Istilah revolusi mental, kini lagi populer-populernya di Republik tercinta. Kata yang akrab dengan presiden terpilih Jokowi. Seperti apa pelaksanaannya, tentu menanti hingga serah terima, dan aktifnya Jokowi sebagai presiden RI ke 7. Namun, tulisan ini tak coba mengulas konsep revolusi mental yang pasti sudah dirumuskan oleh tim Presiden terpilihJokowi, melainkan sebuah sudut pandang, yang bisa berkaitan, dan bisa juga tidak.
Kata revolusi dalam masa kampanye bahkan sempat menjadi isu yang diarahkan ke semangat komunis. Tak jelas asal usul logikanya, tapi itulah kampanye politik, apapun bisa jadi isu yang liar. Secara umum, kata evolusi berarti perubahan dalam waktu yang panjang. Sementara revolusi adalah perubahan dalam jangka yang pendek. Namun pendek, bukan berarti satu atau dua tahun. Republik Indonesia dalam mewujudkan kemerdekaan, menjalani revolusi yang panjang. Melawan Belanda ratusan tahun, dan juga Jepang. Berbagai negara juga memiliki revolusi panjang. Sementara evolusi berlangsung sangat panjang, ratusan hingga jutaan tahun, sebagaimana yang dipahami kaum evolusionis. Jadi, makna panjang atau pendeknya dalam bilangan tahun, tergantung konteksnya.
Revolusia mental dalam konteks Indonesia memang sangat dibutuhkan. Ini perlu menjadi gerakan khusus. Revolusi mental harus meliputi berbagai aspek, antara lain mental pemimpin, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Begitu juga dengan mental rakyat dalam berbangsa dan bernegara. Sejatinya Indonesia memiliki falsafah kebangsaan yang luarbiasa, yakni Pancasila. Namun pemaknaannya seringkali ditelikung dalam tafsir, demi kepentingan politis sesaat. Ini harus dijaga bersama, agar semangat Bhineka Tunggal Ika, terwujud dalam satu tanah air, bangsa, dan bahasa, Indonesia. Kesatuan bangsa dalam kepelbagaian suku dan agama. Itulah Indonesia.
Kesadaran dan semangat ini harus menjadi dasar gerakan revolusi mental, yang berlaku bagi semua komponen bangsa. Tidak lagi ada ruang untuk menafsir demi keuntungan kelompok. Mental bersatu, harus mengabaikan isu mayoritas atau minoritas, karena sejatinya Indonesia adalah satu. Selama pengkotakan masih ada, maka itu berarti belum ada revolusi mental disana. Isu mayoritas, minoritas, telah mengakibatkan berbagai tragedi yang menyakitkan, yang menyobek kesatuan bangsa. Konflik horizontal, maupun vertikal, seakan tiada berujung. Semakin hari semakin terasa brutal. Pemimpin abai terhadap tugas dan tanggungjawabnya menegakkan falsafah Pancasila yang maknanya terang benderang. Begitu juga dengan rakyat, yang seringkali tersulut fitnah yang memecah belah. Revolusi mental untuk bersatu sebagai bangsa, harus terus menerus ditegakkan dan diberi alat ukur pencapaian nya. Berhasil atau tidak, harus diniliai dalam tiap periode kepemimpinan.
Pemimpin, dalam konteks Trias Politika (Legislatif, Eksekutif, Yudikatif), harus memberi keteladanan. Ketiganya harus memiliki mental yang mandiri, tak sekedar kata mandiri, tapi sejatinya “menghamba”. Dan, ini juga harus diatur dalam UU. Bayangkan, bagaimana mungkin seorang ketua DPR bisa mandiri, jika dalam partai dia adalah bawahan Presiden. Seharusnya Presiden bebas dari jabatan politik, dan tidak partisan. Presiden harus memiliki mental sebagai pemimpin untuk semua golongan. Ini bukan hal yang susah dalam pengaturannya jika sebagai pemimpin merevolusi mentalnya, agar tidak gila kekuasaan, melainkan bergairah untuk pengabdian pada negara. Bukan lagi masanya, pemimpin hanya bicara, membangun citra, namun tak jelas karyanya. Pemimpin harus berkarya nyata, dan bisa diukur keberhasilannya dalam kehidupan rakyat. Tak lagi bermain data, seperti klaim kurangnya rakyat miskin, padahal pengurangan terjadi karena angka pendapatan minimal diturunkan, jauh dari standard Bank dunia. Mari merevolusi diri untuk berlaku jujur.
