Harry Puspito
(harry.puspito@yahoo.com)*
Jokowi-JK mengusung tema penting ‘revolusi mental’ dalam kampanye presidensial melawan pasangan Prabowo-Hatta. Secara teknis revolusi mental adalah terkait dengan konsep ‘worldview’ atau ‘wawasan dunia’, yaitu mengenai keyakinan-keyakinan dasar masyarakat, yang mempengaruhi bagaimana orang melihat realitas dan berespon dalam perilaku. Wawasan dunia selanjutnya akan mempengaruhi ‘values’ atau nilai-nilai atau falsafah seseorang – yaitu prinsip-prinsip yang dianut dalam menjalani kehidupan. Sebagai bangsa, maka nilai-nilai dasar ini akan menentukan norma-norma termasuk etika (moral), etiket (kesantunan) dan aturan-aturan; dan ditampilkan dalam perilaku dan penampilan sehari-hari. Ketika bangsa kita, dimulai dari para pemimpinnya, memiliki wawasan dunia yang benar, maka ada harapan bangsa ini memiliki pikiran, nilai-nilai, sikap dan perilaku yang memampukan menghadapi persaingan dan tantangan jaman.
Oleh karena bangsa Indonesia dibangun dengan dasar Pancasila dengan sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, dan dengan dominannya agama-agama wahyu di negeri ini maka worldview bangsa Indonesia ada di arus ‘supra-naturalisme’ yang meyakini keberadaan Sang Pencipta, Yang Maha Kuasa dan memberikan hukum moral yang mutlak dan terus memerintah bumi ini. Yang menjadi pertanyaan, mengapa walau pun dasar-dasar kita berpikir dan berperilaku bangsa ini bersumber dari Sang Pencipta yang ‘sempurna’ itu mengapa tidak menghasilkan bangsa yang hebat. Mengapa ketika disurvei secara ilmiah, disandingkan dengan bangsa-bangsa lain, Indonesia selalu termasuk salah satu negara yang paling korup?
Jokowi menyarankan perlu terjadi revolusi mental. Bisa jadi benar. Artinya, secara kognitif, bangsa kita belum paham ajaran-ajaran agama yang mereka anut, sehingga jauh dari menjalankan dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun penulis ragu dengan pandangan ini tapi lebih meyakini masalahnya bukan di pengatahuan tapi lebih di karakter. Kita tahu karakter adalah perilaku-perilaku moral yang menjadi kebiasaan sebagai aplikasi dari pemahaman akan sumber-sumber ajaran kepercayaan dasar, yang menjadi pilihan dan kepatuhan untuk dilakukan secara konsisten. Memang pembentukan karakter adalah usaha yang sulit dan memerlukan investasi jangka panjang tidak bisa instan. Bahkan pembangunan karakter seseorang harus terjadi sepanjang hidupnya.
Bagaimana dengan pandangan masyarakat mengenai karakter bangsa Indonesia, yaitu bangsa mereka sendiri? Dalam survei yang berusaha meng-eksplor trend persepsi masyarakat terhadap berbagai isu pembangunan karakter, MRI (Marketing Research Indonesia) menggunakan 13 atribut karakter yang digunakan Jakarta Post dan Kompas dalam kampanye mengenai character building melalui medianya, yaitu cinta, tanggung-jawab, disiplin, jujur, percaya diri, empati, kerjasama, kreatif, sopan beretika, rendah hati, kepemimpinan, bebas berekspresi, dan bebas (Newsworthy Characters, a Practical Guide to Character Building). Dalam survey eksplorasi ini MRI mewawancara 100 responden laki-laki dan perempuan berusia 18 tahun ke atas dari kelompok sosial ekonomi ABC+ dengan pekerjaan lapang dilaksanakan pada kuartal ke-2 tahun 2015 ini.
Menarik bahwa mayoritas masyarakat melihat bahwa bangsa Indonesia, yaitu diri mereka sendiri, memiliki karakter-karakter bekerjasama, cinta, kreatif, kepemimpinan, bebas dan sopan beretika (68 – 75%). Di samping berbagai karakter itu, dalam tingkatan berikut bangsa Indonesia dipandang cukup memiliki karakter bebas berekspresi, berempati atau peduli dan rendah hati (53 – 66%). Sebaliknya mereka melihat bangsa Indonesia paling lemah dalam karakter-karakter kejujuran, disiplin, percaya diri, dan tanggung-jawab (29 – 47%).
Survei eksplorasi dengan sampel yang kecil ini dan dilakukan melalui CATI (Computer Aided Telephone Interview) ini mengindikasikan memang kita menghadapi persoalan pembangunan karakter bangsa yang berat, karena justru dalam karakter-karakter yang utama kita mengaku kita terbentuk lemah – jujur, tanggung-jawab, disiplin dan percaya diri. Dengan lemahnya karakter dasar ini, maka karakter-karakter lain yang terbentuk seperti kerja-sama, cinta, pemimpin, kreatif, sopan dan beretika dengan mudah diwarnai dengan nilai-nilai negatif seperti koruptif, egoistis, hedonistis, dan gampangan yang berkembang pada jaman ini. Maka kita memiliki banyak contoh pemimpin yang satun tapi korupsi, misalnya. Semangat bekerja-sama tapi harus tahu sama tahu.
Sebagai orang percaya kita mengetahui bahwa sejak menjadi orang percaya kita masuk dalam proses character building Allah hingga akhir hayat. Allah bekerja secara sempurna, mengubah kita dari dalam ke luar, dari hati ke perilaku. Seharusnya memang kita menjadi ‘garam dan terang dunia’ agar Allah kita dimuliakan di negeri ini. Amin!
***********************************