Namun kita terus-menerus menghadapi masalah kepemimpinan: di tingkat nasional, di tingkat lebih kecil termasuk di gereja dan di keluarga – sebagai unit sosial terkecil. Di mana-mana kita mengalami krisis kepemimpinan. Sesuatu telah menjadi salah sehingga krisis ini terjadi. Dari mana kesalahan ini bermula? Bisa dipastikan ini bermula dari konsep yang salah tentang kepemimpinan.
Dalam dunia modern (atau sekarang memasuki post-modern), di dunia korporasi dan organisasi masa kini, kata leadership memiliki konotasi kekuasaan, otoritas, hormat, prestis, dan keunggulan pribadi (sang pemimpin). Dalam organisasi-organisasi sang pemimpin ada di posisi-posisi puncak, memegang komando dan kontrol dan menjalankan komunikasi top down pada level berikut – senior management, middle management dan front liners, dan para front liners berbicara satu arah pada para customers. Organisasi menjadi birokratis dan kaku.
Sadar atau tidak sadar, inilah yang menjadi daya tarik luar biasa seseorang dalam mengejar posisi pemimpin, karena menjanjikan kekuasaan yang besar. Dan inilah yang mereka kerjakan ketika berada di posisi itu. Termasuk di banyak organisasi yang berlabel Kristen, bahkan di organisasi gereja. Jelas ini bukan nada Alkitab ketika berbicara tentang kepemimpinan.
Kita perlu kembali kepada konsep yang benar tentang kepemimpinan. Sebagai orang percaya kita tahu konsep yang benar tentang kepemimpinan yang sejati adalah berasal dari Alkitab. Kemudian dikembangkan oleh manusia, baik manusia percaya maupun yang tidak percaya. Nah, apa kata Alkitab tentang kepemimpinan? Alkitab tidak mendefinisikan kepemimpinan namun banyak berbicara tentang kepemimpinan.
Dalam Matius 20: 25 – 28, Yesus mengatakan pemimpin dunia bersifat otoriter, menjalan kekuasaannya dengan keras. Namun di antara orang percaya, mereka yang menginginkan menjadi pemimpin harus menjadi ’pelayan’. Yesus sendiri, Sang Raja di atas segala raja, dan Tuhan di atas segala tuhan, datang untuk melayani bukan untuk dilayani, hingga titik darah terakhir. Penjelasan ini Yesus berikan ketika dua orang murid-Nya minta posisi tinggi dalam kerajaan-Nya nanti.
Kepemimpinan kristiani adalah melayani, daripada mendominasi. Yesus sendiri menegaskan bahwa Dia datang untuk melayani. Ketika Dia memimpin para murid, itu adalah bagian dari pelayanan-Nya. Sang pemimpin yang demikian memberikan dorongan kepada anggota timnya dan inspirasi arah yang akan dicapai kelompok. Dia menghormati pribadi-pribadi, daripada mengeksploitasi kepribadian orang lain.
Dari Yesus kita tidak sekadar mendapatkan pengajaran-pengajaran tentang kepemimpinan yang melayani tapi Dia sendiri menjadi model kepemimpinan itu. Dia menunjukkan kepada para murid-Nya bagaimana memimpin dengan memberikan contoh bagaimana Dia melayani dengan tulus. Dia menuntut tidak kurang kepada mereka yang akan mengerjakan misi-Nya di bumi pada jaman sekarang. Jika kita berpegang erat pada standar-standar Kristus dalam pelayanan yang tulus, kita akan menyaksikan perubahan-perubahan yang hebat dalam struktur-struktur organisasi kita sendiri dan dalam hubungan-hubungan kita dengan orang lain.
D’Souza lebih lanjut menyimpulkan citra Alkitab tentang kepemimpinan dengan 3S, yaitu servant (pelayan), shepperd (gembala) dan steward (penatalayan). Masing-masing memiliki sejumlah atribut sendiri. Pemimpin sebagai pelayan memberikan layanan, dukungan dan empower bagi mereka yang ia pimpin.
Sedangkan sebagai gembala, seorang pemimpin berciri memperhatikan dombanya, yaitu anggota tim yang ia pimpin. Ketika satu dari 100 dombanya hilang, ia meninggalkan yang 99 yang oke, untuk mencari yang satu untuk membawa dia kembali. Seorang gembala juga memberikan dorongan dan pimpinan atau arahan kepada anak buahnya.
Seorang pemimpin dalam Alkitab juga digambarkan sebagai seorang penatalayan, yaitu seorang profesional yang bertanggung jawab atas sejumlah sumber daya milik orang lain yang harus dia kelola dan kembangkan. Karena itu dia haruslah orang yang bisa dipercaya, bertanggung jawab dan akuntabel.
Dunia sekuler sendiri sudah melihat keunggulan leadership yang melayani (servant leadership) yang berasal dari Alkitab. Dengan kepemimpinan yang demikian mereka mencoba merevolusikan struktur organisasi yang tadinya bersifat komando dan kontrol dengan sang pemimpin di puncak struktur menjadi oraganisasi dengan model service and support. Dalam struktur ini, sang pemimpin ada di posisi dasar organisasi dan melalui komunikasi dua arah memberikan visi organisasi kepada jajaran manajemen. Pada tingkat ini, manajemen berfungsi memberikan dukungan kepada para front liners. Front liner berkomunikasi dua arah melayani pelanggan.
Seandainya para pemimpin dibentuk dengan dasar karakter kepemimpinan kristiani ini dan organisasi-organisasi diformat dengan dengan jiwa pelayanan yang tulus, kita tidak akan kekurangan pemimpin yang efektif, dan organisasi akan berkiprah secara maksimal dalam usaha-usaha kesejahteraan umat manusia. Tuhan memberkati.v
Sumber:
Anthony D’Souza (2001): “Empowering Leadership”
Anthony D’Souza (1994): “Developing the Leader within You”