
Pertanyaan yang merupakan pergumulan teologis dengan realita nilai jaman. Munarsih yang dikasihi Tuhan, pernikahan adalah lembaga sakral yang memang diajarkan Alkitab. Bahkan bukan hanya pernikahannya, bagaimana menjalani, dan juga ketetapan tidak boleh adanya perceraian dalam pernikahan Kristen.
Dalam Kejadian 2:22-25, adalah gambaran lembaga pernikahan yang dibuat oleh Allah sendiri setelah penciptaan manusia. Jelas bukan manusia yang membuatnya, karena fakta penciptaan laki-laki dan perempuan adalah fakta ketetapan Allah. Dan bahwa laki-laki dan perempuan itu dipersatukan, sehingga menjadi satu dan tak boleh dipisahkan adalah juga ketetapan Allah. Dan tujuan pernikahan itu sangat jelas, yaitu supaya manusia berkembang biak, dan menguasai bumi (Kejadian 1:26-28). Manusia mengelola kehidupan dibumi sebagai penerima mandat Allah. Maka dalam hal ini pernikahan menjadi sangat penting dalam menjalankan mandat Allah, sehingga pernikahan sudah semestinya memuliakan Allah Sang pemberi mandat. Perlu diingat, ketetapan ini bahkan sudah diberikan ketika manusia masih berada di taman Eden, sebelum manusia jatuh ke dalam dosa, dan diusir keluar dari taman Eden sebagai simbol keberdosaan yang membuat manusia “terpisah” dari Allah yang suci. Jadi sangat jelas, pernikahan itu adalah ketetapan yang dirancang Allah bagi manusia, sebagai ketetapan yang suci, sakral, sebagaimana tampak dalam kesatuannya, mereka berdua telanjang tetapi tidak ada perasaan malu. Setelah manusia jatuh kedalam dosa, terusir dari eden, maka kehidupan pernikahan mengalami kerusakan, lari jauh dari tujuan semula. Pernikahan tidak lagi suci dalam kesatuan dua orang, laki-laki dan perempuan, tetapi berubah dari monogami menjadi poligami. Kemudian perceraian menodai kehidupan pernikahan suci. Semua orang di PL terlibat dalam kekacauan ini, termasuk para bapak beriman. Ini menjadi gambaran betapa berdosanya manusia, dan jika bukan karena kasih karunia Allah maka semuanya pasti binasa. Bahwa, pernikahan adalah rencana dan ketetapan Allah sangat terasa dalam diskusi Tuhan Yesus dengan orang Farisi dalam Matius 19. Mereka bertanya apakah diperbolehkan orang menceraikan istrinya dengan alasan apa saja. Jawaban Yesus adalah menunjuk ke rencana semula dimana Allah menetapkan manusia itu, yaitu laki-laki dan perempuan untuk menjadi satu didalam lembaga pernikahan. Orang Farisi mendebat Tuhan Yesus dan berdalih bahwa Musa memberikan surat cerai, yang artinya cerai dibolehkan. Kembali Tuhan Yesus menjawab dengan amat sangat tegas, bahwa ini karena mereka tegar tengkuk. Faktanya, sejak kejatuhan kedalam dosa kehidupan keluarga kacau balau, poligami yang mengakibat perpecahan dalam keluarga, dan perceraian yang melukai bukan saja pasangan yang menikah, tetapi anak-anak yang tidak rahu menahu urusan orangtuanya. Era PL sebagai era pengujian manusia menjalankan hidup keagamaan sudah gagal. Dalam konteks pernikahan Tuhan Yesus mengembalikan pernikahan kenilai yang semula, dua menjadi satu, dan tidaik bisa diceraikan oleh manusia kecuali oleh kematian. Bahkan ketika alasan perjinahan boleh untuk sebuah perceraian, tersurat dan tersirat jelas dalam PL bahwa perjinahan hukumannya adalah kematian.
