Etika

 Harry Puspito
(harry.puspito@yahoo.com)*

REFORMATA.com – KITA tinggal di Indonesia yang dikenal sebagai salah satu negara paling korup di kawasan Asia bahkan di dunia. Korupsi dikatakan sudah menjadi budaya. Perilaku korupsi sudah menjadi kebiasaan masyarakat, kebiasaan bersama. Jika sudah demikian maka seorang yang berusaha memiliki sikap dan perilaku yang berbeda tentu akan menghadapi tantangan yang berat. Bukan sekadar karena nilai-nilai yang berbeda, tapi perilaku yang berbeda itu akan menjadi ancaman bagi lingkungan yang menikmati keuntungan dari budaya korup yang tercipta.
Contoh kasus yang umum terjadi adalah ketika seseorang membeli property seperti rumah atau ruko. Peraturan pengenaan pajak adalah atas nilai yang lebih tinggi, apakah nilai transaksi atau NJOP (Nilai Jual Objek Pajak). Harga property umumnya di atas NJOP. Praktek yang banyak terjadi adalah nilai transaksi yang dicantumkan dalam akte jual beli, yang ditandatangani di depan seorang notaris, diturunkan sedikit di atas NJOP sehingga baik penjual maupun pembeli diuntungkan karena membayar pajak berdasarkan nilai yang lebih rendah itu. Sebuah perusahaan bahkan menolak menjual property-nya dengan harga lebih tinggi kepada seorang konsumen yang meminta pajak dibayar dengan benar karena semua unit yang lain bertransaksi dengan cara yang sudah ‘biasa’ itu.
Kasus-kasus korupsi lain tapi sejenis ini banyak dan peluang ada di mana-mana, menghasilkan potensi penghasilan dari yang kecil hingga yang luar biasa. Orang Indonesia dikenal kreatif dalam memanfaatkan peluang seperti ini. Seorang Gayus, pegawai negeri golongan 3A dengan penghasilan pokok kurang dari 2 juta, tapi gaji total 8 juta bisa memiliki simpanan lebih dari Rp 28 miliar di banyak rekening bank. Jika semua gajinya ditabung dan tidak dikenakan pajak, diperlukan waktu 292 tahun untuk mencapai jumlah simpanan Rp 28 milyar. Kabar terakhir, jumlah yang dimiliki Gayus bahkan sampai Rp 80 milyar; jika dikejar terus mungkin lebih lagi. Sungguh “prestasi” yang sudah supra-natural untuk seorang Gayus yang baru berusia 30 tahun. 
Kasus-kasus korupsi di negeri ini sudah sangat meluas, dengan pelaku orang awam, preman, hingga pejabat tinggi; di semua bidang, baik yang komersial, sosial hingga keagamaan; dari anak kecil (melalui mencontek), orang dewasa hingga orang tua. Sementara semua orang Indonesia adalah beragama. Sehingga dapat disimpulkan korupsi terjadi di semua kelompok agama. Bentuk korupsi sudah barang tentu sangat bervariasi dengan nilai yang dikorupsi dari kecil hingga tidak terbayangkan.
Bagaimana dengan orang percaya? Sangat menyedihkan bahwa orang Kristen banyak yang terlibat dalam perbuatan tercela ini, bahkan kasus-kasus yang besar dan terungkap di media banyak melibatkan pelaku orang yang mengaku Kristen. Kalau kita bezuk ke penjara-penjara, kita akan melihat banyak orang Kristen di sana. Di luar ini pasti lebih banyak lagi yang belum terungkap. Kita menghadapi masalah-masalah pelanggaran etika yang sama dengan orang-orang lain, bahkan kita menjadi lebih hebat dalam kejahatan ini.
Apakah yang salah dengan kekristenan? Apakah karena penekanan pada ajaran kepastian keselamatan sehingga orang tidak takut berbuat salah, karena toh pasti selamat? Apakah karena gereja telah salah dalam pene-kanan ajarannya kepada keber-katan orang percaya daripada pembangunan moral orang percaya dan misi orang percaya di dunia yang sementara? Atau pengaruh lingkungan demikian kuat sehingga bukan kita menjadi ‘garam’ dan ‘terang dunia’ tapi kita malah ‘dimuridkan’ oleh dunia. Kita menghadapi masalah etika dan hidup beretika. 
Masalah etika adalah masalah apa yang secara moral benar dan salah. Etika adalah sistem nilai-nilai dan kewajiban-kewajiban moral. Dia berhubungan dengan karak-ter, tindakan-tindakan dan tujuan ideal manusia. Etika berhubungan dengan apa yang harusnya se-seorang lakukan dan apa yang seharusnya dia tidak boleh laku-kan. Sikap-sikap apa dan perilaku apa yang dipandang sebagai baik dan tidak baik? Sebagai orang percaya maka otoritas terakhir dalam menentukan masalah etika sudah barang tentu adalah Alkitab.
Mengapa orang percaya ditun-tut hidup dengan standar etika yang tinggi? Orang diselamatkan memang karena dibenarkan oleh Tuhan melalui pengorbanan Kristus di kayu salib (Efesus 2: 8,9). Jika orang beretika saja yang diselamatkan, maka tidak akan ada seorang pun yang di-terima di sorga. Namun setelah seseorang diselamatkan, Tuhan mengerjakan proses selanjutnya dalam diri orang percaya, yang dalam bahasa teologi dikenal dengan ‘sanctification’ atau pengudusan. 
Allah kita adalah kudus dan dengan tegas Dia menghendaki umat-Nya hidup kudus (lihat Imamat 11: 44-45; Mazmur 15). Allah berkehendak menjadikan umat tebusan-Nya menjadi seperti Dia, yaitu menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, Yesus (Roma 8: 29-30). Dan Dia mengamati segala langkah-langkah kita setiap waktu (Amsal 5: 21) sehingga di satu pihak kita bisa memiliki keyakinan akan pemeliharaan dan penja-gaanNya tapi di lain pihak kita harus hidup sesuai dengan kehendak-Nya, yaitu hidup de-ngan etika. Tuhan memberkati.v

*Penulis adalah partner di Trisewu Leadership Institute

Recommended For You

About the Author: Harry Puspito

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *