Reformata.com – AMSAL 14:34 mengatakan; Kebenaran meninggikan derajat bangsa, tapi dosa adalah noda bangsa. Bangsa yang benar, adalah bangsa yang bermartabat, yang disukai dan dihormati bangsa lain didunia. Dan kebenaran hidup sebuah bangsa sangat ditentukan oleh pemimpin dan sistim yang berlaku. Kita memiliki UUD, Falsafah berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, dan semangat Bhineka Tunggal Ika, juga ikatan NKRI yang kuat. Semua ini sangat memungkinkan kita menjadi bangsa yang benar dan besar. Itu semestinya, namun sayang, apa yang seharusnya ada ditangan, kini, masih dalam bayang-bayang.
Secara sederhana, ada beberapa alat ukur yang bisa kita pakai untuk menganalisa diri apakah kita sudah benar, atau paling tidak sedang menuju kesana. Alat ukur itu adalah; Iman, Ilmu, Moral, dan Mental. Tak terlalu penting apa pidato dan janji pemimpin, tapi rekam jejak dan prestasi kepemimpinannya. Siapa yang mendekati kebenaran, apalagi sudah hidup sepenuhnya dalam kebenaran, dialah yang layak untuk dijadikan pemimpin.
Manifestasi iman adalah agama. Untuk ini UUD 45 pasal 28 dan 29 mengatur dengan jelas dan tegas, tentang hak, kebebasan, dan jaminan dalam beragama dan menjalankan ibadah. Sejalan dengan itu Pancasila menaruhnya pada sila yang pertama yaitu Ketuhanan yang maha Esa, bukan menurut keyakinan sebuah agama, melainkan kayakinan agama apa juga yang ada di Indonesia tercinta. Disini juga Bhineka Tunggal Ika menggema. Namun dalam kenyataannya, pemerintah yang adalah penerima mandat rakyat ternyata alpa dalam berbagai persoalan kehidupan beragama. Berbagai kasus penutupan gereja, termasuk IMB HKBP Depok yang legal, tapi harus berjuang ke pengadilan untuk bisa mendirikan gereja yang telah memiliki IMB. Sementara GKI Yasmin lebih parah lagi, sehingga, sekalipun keputusan tertinggi yang mengikat dari MA, yang memberikan Gereja hak untuk meneruskan pembangunan gedung yang sudah memiliki IMB, tetap tak bisa dieksekusi. Presiden yang selalu mendengungkan pentingnya penegakan hukum, ternyata tak kunjung menegakkannya. Hasil pemuka agama menghadapnya, disimpulkan percuma. Maka jelas Indonesia memerlukan pemimpin yang tak hanya cerdas berpidato tapi juga bertindak.
Tapi tampaknya masalah keagamaan ini akan makin sensitif, karena Gerindra dalam Manifestonya pasal 11, justru memberi ruang negara boleh ikut campur mengatur kebebasan beragama, tak sejalan dengan UUD pasal 28 dan 29. Dan yang lebih mencengangkan, adanya kalimat pemurnian agama. Oleh siapa? Jelas oleh agama yang merasa paling murni. Maka dalam konteks Kristen, pemurnian agama bisa dilakukan atas aliran Saksi Yehofa, Mormon, Christian Science, dll. Ini jelas membawa anak bangsa pada situasi saling mengancam, dan akan hidup saling mencurigai. Agama adalah keyakinan pribadi yang tak bisa diintervensi, tapi manifesto Gerindra memungkinnya. Hasyim pembina Gerindra, dalam berbagai pertemuan di PGI, STT Jakarta, Aston, yang juga diaminkan oleh KIRA, sayap Gerindra, berjanji akan merevisinya. Namun sayang, sebulan lebih telah berlalu, tak ada yang berubah di manifesto. Dan, sejatinya ini bukan membutuhkan revisi, melainkan harus dihapuskan karena tidak sejalan dengan semangat UUD 45.