Sementara Eksekutif, harus merevolusi mentalnya, untuk sungguh-sungguh menjadi pengawas pemerintah, bukan stempel pemerintah. Ketika Montesqiu merumuskan Trias Politika, dia melihat betapa manusia bersifat korup, dan tak boleh sendiri mengendalikan kekuasaan. Karena itu Trias politika adalah semangat saling mengawasi. Jika Legislatif hanya menjadi stempel, maka sidang parlemen hanyalah panggung sandiwara. Ironisnya, kenyataan itu sering dipertontonkan dalam parlemen. Semua terlibat dalam usaha menguntungkan kelompoknya atas nama kepentingan rakyat. Mental ini harus berubah, dimana Parlemen menjalankan sidang yang bermutu, menunjukkan kemandiriannya dalam mengawasi dan memperingatkan eksekutif. Parlemen juga harus dibersihkan dari “perdagangan UU” dengan kementerian. Karena jika ini terjadi, maka negara sudah lumpuh untuk melangkah maju. Dan yang jadi korban, jelas rakyat kebanyakan. Sementara sedikit sekali, rakyat kalangan atas, yang bisa mengecap keuntungan yang besar. Dan ini menciptakan jurang lebar antara yang kaya dan miskin, dan suasana saling curiga.
Yudikatif, ini harus bersih dari orang partai. Jangan dipakai dalih bahwa dipilih adalah hak setiap orang, karena dalih ini hanya menguntungkan kelompok tertentu saja, yaitu orang dilingkaran partai politik. Sementara saat bersamaan terjadi pengganjalan hak para cendekiawan yang non partisan. Dan, jika orang partai yang duduk di Yudikatif, maka subjektifitas penegakkan hukum mengental. Akhirnya, Yudikatif tak lagi menjadi penegak hukum, melainkan menjadi alat kepentingan. Lalu siapa lagi yang bisa menjadi hakim adil? Itu sebab jeritan kuat bergema, bahwa hukum hanya bagi yang kuat. Tajam kebawah, tumpul keatas. Siapa yang berani melakukan revolusi mental di Yudikatif? Diperlukan pemimpin yang berintegritas, bukan pemain sandiwara.
Sementara rakyat tak bisa duduk diam dan hanya berdoa agar terjadi revolusi mental yang menyeluruh. Rakyat harus Ora Et labora, berdoa dan bekerja! Rakyat harus menunjukkan sikap yang tegas dan berwibawa. Rakyat harus memilih partai berdasarkan track record nya, bukan sekedar ikatan emosi, apalagi transaksi materi. Dengan ketegasan rakyat maka wibawa rakyat dalam bersuara akan terus bertumbuh. Pemimpin tak lagi gegabah dalam bersikap, karena diawasi dan dinilai oleh rakyat. Pemilu harus menjadi ajang penilaian sekaligus penghargaan bagi partai yang mendahulukan rakyat. Dan sebaliknya, menjadi ajang penghukuman bagi partai oportunis. Diperlukan kecerdasan dan konsistensi rakyat. Jangan mudah lupa, dan termakan janji kampanye. Revolusi mental harus dikerjakan secara kontiniu dan konsisten, jika rakyat merindukan perubahan yang signifikan, bukan perubahan tambal sulam.
Revolusi mental harus meliputi semua aspek kehidupan, dan untuk menjaganya harus dituangkan dalam UU. Supaya tak sekedar menjadi komoditas politik sesaat. Harapan atas revolusi mental, harus diikuti dengan semangat revolusi yang memerlukan pengorbanan diri untuk turut serta terlibat dan mengawasi. Kita tak bisa absen, abai terhadap masa depan revolusi mental. Ada atau tidak dalam kampanye politik, revolusi mental memang dibutuhkan demi kemajuan bangsa Indonesia. Dan, revolusi ini akan berlangsung panjang, bahkan mungkin, dalam mewujudkannya secara maksimal harus melewati beberapa periode kepemimpinan. Namun yang pasti, harus dimulai dan tidak boleh berhenti.
Merubah mental bukanlah perkara mudah, tapi UU yang merumuskan dan mengatur semangat dan arah revolusi mental akan menjadi alat bantu. Namun penentu keberhasilan revolusi mental adalah diri kita sendiri sebagai anak bangsa. Pemimpin yang tegas akan menghukum rakyat yang menghalangi revolusi mental. Sebaliknya, rakyat yang cerdas akan mengkoreksi dan menghukum pemimpin yang lalai menjalanakan revolusi mental, lewat demontrasi dan Pemilu.
Selamat memulai revolusi mental, semoga kita tiba dimimpi negara adil, makmur, sentosa, bagi seluruh rakyat Indonesia. Semoga pemimpin baru memberi dan menumbuhkan harapan akan perubahan menuju kejayaan Indonesia.
Salam revolusi.