
Pertanyaan:
Mengamati kerusuhan dalam rangkaian aksi unjuk rasa di Jakarta pada 25, 28 hingga 31 Agustus 2025. Pertanyaan saya:
- Bagaimana hukum berlaku bagi aktor utama yang diduga menjadi dalang di balik kerusuhan ini? bahkan mereka yang diprovokasi melakukan aksi ini?
- Apakah ada hukum yang mengatur demo di Indonesia? Untuk melindungi hak masyarakat menyampaikan aspirasi bagi kemajuan bangsa.
- Kalau melihat demo di Korea dalam kawalan tertib dan damai, dan begitu tegas menghukum yang melanggar kawalan. Mengapa Indonesia tetap aja mengalami kebobolan saat ada demo, terjadi kerusuhan dimana-mana? Bukankah ini bukti hukum di Indonesia begitu lemah?
Terimakasih Pak, saya sangat berterimakasih untuk kesediaan Bapak mau menjawab kegelisahan saya bagi hukum di Indonesia.
Salam
Lavi, Senen
Jawaban:
Halo Lavi,
Terima kasih atas pertanyaannya yang reflektif dan mewakili kegelisahan banyak orang tentang hukum dan demonstrasi di Indonesia. Saya ingin mengajak Lavi dan pembaca lain untuk melihat persoalan ini secara utuh.
Kita semua tahu bahwa demonstrasi adalah bagian dari kehidupan demokrasi. Di Indonesia, hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum dijamin oleh konstitusi. Namun, dalam praktiknya, sering kali terjadi gesekan, bahkan kerusuhan, yang membuat kita bertanya-tanya: siapa yang harus bertanggung jawab?
Apakah hukum kita cukup tegas? Dan mengapa kerusuhan masih saja terjadi?
Mari kita mulai dari soal “dalang” atau aktor utama di balik kerusuhan. Hukum di Indonesia sebenarnya sudah sangat jelas. Siapa pun yang menghasut orang lain untuk melakukan kekerasan atau kejahatan saat demo, bisa dijerat pidana. Tidak hanya pelaku di lapangan, tapi juga mereka yang merancang, menggerakkan, atau bahkan membiayai aksi anarkis. Dalam KUHP, ada pasal-pasal khusus tentang penghasutan dan kekerasan bersama. Bahkan, jika ada bukti kuat bahwa seseorang menjadi otak di balik kerusuhan misalnya dengan menyebar ajakan, menyediakan alat perusakan, atau mengatur strategi maka ia bisa dijerat sebagai “aktor intelektual”. Hukum juga menegaskan, siapapun yang terprovokasi dan akhirnya melakukan perusakan tetap bisa dipidana. Provokasi bukan alasan untuk bebas dari hukuman, walaupun dalam persidangan faktor ini bisa jadi pertimbangan hakim dalam memutuskan berat-ringannya sanksi.
Lalu, bagaimana dengan perlindungan hak warga untuk demo? Indonesia Memiliki regulasi yang cukup komprehensif dalam perihal ini. UUD 1945 menjamin hak berkumpul, berserikat, dan menyampaikan pendapat. Ada juga UU No. 9 Tahun 1998 yang mengatur tata cara demo: mulai dari bentuk aksi, kewajiban pemberitahuan ke polisi, hingga larangan-larangan yang harus dipatuhi. Aturan ini dibuat bukan untuk membatasi, tapi justru melindungi hak warga agar bisa menyampaikan aspirasi secara damai dan tertib. Selain itu, ada juga aturan soal HAM dan peraturan teknis dari kepolisian yang mengatur pengamanan aksi. Hal-hal praktis seperti pemberitahuan ke polisi (bukan minta izin!), pembatasan waktu dan tempat, serta larangan membawa benda berbahaya atau melakukan hasutan kebencian, semuanya bertujuan agar demo berjalan aman dan tidak merugikan orang lain.
Namun, mengapa kerusuhan masih sering terjadi? Di sinilah letak tantangan terbesar kita. Secara aturan, hukum kita sudah cukup dalam mengatur perihal ini. Tapi dalam pelaksanaannya, masih banyak tugas yang menjadi beban kita bersama. Penegakan hukum kadang tidak konsisten, ada saat aparat terlalu keras, di lain waktu justru kurang tegas pada pelaku anarkis. Ini membuat kepercayaan publik menurun dan efek jera tidak tercapai. Sering juga aksi damai disusupi provokator yang memang sengaja ingin membuat kerusuhan. Mereka bisa saja membawa alat perusak, menyebar hoaks, atau memanfaatkan media sosial untuk memperkeruh suasana. Di sisi lain, masih banyak peserta aksi yang belum paham aturan main: soal pemberitahuan, batas waktu, larangan lokasi, dan tanggung jawab penanggung jawab. Koordinasi antara panitia, aparat, dan pemerintah daerah pun kadang minim, sehingga peluang ricuh makin besar.
Kalau kita bandingkan dengan Korea Selatan, perbedaannya terletak pada konsistensi penegakan hukum, disiplin massa, kesiapan pengamanan, dan akuntabilitas. Di sana, siapa pun yang melanggar baik peserta aksi maupun apparat langsung diproses secara adil dan transparan. Efek jeranya terasa, dan kepercayaan publik pun terjaga. Di Indonesia, kita semua masih perlu berbenah. Bukan hanya aparat yang harus meningkatkan profesionalisme dan akuntabilitas, tetapi para pendemo juga perlu memahami bahwa demonstrasi bukan sekadar soal menuntut hak, melainkan juga menjalankan kewajiban untuk menjaga ketertiban, kedamaian, dan mematuhi aturan. Implementasi hukum yang konsisten dan adil harus menjadi komitmen bersama, agar hak menyampaikan pendapat tetap terlindungi tanpa mengorbankan keamanan dan ketertiban umum.
Semoga penjelasan ini bisa membantu dan mari kita jaga demokrasi dengan cara yang sehat dan bertanggung jawab.
Salam,
Theodorus Warlando Ginting
Theodorus Warlando Ginting adalah seorang profesional yang dikenal di bidang hukum dan bisnis khususnya dalam bidang hukum korporasi, merger & akuisisi, serta restrukturisasi perusahaan. Ia juga aktif dalam berbagai organisasi profesi hukum di Indonesia.