memperlihatkan bahwa kita tidak takut Tuhan. Artinya, takut Tuhan itu hanya sebatas mulut. Jika kita benar-benar takut Tuhan, mana mungkin gereja ribut, jemaat saling menjatuhkan dan saling menghancurkan? Kalau takut Tuhan, mana mungkin pengurus gereja menilap uang, dan sebagainya.
Kalau takut Tuhan, orang pasti tidak akan hitung-hitungan dalam pelayanan. Kalau takut Tuhan, semua orang pasti suka mendengar khotbah yang ‘keras’ dalam pengertian khotbah yang benar, lurus. Tetapi yang terjadi, kebanyakan orang justru lebih senang mendengar khotbah yang berbau humor. Bahkan tidak sedikit anggota jemaat mengatakan bahwa khotbah yang kental unsur humornya itu sebagai khotbah yang indah, menarik. Gambaran sederhana: Seorang jemaat yang baru pulang dari gereja mengungkapkan bahwa khotbah yang disampaikan sangat berkesan di hatinya. Ketika ditanyakan alasannya, sang jemaat menjawab, “Karena lucu!” Ironis sekali! Memang, khotbah yang benar itu seringkali tidak enak di kuping, karena menyindir-nyindir, dan nyakitin hati banyak orang.
Contoh sikap bebal yang lain adalah banyak orang tidak menyukai kebenaran, lalu lari dari kebenaran, tetapi merasa dirinya benar, karena mengaku (merasa) takut akan Tuhan. Jadi, kebebalan itu justru dimulai dari dalam hidup kita. Kita tidak suka kebenaran, tetapi fenomena-fenomena kebenaran, bukan kebenaran yang hakiki. Kita hanya giat dalam melakukan aktivitas religius. Kita hebat dalam beribadah, hebat melantunkan doa-doa, tetapi sejatinya, perilaku kita jauh dari tuntutan Tuhan.
Maka kita harus berhati-hati, jangan sampai terjebak yang pada akhirnya menjadikan agama itu hanya seperti ekstasi bagi kita. Tuhan menjadi sedih karena agama hanya menjadi pelarian. Gereja itu cuma menjadi tempat mencari ketenangan sesaat, setelah itu kembali menggeluti kehidupan dunia: berdagang tidak jujur, menipu di sana-sini, sementara ucapan: “haleluya” terus meluncur dari mulut.
Janganlah bebal, tetapi jadilah seperti orang arif: mau belajar, tahu, dan semakin bijak. Jadilah seperti orang arif, yang semakin bertambah pengetahuannya, makin rendah pula hatinya. Pepatah mengatakan: jadilah seperti ilmu padi, makin berisi makin merunduk. Begitulah perilaku orang arif yang mestinya menjadi ciri khas orang-orang percaya. Kalau pepatah dunia saja begitu manis dan indah, masak orang Kristen tidak bisa berperilaku indah dan manis?
Jadi, di dalam pertumbuhan dan perkembangan kehidupan kita, dari bebal menuju arif, ada perjalanan, yaitu perjalanan waktu, hari lepas hari. Oleh karena itu kita harus menggunakan waktu dengan bijak. Coba renungkan perjalanan hidup dari hari ke hari supaya tidak terperangkap pada jebakan si jahat itu. Jika waktu tidak membuat kita menjadi semakin arif, malah semakin tidak karu-karuan, artinya kita terjebak, sebab sang waktu tidak membawa kita ke dalam kesempurnaan pengenalan akan Tuhan.