Tapi, entah bagaimana, hal ini juga luput dari beberapa pemimpin gereja yang mendukung sepenuhnya Gerindra, lengkap dengan Manifestonya; Pemurnian agama, yang merupakan semangat dari Wahabisme (aliran Islam). Yang diyakini oleh penganutnya untuk memurnikan agama lain yang dianggap berbeda. Dalam internal Kristen juga ada banyak radikalisme yang sangat menggangu. Nah, semua ini bisa jadi masalah yang akan segera tiba. Mengapa para pemimpin gereja alpa? Entahlah? Sebagai pribadi, Prabowo Subianto datang dari keluarga yang pluralis. Adiknya Hasyim adalah seorang Kristen. Dan pendidikanya banyak dinegara Eropa. Tak ada masalah disini. Tapi mengapa ada manifesto pemurnian agama? Dan mengapa tak dibuang? Karena kritikan datang dari berbagai elemen bangsa, dan kalangan Islam sendiri. Dan, janji, juga sudah dilontarkan oleh Hasyim maupun KIRA. Dimana ketegasan dalam soal ini? Sebuah agenda yang menimbulkan tanda tanya besar. Jelas kita tak akan bermain-main dalam hal ini. Ini persoalan serius dalam berbangsa, kecuali sebagai pribadi, kita menganggap bahwa kita tidak ada urusan dengan kehidupan bernegara. Gerindra patut agar segera membuang manifesto pemurnian agama yang memang tidak sejalan dengan UUD. Apalagi Prabowo dikenal dengan ketegasannya, bersifat segera, dan tak menunda. Sementara Jokowi telah menjanjikan akan mencabut SKB 2 Menteri yang memang menjadi biang masalah. SKB (SK ajaib tingkat menteri) yang tak sejalan dengan nafas UUD 45. Ini memang masih janji, tapi paling tidak memberi asa.
Sementara ilmu, adalah bekal utama membangun masa depan. Penduduk Jakarta sangat menikmati Kartu Pintar diera Jokowi, Ahok. Ini lebih dari sekedar dana bos. Sekarang negara sudah mencanangkan wajib sekolah 9 tahun (SD-SMP). Tapi hebatnya, siswa diterima tanpa test, dan naik tanpa ujian (karena memang harus dinaikkan). Dulu kementrian pendidikan mati-matian mempertahankan UN yang memang sudah dibatalkan oleh MK. Alasan pemerataan kualitas pendidikan didengungkan, tapi sekarang tampaknya adalah pemerataan “kebodohan”. Akankah, kita kembali keera keemasan pendidikan ditahun 70 an, dan terus melaju berdampingan dengan negara maju lainnya? Siapa pemimpin yang pas dengan ini? Rekam jejak mereka adalah jawabannya.
Moral, isu ini sangat penting. Moral yang bobrok akan membawa negara ini semakin menukik. Saat ini KPK mencatat prestasi yang cukup mencengangkan. Ketua Lembaga Tinggi Negara (MK),Menteri aktif, Ketua umum parpol, Anggota DPR, ditangkap dan terali besikan. Wakil Presiden dipanggil sebagai saksi, entah, apakah Presiden juga akan dipanggil? Yang pasti, jika bersih moral tentu saja tak perlu takut. Untuk ini moral calon pemimpin bangsa ini patut diselusuri, mulai dari kehidupan keluarga, karier, kepemimpinan, dan hasilnya. Bukan apa kata orang, tapi data dan pengakuan bangsa dan dunia. Semoga kita tak jadi pemilih emosional, tapi rasional. Lihat juga moral total koalisi, kumpulan orang bermoral baik atau buruk. Bersih atau koruptor? Siapa yang terbersih moralnya? Karena pilihan ini bisa jadi bukan soal hitam putih, tapi mana yang lebih putih. Hasil audit BPK atas DKI, adalah wajar dengan catatan. Yang menarik, Ahok Plt. Gubernur, justru meminta BPK agar lebih mendalam dan jika perlu menangkap kepala dinas yang bermain anggaran. Ahok berkata, diera jokowi dan dirinya keungan DKI lebih terbuka, dan merasa senang diaudit. Andaikata tiap kementrian bisa diaudit murni, tanpa kongkalikong, berapa uang yang bisa dihemat? Dan rakyat miskin mendapatkan haknya sebagai warga negara.
Sementar soal mental, tegas atau tidak, cengeng atau berani memang jadi isu penting. Tegas adalah mengetahui dan membuat keputusan benar, dan tidak menunda. Ini bukan soal militer atau bukan. Presiden SBY, berlatar belakang militer, tapi banyak keluhan kurang tegas, kurang cepat membuat keputusan, termasuk soal GKI Yasmin. Belum lagi dalam berkoalisi yang berakibat gonjang ganjing. Untuk ini, lagi-lagi rekam jejak. Prestasi apa yang bisa dijadikan alat ukur ketegasan. Yang pasti, Solo, Jakarta 1,5 tahun terakhir ini memang fenomenal. Untuk Solo dunia telah mengakuinya dan memberi penghargaan, dan ini untuk yang pertama kalinya sepanjang sejarah kita sebagai bangsa merdeka. Jakarta, banyak daerah yang selama ini “tak tersentuh”, yang beralih fungsi, kini kembali lagi. Semua ini hanya mengulang catatan yang ada. Tapi ini data dan fakta.
Akhirnya, siapa yang layak jadi pemimpin bangsa? Siapa dia? Jawabannya ada pada anda. Tulisan ini hanyalah alat bantu agar anda semakin bijak membuat keputusan.
Selamat menentukan Pemimpin masa depan.
Pdt Bigman Sirait
Follow Twitter @bigmansirait