Harry Puspito
(harry.puspito@yahoo.com)*
Dalam tulisan-tulisan sebelumnya kita mencoba memahami arti kebahagiaan secara umum seperti dikejar oleh kebanyakan manusia dan kebahagiaan sejati, yaitu yang Tuhan sebenarnya anugerahkan kepada manusia melalui kehidupan dalam persekutuan dengan Dia, yang dalam bahasa Alkitab banyak disebut sukacita. Kita juga belajar hal mendasar yang merusak kebahagiaan manusia adalah dosa, yang merusak hubungan mereka dengan Sang Pencipta, yang membawa kepada keterpisahan atau teganggunya persekutuan dengan Dia, dan akhirnya merusak sukacita itu. Namun karena manusia dilahirkan di dunia yang berdosa, maka meski pun seseorang, sudah percaya, namun kelahirannya dan kehidupannya dalam dunia berdosa, menyebabkan mereka memerlukan proses perubahan-perubahan yang Sang Penebus siapkan, yaitu yang dikenal dengan ‘santification’ atau pengudusan, dan, dengan mengikutinya – seumur hidup – yaitu melalui ketaatan, kebahagiaan sejati yang semakin sempurna akan orang percaya alami.
Satu kebiasaan buruk yang terbentuk pada manusia berdosa adalah kurang banyak mau berpikir dan ketika berpikir, banyak berpikir mengenai hal-hal yang negatif atau buruk – tentang orang lain, tentang diri sendiri, tentang lingkungan bahkan tentang Tuhan. Satu contoh, kita sering ‘menghakimi’ orang lain tanpa melihat bukti yang memadai, artinya kita berprasangka orang tersebut memiliki pikiran atau perbuatan yang buruk misalnya, Ahok banyak meng-upload rapat-rapat yang dipimpinnya di YouTube, kita pikir pasti mau melakukan pencitraan diri. Kita tidak berusaha memikirkan sisi positifnya apalagi menyelidiki maksud Ahok, tapi langsung berpikir negatif. Dengan berpikir yang ‘salah’ ini, sedikit atau banyak akan berdampak pada suasana hati kita atau kebahagiaan kita.
Dalam wawancara dengan Andy Noya dalam acara Kick Andy beberapa waktu yang lalu, Ahok menjelaskan dia melakukan hal itu karena sudah beberapa kali dia minta suatu anggaran yang dia anggap pemborosan terus saja dimasukkan dalam usulan oleh stafnya. Dan banyak pihak-pihak lain yang meng-upload dan menyebarluaskan video yang menampilkan dia sedang marah di luar konteksnya. Dengan memahami ini kita akan lebih bisa mengerti dan bahkan mendukung sikapnya. Di samping berpikir kritis, sebagai orang percaya, kita seyogyanya melakukan prinsip-prinsip yang baik dan benar, misalnya paling tidak dengan mendoakan ybs, maka kita akan lebih bersukacita.
Dengan kecenderungan manusia berdosa berpikir negatif, tidak aneh Firman Tuhan memerintahkan kita untuk berpikir sebaliknya, misalnya, Filipi 4:18 yang mengatakan: “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu. ”Untuk setiap hal, pada setiap waktu kita diminta membuat daftar hal-hal baik yang kita pikirkan. Bagi yang sudah berkeluarga buat daftar kebaikan-kebaikan pasangannya. Bagi anak-anak, pikirkan hal-hal positif tentang orang tua. Bagi orang tua daftarkan kebaikan-kebaikan anak-anaknya. Mereka yang bekerja, pikirkan kebaikan-kebaikan bosnya. Pikirkan hal-hal baik ini. Setiap saat, termasuk ketika timbul konflik atau ketegangan, pilih pikiran-pikiran positif itu daripada sebaliknya. Maka kita akan lebih mungkin menemukan solusi dan mengalami sukacita dalam segala hal seperti yang Paulus serukan (Filipi 4:4). Wawasan dunia Alkitabiah (akan kita bahas pada tulisan-tulisan yang akan datang) dengan pikiran eskatologis, yaitu menghubungkan kejadian-kejadian yang kita alami itu dengan proses-proses pengudusan kita dan kemenangan akhir yang Tuhan janjikan bagi mereka yang setia akan membantu meletakkan berbagai peristiwa itu dalam proporsi yang tepat dan memampukan kita bersukacita dengan pengelaman-pengalaman hidup itu. Di samping membangun disiplin berpikir positif, kita perlu mengembangkan kebiasaan-kebiasaan hidup, yaitu gaya hidup, yang menolong kita untuk hidup bersukacita dalam segala keadaan. Sebagai orang percaya saya yakin setiap orang terus menerus menambahkan kuantitas dan kualitas disiplin rohani dan kebiasaan-kebiasaan rohaninya.
Oleh karena itu kita perlu mengevaluasi bagaimana kita telah hidup dan apa yang perlu kita tingkatkan atau tambahkan. Apakah kita memiliki kebiasaan untuk berterima kasih, bersyukur, berdoa, mengampuni, memberi, dsb? Apakah kita sudah menghormati hari Sabat? Apakah kita memperhatikan peringatan Alkitab agar tidak berteman dengan orang yang berkarakter buruk – negatif – sehingga kita kita terpengaruh? Dsb., dsb. Mari kita mulai hari ini, seperti apapun kondisi kita saat ini. Tidak ada yang terlambat bagi yang merasa masih jauh, tapi juga tidak ada yang sudah cukup bagi mereka yang sudah menjalankan, karena Tuhan menetapkan target sempurna bagi semua orang. “Inilah hari yang dijadikan TUHAN, marilah kita bersorak-sorak dan bersukacita karenanya!”
(Maz 118:24).
Tuhan memberkati!!!