Kita hidup di era yang serba individualistis. Setiap orang sibuk mengejar mimpi dan tujuan pribadi masing-masing. Dalam hiruk pikuk kehidupan modern sekarang, kita seringkali lupa akan pentingnya mengasihi sesama.
Sebagai orang Kristen, kita seringkali gagal menunjukkan kasih karena memandang orang yang mememtingkan diri itu normal. Mungkin kita merasa telah menunjukkan kasih kepada orang lain seperti pemahaman kita akan kasih itu. Namun, apakah kasih kita itu adalah kasih yang sejati – kasih agape, kasih yang berkorban, kasih yang fokus pada kepentingan orang lain? Atau mungkin kita masih terjebak dalam pola pikir yang mementingkan diri sendiri? Alkitab, dalam 1 Korintus 13:5b, memberikan satu atribut kasih yang sangat jelas: ‘Ia (kasih) tidak mencari keuntungan diri sendiri‘.
Jemaat Korintus yang menerima surat Paulus itu memang menunjukkan kecenderungan fokus pada diri sendiri, dari pada mencari Allah sehingga terjadi berbagai masalah seperti perpecahan kepemimpinan (pasal 1-3), sikap negatif terhadap Paulus (pasal 4), kasus legal dengan orang Kristen lain (pasal 6), sikap egois dalam Perjamuan Kudus (pasal 11), dan membanggakan karunia rohani (pasal 12). Dalam Alkitab banyak kisah lain Allah membiarkan orang mengejar kepentingan mereka sendiri sebisa mereka. Namun itu tidak berakhir baik dengan mereka.
Memperhatikan kepentingan sendiri tidak masalah, tidak berdosa. Bahkan bisa menjadi kebodohan kalau kita mencari kepentingan orang lain tapi mengabaikan diri sendiri. Seperti instruksi di pesawat, ketika ada masalah dengan kekurangan oksigen, maka kita diperintahkan untuk mendapatkan masker oksigen untuk diri sendiri lebih dulu, sebelum menolong orang di dekat kita. Kita tidak bisa menolong orang lain kalau kita sendiri tidak bisa bernafas.
Bahasa Yunani mengenal jenis kasih ini dengan istilah ‘philautia’ yang menunjuk kepada kasih diri atau peduli diri. Ini meliputi harga diri dan respek diri yang sehat, dan kepada bentuk negatif cinta diri, seperti narsisme atau egoisme. Walau kata ‘philautia’ tidak digunakan di Alkitab, tapi konsep cinta-diri secara tidak langsung disebut dalam ayat-ayat PB seperti Matius 22:39; Efesus 5:28; dan, Galatia 5:14. Dalam ayat-ayat ini ditekankan kasih untuk orang lain sebagai refleksi kasih kepada diri sendiri. Kita memperhatikan kepentingan sendiri, tapi kita tidak mencari keuntungan sendiri, sehingga merugikan orang lain. Ini sesuai dengan sikap Yesus yang datang tidak untuk dilayani tapi untuk melayani dan memberikan nyawanya untuk tebusan bagi banyak orang (Markus 10:45). Kasih tidak mencari keuntungan diri sendiri; kasih peduli dengan kepentingan semua, termasuk diri sendiri. Kalau kasih tidak mencari keuntungan diri sendiri, berarti ketika kita selalu terobsesi dengan keinginan diri sendiri, kita tidak bisa mengasihi orang lain. Kita tidak bisa mengabaikan kepentingan orang lain dan sekaligus mengasihi orang lain itu.
Manusia lahir baru adalah mahluk yang berbeda. Dia memiliki hati yang baru dan hatinya membesar melampaui dirinya. Kasih tidak mencari kepentingan sendiri, kasih memiliki hati yang meluas, meluas ke orang-orang lain. Kasih sejati adalah kasih yang pertama-tama berfokus pada Allah, kemudian kepada orang lain. Jika kasih kita tidak berpusat pada Allah, itu hanya menjadi usaha manusia yang terbatas, karena kasih yang benar-benar sejati hanya bisa dipraktikkan ketika kita terlebih dahulu mencari kehendak Allah dan menyenangkan Dia. Dengan demikian, kasih yang sejati menempatkan Allah di pusat, yang kemudian akan terwujud dalam tindakan kasih kepada sesama manusia.
Yesus adalah teladan pribadi dengan kasih yang demikian. Dia tampak selalu mementingkan kepentingan banyak orang lain. Kita tidak bisa melihat sikap ‘mencari kepentingan diri sendiri’ dalam diri Yesus. Dia mencari kepentingan terbaik manusia berdosa hingga mengorbankan diri-Nya di kayu salib – pengalaman yang menakutkan Dia. Di Taman Getsemane Dia sempat berdoa kalau ada jalan lain sehingga Dia tidak perlu mati, tapi Dia menerima kehendak Allah, untuk penebusan manusia. (Lukas 22:42). Yesus mengutamakan kehendak Bapa dan kepentingan orang, Dia tidak mementingkan diri sendiri.
Bagaimana kita bisa hidup dengan kasih agape, seperti Kristus yang “tidak mencari keuntungan diri sendiri”? Kuncinya adalah mengalami kasih Kristus, dan tinggal dalam kasih-Nya. Ketika kita memikirkan keuntungan sendiri, maka obatnya adalah memusatkan mata rohani kita kepada Kristus, kepada kasih-Nya bagi kita dan kasih-Nya bagi orang lain. Maka di dalam Dia, kita bisa bertumbuh dalam mengasihi sesama dengan kasih agape.
Mari kita periksa kehidupan pribadi kita, dengan apa yang kita lakukan terhadap orang-orang di sekitar kita. Apakah kita telah mengejar kehidupan yang mengutamakan kepentingan sendiri atau kepentingan orang-orang lain? Mari kita menerima kasih Kristus dan tinggal dalam persekutuan dengan Dia, niscaya kita akan bertambah-tambah dalam kasih agape kita kepada sesama. Tuhan Yesus memberkati!