Mengejar Kebahagiaan

Pdt. Robert R. Siahaan. M.Div.
 (www.robertsiahaan.com)

SALAH satu aspek yang diharapkan oleh hampir semua orang di muka bumi ini adalah kebahagiaan hidup. Jika seseorang ditanyakan mengenai apa yang diinginkannya dalam hidupnya, maka kebanyakan orang akan menjawab bahwa mereka menginginkan kebahagiaan. Namun, sesungguhnya banyak orang tidak memahami apa arti kebahagiaan yang sesungguhnya. Karena memang tidak mudah mendefiniskannya. Ada begitu banyak aspek yang terkait dengan kebahagiaan dalam hidup manusia. Sebab, hidup manusia memang memiliki aspek yang sangat kompleks. Sebagian orang mendefinisikan kebahagiaan dengan kesuksesan dalam pencapaian karir, harta, memiliki pasangan hidup dan keluarga dan sebagainya.
Sejak dulu, para filsuf seperti Socrates, Plato dan Aristotle menekankan bahwa manusia memiliki suatu cita-cita hidup, yaitu untuk mencapai kebahagiaan atau keadaan yang baik (eudaimonian). Kondisi ini dapat dicapai dengan memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan. Namun bukan hanya pengetahuan, tetapi juga memerlukan tindakan-tindakan. Dalam hal ini bukan sekedar tindakan-tindakan sembarangan. Namun yang mampu mencerminkan kemampuan maksimal manusia. Bagi Plato untuk memperoleh kebahagiaan selain mengarahkan diri kepada hal-hal yang baik, seseorang harus melakukan kewajiban-kewajiban dalam kehidupannya sehari-hari. Socrates membagi ke dalam dua aspek theorein dan praxis— artinya memandang ke dalam (theorein), yaitu merenungkan suatu realitas secara mendalam. Hal ini melibatkan jiwa manusia dan dianggap sebagai hal paling luhur dan paling membahagiakan.
Sedangkan praxis berkaitan dengan kebahagiaan dalam relasinya dengan sesama manusia, keluarga, komunitas masyarakat dan negara. Sebagian psikolog dan ahli sosial mendefinisikan kebahagiaan sebagai subjective well being, yakni semacam perasaan senang (atau nyaman) yang subyektif. Artinya, perasaan seseorang yang berbahagia itu hanya bisa dirasakan orang itu sendiri, sementara orang lain tidak dapat merasakannya. Beberapa ahli juga mengemukakan bahwa ternyata subjective well being tidak selalu berkaitan dengan tingkat penghasilan dan kemapanan. Lalu, faktor apakah yang menentukan kebahagiaan seseorang? Beberapa peneliti mengidentifikasikan kebahagiaan dengan beberapa aspek yang berkaitan dengan hubungan, interaksi sosial, status pernikahan, pekerjaan, kesehatan, kebebasan berdemokrasi, agama, pekerjaan serta kaitannya dengan orang berbahagia lainnya.
Kebahagiaan dan prestasi
Secara umum orang mendefinisikan kebahagiaan hidup dengan ketentraman, sukacita, dan menjalani hidup tanpa menghadapi banyak masalah dan kesulitan.Lalu apakah ada kaitan antara kebahagiaan dengan pencapaian-pencapaian dan prestasi-prestasi hidup? Memang kebahagiaan tidak selalu berkaitan dengan pencapaian prestasi atau tingkat pendidikan, kesuksesan karir.Namun jika seseorang dalam situasi yang normal, dengan kapasitas dan kemampuan yang sama, namun dengan tingkat perjuangan yang berbeda tentu akan memberihasil dan dampak yang berbeda. Orang bilang “ada harga ada rasa.”Seseorang dengan tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dalam berbagai aspek hidupnya, tentunya akan berdampak pada kepuasan dan penikmatan hasilnya tanpa memandang latar belakang suku dan agamanya.
Dengan kata lain sebetulnya kebahagiaan dalam level tertertu dan dalam kadar tertentu adalah hak dari semua orang, dan untuk memperolehnya bergantung pada seberapa besar usaha dan perjuangannya untuk memperolehnya. Lalu apakah orang-orang dengan tingkat pendidikan yang tinggi dan tingkat penghasilan yang tinggi akan secara otomatis mengalami kebahagiaan lebih tinggi dengan orang-orang yang kurang dalam pencapaiannya? Jawabnya juga tidak tentu.Berarti ada faktor-faktor lain yang menentukan kebahagiaan seseorang selain dari pencapaian hidup. Di sisi lain kebahagiaan itu sendiri bukan suatu hal yang dapat dipertahankan seseorang sehingga menjadi pengalaman yang konstan secara terus menerus dapat dialami dalam hidupnya. Kebagiaan hidup cenderung mengikuti dinamika kehidupan manusia yang kompleks, penuh misteri dan penuhtan tangan.

Kebahagiaan Orang Kristen
Bagaimana pemahaman orang Kristen pada umumnya mengenai kebahagiaan? Banyak orang Kristen yang beranggapan bahwa ketika ia menjadi seorang Kristen, maka otomatis ia akan menjadi orang yang penuh dengan sukacita dan kebahagiaan hidup. Mereka berpikir bahwa janji-janji Allah tentang berkat dan damai sejahtera setelah menerima keselamatan di dalam Yesus Kristus akan diberikan secara otomatis dalam hidup mereka. Tidak sedikit khotbah-khotbah di bebereapa gereja yang mendengung-dengungkan kebahagiaan dan kesuksesan kepada umatnya jika mereka menjadi pengikut Kristus, maka mereka akan mendapatkan kebahagiaan dan kesuksesan.
Seolah-olah semua itu akan diterima secara otomatis. Apakah benar ketika seseorang menjadi seorang Kristen secara otomatis ia menjadi orang yang berbahagia? Apakah fenomena sukacita yang dialami seseorang ketika menjadi seorang percaya dapat disebut sebagai kebahagiaan hidup? Apakah semua orang Kristen di dunia adalah orang yang berbahagia? Apakah orang Kristen lebih berbahagia dari orang-orang non Kristen? Mungkinkah orang  yang bukan Kristen hidupnya lebih berbahagia dari orang Kristen? Apakah benar definisi dari kebahagiaan adalah keadaan tanpa kesulitan dan tantangan dan tanpa penderitaan?
Bahwa hidup di dalam iman kepada Yesus Kristus hanyalah berkaitan dengan sukacita, damai sejahtera dan ketenangan.Dalam Matius 5:1-12 Tuhan Yesus memberikan definisi yang sangat berbeda mengenai kebahagiaan di dalam Allah dengan kebahagiaan yang didefinisikan orang pada umumnya. Setiap orang Kristen terpanggil untuk menghidupi suatu kehidupan yang penuh makna, apa pun situasi yang sedang dihadapinya. Kebahagiaan orang Kristen tidak terletak pada kenyamanan hidup dan kedamaian hidupnya, tetapi justru terpanggil untuk memberikan bahkan mengorbankan kenyamanannya jika diperlukan untuk menghasilkan kebahagiaan bagi orang lain. Dunia mengejar dan berusaha mendapatkan berbagai hal untuk kebahagiaan diri namun setiap anak Tuhan terpanggil untuk memberikan diri dan mendatangkan damai dan kebahagiaan bagi dunia.
Namun, juga akan sangat aneh jika orang-orang Kristen dalam aspek-aspek umum pun tidak menunjukkan usaha untuk mengejar dan mengusahakannya secara bertanggung jawab. Karena tidak ada kebahagiaan yang datang otomatis, dan tidak ada kebahagiaan yang unconditional selama masih ada di dunia ini.Memang, benar bahwa setiap orang yang mengalami kelahiran baru dan menerima keselamatan di dalam Kristus mengalami suatu perasaan sukacita yang berbeda yang belum pernah dialami sebelumnya. Karena Alkitab menegaskan bahwa ketika seseorang percaya kepada Kristus, orang tersebut menerima pengampunan atas dosa-dosanya.
Menerima iman dan pertobatan, menerima Roh Kudus dan keselamatan kekal (Roma 8:29-30, Ef 1:4). Namun pada saat yang bersamaan petobat baru itu tetap akan menghadapai masalah dan tantangan hidup yang sedang dialaminya, dan juga harus tetap berjuang sebagaimana semua orang menjalani hidup sehari-hari. Tidak ada janji di Alkitab bahwa seorang Kristen akan lebih mudah hidupnya dan lebih gampang dalam menjalani semua perjuangan dan tantangan hidup. Artinya, tidak ada hidup tanpa kesulitan dan perjuangan, kita harus menjalani semua tanggung jawab hidup dengan benar dan serius. Rasul Paulus pun sangat banyak mengalami tantangan dan ancaman kematian dalam seluruh pelayanannya (2 Kor. 7).
Jadi kebahagiaan di satu sisi berkaitan dengan aspek menjalani tanggungjawab hidup sehari-hari dan terpanggil untuk senantiasa melakukan yang terbaik dalam hidupnya bagi kemuliaan Allah (Kol 3:17,23)  di sisi lain juga berkaitan dengan responnya terhadap segala sesuatu yang terjadi di dalam hidupnya serta interaksinya dengan Tuhan dan sesama. Hidup orang Kristen di dunia ini adalah untuk meresponi panggilan Tuhan. Meresponi anugerah Tuhan dan memiliki relasi yang intim dengan Tuhan dan menjalani perintah Tuhan setiap hari (Lukas 9:23). Kebahagiaan sementara dan kebahagiaan diri atau keluarga bukanlah tujuan utama orang Kristen di dunia ini.
Kebahagiaan sementara di dunia ini bukanlah sesuatu yang harus dikejar sebagaimana dilakukan oleh banyak orang di dunia ini dalam konteks dan tujuan yang salah (1 Tim 6:3-5,9-10). Kebahagiaan sejati adalah dampak dari hidup taat kepada Allah dengan segala konsekwensi apa pun yang mungkin terjadi didalamnya, entahkah mendatangkan pengalaman sukacita atau mungkin akan menghadapi tantangan. Sebaliknya ketidakbahagiaan adalah dampak dari ketidaktaatan kepada Allah (Ulangan 28). Jikalau Tuhan mengijinkan kita mengalami penderitaan dan kekecewaan adalah karena Allah ingin membentuk dan membawa kita memasuki penagalaman rohani yang semakin dalam, dan kebahagiaan itu tidak pernah menjauh dari orang yang mentaati Allah. Yang berbahagia ialah orang yang mendengar Firman Tuhan serta melakukannya. Soli Deo Gloria.
Penulis Melayani di Gereja Santapan Rohani Indonesia Kebayoran Baru.
 

 

Recommended For You

About the Author: Reformata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *