Raymond Lukas
SUATU kali, saya bertemu dengan seorang wanita pengusaha yang sukses. Ternyata Ibu ini adalah seorang pengusaha yang keseluruhan hasil usahanya digunakan untuk melakukan pemberitaan kabar baik. “Saya ada usaha kontraktor, dekorasi taman dan arsitektur Pak”, katanya. “Kalau untuk keperluan saya sendiri dan keluarga, semua sudah cukup sebenarnya. Kami bisa hidup dari simpanan dan investasi kami. Namun usaha saya ini saya lakukan hasilnya seluruhnya hanya untuk memberitakan kabar baik. Kami terpanggil untuk bisa melakukannya dengan usaha kami sendiri”.
Ya, Ibu tadi adalah seorang “Tentmakers”. “Saya sangat terinspirasi dengan pelayanan Rasul Paulus” lanjutnya. “Jadi bagaimana Rasul Paulus bekerja dan tidak menggunakan dana sumbangan dalam memberitakan injil, itu sangat memberikan inspirasi bagi saya.”. Wah luar biasa si ibu ini.
Apakah yang dimaksud dengan “Tentmakers”? Mereka adalah orang-orang yang memiliki komitmen melakukan misi memberitakan kabar baik dengan dukungan usaha/dana yang mereka peroleh dari usaha mereka dimana mereka menyatukan pekerjaan dengan menjadi saksi Kristus dan melakukan pemberitaan kabar baik antar bangsa dan pekerjaan misi lainnya di waktu luang mereka”.
Model penginjilan Paulus sangat menarik untuk dicermati. Mengapa Paulus memutuskan untuk bekerja sendiri, padahal sebenarnya sangat mungkin bagi dia untuk mendapatkan financial support dari jema’at dan komunitasnya pada saat itu?. Ada beberapa alasan mengapa Rasul Paulus memutuskan untuk bekerja sebagai pembuat tenda, sbb:
1. Kredibilitas. Dalam 1 Korintus 9 :12, Paulus jelas mengatakan bahwa dia bekerja agar tidak menjadi hambatan dalam pemberitaan injil, sehingga pesan yang disampaikan dan motivasinya tidak dicurigai. Paulus mengutamakan kredibilitas dalam pemberitaan Injil. Dia akan memberitakan apa yang Tuhan ingin sampaikan, dan dia tidak menerima “titipan pesan” atau hanya menyampaikan pesan yang enak didengar umat agar dia mendapatkan keuntungan tersendiri. Paulus ingin independent memberitakan Injil sesuai yang Tuhan minta ia sampaikan.
2.Identifikasi diri. Rasul Paulus ingin menyentuh sebanyak mungkin golongan agar semuanya mendengar pemberitaan Injil. Untuk itu dia tidak mau teridentifikasi hanya melayani orang-orang satu golongan saja, misalnya orang kaya saja, atau orang-orang yang menginginkan keuntungan khusus dari pemberitaan Injil. Tapi dia mau di identifikasi penginjil untuk semua golongan.
3.Rasul Paulus ingin menjadi contoh (model). Dalam 2 Tesalonika 3:8 dikatakan “dengan bekerja tanpa mengenal lelah siang dan malam, sehingga kami tidak menjadi beban bagi kamu dan bisa menjadi contoh”. Jelas Paulus menginginkan setiap orang yang mengenal Kristus untuk bekerja dan menjadikan pekerjaan sebagai sumber untuk memenuhi kebutuhan hidup secara etikal.
4.Paulus juga menghendaki setiap orang yang sudah mengenal pemberitaan firman Allah dan menikmati kasih Kristus untuk menjadi penginjil yang tidak menerima bayaran. Mereka yang bertobat harus mau memberitakan kabar baik kepada saudaranya, temannya dan komunitasnya secara gratis, tanpa mengharapkan bayaran.
Apa tantangan Ibu dalam menjalankan bisnis Ibu yang bersifat “tentmakers” ini? Saya bertanya dengan penuh keingintahuan. “Wah, tantangannya tetap banyak Pak. Bahkan banyak orang beranggapan bisa memanfaatkan jasa kami dengan seenaknya. Karena kami pengusaha Kristen, banyak juga dimanfaatkan oleh teman-teman seiman untuk mendapatkan sumbangan untuk kegiatan mereka, atau dari pihak klien bisa beranggapan mereka bisa bertindak sesuka mereka dan mengharapkan kami tidak marah, misalnya terlambat membayar atau tidak membayar jasa kami.” Kalau marah memangnya kenapa Bu? Tanya saya. “ Kalau marah, dianggap kami bukan pebisnis Kristen yang pema’af dan bisa menerima apa saja.” Jawab si Ibu tadi sambil tersenyum masam.
Pada suatu kesempatan lain saya bertemu dengan seorang wanita pebisnis lainnya, yang juga bersemangat memberitakan kabar baik didalam dan melalui pekerjaannya. Pengalaman Ibu ini lain lagi. Sang Ibu tampaknya belum PD (Percaya Diri) benar dalam menjalankan misinya sebagai pemberita kabar baik, jadi beliau selalu melibatkan seorang hamba Tuhan dalam menjalankan misinya. Namun pengalaman yang dihadapinya seringkali menjadi “sapi perah” sang oknum hamba Tuhan tersebut. Seringkali sang oknum hamba Tuhan tersebut bahkan terlihat memegang kendali dalam apa yang hendak dilakukan sang Ibu. Jadi sang oknum, bisa dengan nyamannya mengatakan bahwa di dalam doa-doanya Tuhan berpesan kepadanya untuk mengatakan kepada si Ibu dan keluarganya untuk melakukan hal ini dan hal itu untuk kemajuan bisnis keluarga dan untuk melakukan persiapan bagi penginjilan dikemudian hari.
“Tapi Pak, seringkali pesan tersebut menyangkut kebutuhan keuangan yang besar atau perjalanan rohani yang harus kami biayai untuk hamba Tuhan tersebut dan rombongannya”. “Tahun lalu saja pak, …” lanjutnya. “Kami membiayai enam kali perjalanan ke Israel, ditambah perjalanan ke Amerika, ke Eropah, ke Puncak Gunung Himalaya, ke Tibet, ke Amazon, ke Australia dan beberapa perjalanan lokal seperti ke Papua, Ambon, Manado, Sumatera dan lain-lain”.
“Jadi, tanya saya …. Tujuan perjalananan-perjalanan tersebut apa Bu?” “ Ya, katanya untuk berdoa Pak sesuai yang diperintahkan Tuhan kepada hamba tadi, untuk berdoa ditanah yang di tunjuk dan menguasai tanah tersebut untuk Tuhan”. “ Apa buahnya Bu dari perjalanan-perjalanan tadi?” saya kembali bertanya. Sang Ibu memandang saya dengan sendu. “Saya tidak mau menghakimi …” katanya. “Ya, sampai saat ini saya belum melihat buah-buah yang nyata. Bagi saya ini masih investasi..” jawab si Ibu. “Apakah ada damai sejahtera di pihak Ibu dan keluarga?” saya kembali mengajukan pertanyaan. Sang Ibu merenung….”Ya Pak, sebenarnya dengan seringnya kami bepergian, saya dan suami jadi bermasalah. Karena lebih banyak waktu saya luangkan untuk perjalanan-perjalanan ini dan Bapak sering saya tinggal sendiri di rumah.”
Sang ibu agak tersendat suaranya. “Juga Pak, keluarga anak-anak saya yang semula harmonis menjadi agak kurang harmonis. Anak saya Susi, yang nomor dua, Bapak kenal kan ya? Dia sering juga melakukan perjalanan ibadah sesuai yang diminta hamba Tuhan itu dan meninggalkan keluarganya, sehingga suaminya merasa ditinggalkan…Mereka jadinya sering bertengkar”. “…Dan pak, hamba Tuhan tadi malahan jadi sering tinggal dirumah anak saya tersebut, serta selalu semangat ambil bagian dalam kegiatan keluarga anak saya itu…. Wah saya jadi pusing deh pak.., gimana ya Pak”.
Saya tersenyum, “Ibu, seharusnya pelayanan adalah hal kedua setelah kita mengutamakan Tuhan, jadi bukan banyaknya dan seringnya jumlah pelayanan Ibu. Seharusnya seorang hamba Tuhan yang membantu Ibu bisa membawa buah-buah pelayanan yang baik, dan membawa damai sejahtera. Permasalahan bisa saja timbul, namun seharusnya tidak sampai memperkeruh suasana” saya memberikan pendapat.
Si Ibu mengangguk. “Juga, saya minta Ibu tidak menjadikan hamba Tuhan sebagai “Dukun” dimana Ibu mengharapkan dia menyampaikan pesan Tuhan kepada Ibu dan keluarga. Kalau demikian kan Ibu mengharapkan dia jadi “cenayang” ya…? Ibu sendiri dan keluarga, juga bisa secara langsung berdoa kepada Tuhan, mohon petunjuknya dan lakukan sesuai apa yang Tuhan perintahkan kepada Ibu sebagai jawaban doa Ibu. Jadi jangan terlalu mengharapkan pesan disampaikan kepada Ibu melalui orang lain. Kalaupun itu bisa terjadi, Ibu harus berdoa dan mengujinya”.
Rekan pengusaha Kristiani yang budiman, kita sebagai “tentmakers” harus mengelola bisnis yang Tuhan percayakan dengan benar, tertib, penuh integritas dan kredibel. Jadi hati-hatilah mengelolanya. Jangan biarkan penumpang gelap dengan kedok apapun mempengaruhi jalannya bisnis dan pengeluaran perusahaan yang bisa membawa kerugian, bahkan bisa membawa pada kejatuhan bisnis kita. Hati-hati akan penumpang gelap yang suka membonceng seenaknya dengan alasan rohani. Berdoalah dan tanya Tuhan apakah Tuhan mengirimkan orang itu ada dalam bisnis dan keluarga Anda. Pengusaha Kristiani pasti bisa.