
“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.”
Matius 6:33
Di dunia modern, ukuran keberhasilan organisasi berkisar pada sales, profit, pertumbuhan, pengakuan, dan kekuasaan. Wajar jika seorang pemimpin—baik di perusahaan, gereja, lembaga sosial, atau bahkan di rumah—tanpa sadar terperangkap dalam pengejaran metrik dunia ini. Namun, sebagai pemimpin Kristen, kita sejatinya dipanggil dengan tujuan yang berbeda, yaitu tujuan Kerajaan Allah. Pertanyaannya, apakah ini mungkin kita wujudkan di dunia kita?
Bagi orang percaya target kepemimpinan melampaui target-target organisasi tadi. Panggilan kita adalah memuliakan Allah dan memperluas Kerajaan-Nya di dunia ini. Ini adalah horizon kekekalan yang seharusnya menjadi kompas bagi keputusan dan strategi kepemimpinan kita. Yesus Kristus sendiri menantang kita dalam Khotbah di Bukit, “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Matius 6:33). Ungkapan “carilah dahulu” bukan saran tapi perintah untuk menempatkan prioritas Kerajaan di atas segalanya, dan ini tentu berbeda radikal dari paradigma dunia.
Dalam perspektif Kerajaan, kepemimpinan bukanlah tentang mengumpulkan kekayaan, melainkan tentang menunjukkan ketaatan dan kesetiaan dalam mengelola sumber daya yang telah Allah percayakan—waktu, tenaga, talenta, dan segala sumberdaya lain. Jika keuntungan atau pertumbuhan terjadi, itu adalah “tambahan” dari nilai Kerajaan yang kita kejar. Artinya, keputusan manajerial pemimpin Kristen tidak boleh semata-mata didasarkan pada perhitungan untung-rugi atau efisiensi semata. Sebaliknya, hal itu harus diarahkan untuk menyatakan nilai-nilai Kerajaan Allah di mana pun kita berperanan.
Inilah tujuan dari kepemimpinan dan manajemen Kristen yang sejatinya, yang karenanya pemimpin Kristen menjunjung keadilan (seperti memastikan sistem kerja yang adil dan non-diskriminatif), mewujudkan kasih (melayani dan memberdayakan bawahan), dan menegakkan kebenaran (integritas penuh dalam setiap transaksi, laporan, pembayaran pajak, dsb.). Kepemimpinan yang berorientasi Kerajaan akan berhati-hati dalam pengambilan keputusan, menolak dorongan keserakahan, ambisi pribadi, atau ketakutan duniawi, dan memilih jalan yang memuliakan Tuhan, yang membutuhkan hikmat dan kekuatan ilahi.
Lebih dari sekadar masalah etika bisnis, visi Kerajaan Allah mengubah kepemimpinan menjadi sebuah pelayanan yang transformatif, mengubah lingkungan kerjanya. Pemimpin Kristen memiliki beban untuk melihat orang yang dipimpin bukan hanya sebagai sumber daya, tetapi sebagai pribadi yang berharga karena gambar Allap pada diri mereka, yang perlu terus bertumbuh. Ini mengubah investasi terbesar kita dari sekadar pelatihan kompetensi menjadi pembangunan karakter dan pendewasaan rohani. Pekerjaan sehari-hari menjadi lahan di mana pemimpin menjadi mentor, menggunakan manajemen konflik sebagai kesempatan untuk mengajarkan pengampunan atau tekanan kerja sebagai peluang untuk mempraktikkan iman dan kesabaran. Otoritas sejati pemimpin Kristen tidak berasal dari jabatan, tetapi dari Kristus sendiri yang terpancar melalui kepemimpinan hamba yang otentik.
Mandat budaya dan pembaharuan rohani Kristus untuk memperluas Kerajaan-Nya (Matius 28:19-20) menjadi motivasi penggerak setiap kepemimpinan Kristen. Pernyataan misi organisasi Kristen harus holistik, melampaui produk atau layanan semata, dan mencakup dampak sosial, etika operasional, dan komitmen untuk melayani komunitas yang rentan. Organisasi yang dipimpin dengan visi Kerajaan berfungsi sebagai agen pembawa damai sejahtera di tengah dunia yang penuh konflik. Di dalamnya, pemimpin membangun budaya organisasi yang mencerminkan rumah Allah, di mana kasih dan rasa hormat terhadap manusia menjadi norma yang mengeliminasi favoritisme atau eksploitasi.
Tantangan untuk mencari dahulu Kerajaan Allah disertai dengan janji berkat. Setelah memerintahkan kita untuk memprioritaskan Kerajaan dan kebenaran-Nya, bukankah Yesus menutupnya dengan jaminan: “maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.“ Inilah janji pemeliharaan-Nya. Dia menjamin kecukupan dan berkat ketika agenda-Nya menjadi prioritas utama kita. Kepemimpinan Kristen yang efektif bukanlah tentang seberapa tinggi kita naik atau sukses, tetapi seberapa banyak kita telah merefleksikan Kristus dalam prosesnya, dan seberapa setia kita menjalankan tugas kita untuk kemuliaan kekal, bukan sekadar untuk keuntungan yang fana.
Bagaimana kita mengimplementasikan visi Kerajaan Allah ini dalam aktivitas kepemimpinan dan manajemen kita sehari-hari? Seruan untuk mencari dahulu Kerajaan Allah harus diwujudkan dalam tindakan-tindakan yang praktis. Mari kita terus menerus mengevaluasi dan merevisi prioritas kita. Apakah tujuan utama kita sejauh ini sekedar pencapaian angka target (profit, sales, jumlah anggota) atau nilai (integritas, keadilan, pengembangan karakter)? Kita identifikasi area manajemen—mungkin sistem penggajian, promosi, atau komunikasi internal—di mana kita sering tergoda untuk berkompromi demi efisiensi atau keuntungan sesaat.
Mari kita bertekad untuk hanya menggunakan standar kebenaran dan keadilan Allah di organisasi yang kita pimpin, meskipun itu tidak populer atau terasa “mahal” – misal dalam disiplin pembayaran pajak, dan kita akan menyaksikan bagaimana ketaatan kita mendatangkan berkat Allah sendiri di luar jangkauan pikiran kita.
Dan jika Kristus adalah model kepemimpinan kita, biarkan pelayanan menjadi kebiasaan harian kita. Kita lakukan tindakan-tindakan nyata hari demi hari yang menunjukkan kepemimpinan hamba (servant leadership)—apa membantu bawahan menyelesaikan tugas teknis, menanyakan kebutuhan pribadi anggota tim, atau melakukan tugas sederhana yang biasa Anda delegasikan. Ijinkan orang yang Anda pimpin melihat Kristus bukan hanya di gereja, tetapi melalui kegiatan harian kita. Marilah kita memimpin, bukan dengan mata tertuju pada keuntungan, tetapi pada Kerajaan. Kita memimpin di dunia, tapi sejatinya kita mewakili kehadiran kerajaan-Nya. Tuhan Yesus memberkati!
Ev. Harry Puspito
Pendiri dan chairman MRI (Marketing Research Indonesia)