Kembali keatas, pernikahan adalah rancangan dan ketetapan Allah bukan manusia. Rancangan dan ketetapan manusia adalah perceraian dengan berbagai alasan, dan Tuhan Yesus menentang hal ini. Tuhan membuatnya baik dan indah, manusia merusaknya. Manusia sebagai mahluk ciptaan yang segambar dan serupa dengan Allah, yang diberikan akal budi, tentu tahu artinya keteraturan, komitmen, persatuan, dan kesetiaan. Manusia tidak sama dengan ciptaan lain yang tidak membutuhkan keteraraturan, khususnya dalam konteks pernikahan. Manusia tidak bisa sembarangan, dan merusak tujuan pernikahan yang sakral menjadi sekedar legalitas pemuas nafsu belaka.
Di dalam seluruh bagian PL dan PB, jelas sekali hidup pernikahan memiliki ketentuan, dan inilah yang disebut sebagai keluarga, sehingga ada dan dikenal silsilah. Dalam PL keteraturan yang ada ternoda oleh perceraian, namun itupun sangat jelas ketentuan hanya boleh intim dengan pasangan yang dinikahinya. Jika menyimpang ada penghukuman yang diatur dengan jelas. Didalam PB pernikahan dikuduskan oleh Tuhan Yesus dalam penebusan diatas kayu salib dan dikembalikan kepada tujuan semula. Hal ini juga sangat terasa dalam pelayanan Tuhan Yesus, dimana tanda pertama yang dikerjakan NYA adalah menyelamatkan pernikahan di Kana (Yohanes 2). Sangat jelas keluarga mendapat perhatian yang khusus dalam pelayanan Tuhan Yesus. Munarsih yang dikasihi Tuhan, dengan penjelasan yang diatas, maka jelas sekali bahwa hidup bersama tanpa pernikahan dilarang keras oleh Alkitab. Di dalam PL gambarannya sangat jelas, dirajam mati. Di PB rajam mati tidak lagi diberlakukan karena semua akibat keterkutukan dosa telah ditanggung oleh Tuhan Yesus Kristus diatas kayu salib. Karena itu dikatakan bahwa Tuhan Yesus datang bukan untuk meniadakan melainkan untuk menggenapi hukum Taurat. Bahkan dalam UU di negara kita hal itu juga dilarang, dan ini akan menjadi masalah serius bagi akte kelahiran anak. UU negara saja mengaturnya, apalagi Alkitab. Hidup bersama tanpa pernikahan itu disebut sebagai perjinahan dan melanggar hukum Taurat perintah ketujuh.
Hidup bersama sudah ada sejak dulu kala, dilakukan oleh orang yang tidak beragama. Dimasa kini orang beragam juga ada yang melakukannya, khususnya dinegara barat. Berbagai alasan dibuat, khususnya agar lebih saling mengenal, bahkan hingga punya anak. Namun akhirnya mereka juga menikah. Dan pernikahan diakui oleh berbagai negara didunia ini, dan UU melindungi hak-hak merka yang terikat dalam pernikahan. Yang tidak mau terikat memilih tidak menikah tapi hidup bersama. Padahal untuk hidup bersama juga perlu keterikatan. Seperti yang ditanyakan diatas, jika bisa setia, saling sayang apakah perlu pernikahan. Mungkin ada baiknya kita pertanyakan balik, jika bisa setia, saling sayang, mengapa sulit untuk menikah. Iya, bukan.
Alkitab mengajarkan hubungan seks itu adalah hetro seksual, melarang homoseksual dan biseksual. Begitu juga Alkitab mengajarkan pernikahan dan bukan kumpul bersama tanpa pernikahan. Dan pernikahan adalah komitmen untuk saling mencintai dan setia selalu. Begitulah jawaban yang bisa saya sampaikan, kiranya ini boleh menjadi berkat bagi kita semua. Dan untuk Munarsih, seberat apapun pergumulan kehidupan khususnya dalam konteks pernikahan, tidak tersedia sedikitpun alasan untuk memilih hidup bersama. Percayalah Tuhan punya banyak cara menolong kita, menanti dan menjalani dengan benar, itulah yang kita perlukan. Tuhan menolong kita.