Fiksi, Perjalanan Menemukan Kembali Imajinasi

Spread the love

 

Di kelas pelatihan penulisan fiksi, saya kerap dihadapkan pada wajah-wajah penuh tanya. Para peserta pelatihan saya adalah orang-orang cerdas, terbiasa hidup di antara data, kutipan teologis, dan kerangka argumentasi yang kokoh.

Mereka dengan semangat menyebutkan buku-buku rohani berisi fakta dan analisis. Namun, begitu diminta menuangkan sebuah adegan yang membutuhkan imajinasi, wajah mereka langsung menegang. Imajinasi terasa sulit sekali bagi mereka, seperti benda asing yang sudah lama ditinggalkan di masa kanak-kanak.

Bukan cuma itu. Tak jarang saya juga menjumpai peserta yang bertanya, “Apa gunanya semua yang Ibu terangkan itu untuk saya?” Di benak mereka, cerita rekaan yang lahir dari imajinasi adalah kesia-siaan, bunga indah tapi kosong. Mereka menganggap waktu terlalu berharga untuk dihabiskan pada narasi yang tidak berbasis fakta dan kisah nyata.

Tapi benarkah demikian? Sama sekali tidak. Ironisnya, ketiadaan imajinasi ini justru menghalangi mereka menuangkan cerita yang paling faktual sekalipun. Ketika saya memberi mereka tugas menulis kisah pengalaman hidup pribadi—di mana semua fakta telah tersedia dan dialami sendiri—mereka tetap gagal menghasilkan tulisan yang hidup. Bukan karena kurangnya pengetahuan, melainkan karena miskin imajinasi. Dan tanpa imajinasi, kisah nyata pun sulit dituangkan dengan jernih dan hidup.

Belajar dari Allah yang Bercerita

Kesadaran itu menampar saya. Mau tak mau, saya harus menarik mereka lebih jauh ke belakang, ke sumber segala kreasi itu sendiri.

“Pikirkan ini,” ujar saya, berbicara perlahan. “Bagaimana mungkin kita meremehkan cerita, padahal kita menyembah Allah yang imajinasi-Nya tak terbatas dan sempurna?”

Pikirkan penciptaan itu sendiri: gunung, hutan, matahari, bintang, galaksi. Apa itu semua jika bukan daya cipta yang tak terbatas? Allah tidak menciptakan dunia di atas berbagai fakta dan teori. Dia menciptakannya sebagai narasi yang terus bergulir, saling mengikat, dan terikat pada-Nya.

Dan ketika Allah menciptakan manusia, Dia menaruh imajinasi di dalam diri kita bukan sebagai hiasan, melainkan bukti bahwa kita diciptakan menurut gambar-Nya. Ini bukti bahwa ketika manusia berimajinasi, sesungguhnya kita sedang meniru perbuatan kreatif Allah.

Maka, ketika kita meremehkan cerita, bukankah kita juga meremehkan anugerah kreatif yang Allah sematkan pada diri kita? Fiksi, cerita rekaan, adalah salah satu wujud paling bebas dan murni dari anugerah imajinasi ini. Logika dan fakta saja tidak cukup; kita membutuhkan daya imajinasi untuk melampaui batasan fakta dan merasakan Kebenaran.

Belajar dari Kristus

Malam itu, saya menemukan daftar “Bacaan untuk Memahami Tim Keller” di website The Gospel Coalition (TGC). Di sanalah, di antara puluhan judul buku doktrinal, saya menemukan beberapa judul novel. Cerita rekaan. Ini validasi bahwa hamba Tuhan sekaliber Tim Keller tahu, fiksi yang baik juga mengajarkan kebenaran—bahkan yang paling sulit sekalipun.

Keesokan harinya saya  ajak para peserta pelatihan melihat bagaimana Allah mewahyukan diri-Nya melalui cara paling kreatif—cerita. Alkitab. Alkitab dipenuhi perumpamaan, metafora, dan kiasmus, yang menuntut partisipasi penuh dari imajinasi kita.

Ingat Lukas 10:30-37. Ketika seseorang bertanya, “Siapakah sesamaku?” Yesus tidak memberi jawaban dogmatis. Dia merangkai sebuah cerita rekaan tentang orang Samaria yang baik hati. Cerita itu berhasil karena fiksi melakukan satu hal utama: membawa kita keluar dari diri, dan masuk ke diri orang lain. Dengan kata lain, fiksi mengajarkan kita tentang empati.

C.S. Lewis menjelaskan, orang yang tidak membaca fiksi hanya menghidupi “satu kehidupan”, tetapi yang membaca cerita rekaan bisa menghidupi “seribu kehidupan”. Fiksi memperluas pemahaman kita karena kita diajar untuk belajar merasakan dan membayangkan hidup di luar batas pengalaman pribadi.

Fiksi yang bagus tidak menawarkan jawaban mudah; ia memaksa kita untuk melihat ke dalam sudut gelap hati manusia, termasuk hati kita sendiri. Melalui cerita, kita terbebas dari “penjara waktu” kita sendiri, terbang melintasi abad demi abad, belajar menyadari bahwa penderitaan, moralitas, dan harapan adalah isu kekal yang relate sampai sekarang. Fiksi adalah jalur yang sah untuk mencari hikmat, memaksa pikiran kita bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan agung mengenai penderitaan, kasih, dan penebusan, sehingga kita dapat sekali lagi merasakan kebenaran yang melampaui logika.

Tugas Mulia Seorang Penulis

Namun, apa sesungguhnya tugas mulia seorang penulis cerita rekaan, setelah semua pengetahuan itu kita dapatkan?

Pertama, kita harus menahan diri dari godaan untuk menyodorkan semua jawaban. Kita harus memberi ruang agar pembaca bisa berimajinasi dan menemukan maknanya sendiri.

Kedua, kita tidak boleh mencekoki pembaca dengan menceritakan segalanya. Tugas kita adalah menyajikan makna tersirat, meninggalkan sebuah ruang di antara baris kata-kata yang kita tuliskan, memberi kesempatan bagi penulis untuk menarik makna bagi dirinya sendiri.

Terakhir, ikutilah teladan Yesus. Gunakan bahasa kiasan. Parabel. Dan biarkan cerita itu sedikit menggantung agar pembaca dapat merenung, becermin, mengolah pandangan yang baru, dan menemukan kebenaran yang lebih pribadi dan bertahan lama. Inilah keindahan storytelling—ia tidak memaksakan, tidak mendiktekan, tapi menawarkan pengalaman, kesempatan untuk bertumbuh, dan berubah.

Buku-buku nonfiksi ditulis berdasarkan fakta, tetapi fiksi terbaik ditulis berdasarkan kebenaran. Dan kebenaran lebih sukar dipahami daripada fakta, lebih personal. Kiranya kita terus mengasah imajinasi kita sampai dapat melahirkan ribuan cerita rekaan yang membawa pesan kebenaran ke dunia ini, meneladan para penulis Alkitab, yang bercerita dengan pimpinan Roh Kudus.

About the Author: Rosi L Simamora

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *