Oleh: Pdt. Bigman Sirait
SETIAP hari Jumat Agung, ucapan Yesus dari kayu salib selalu berkumandang: “Ba-pa, ampuni mereka karena mereka tidak tahu apa yang dilakukan” (Lukas 23: 34). DIA disalibkan, oleh karena kita dengan sadar berkata: “Salibkan Dia”. DIA disalibkan oleh karena kita dengan sadar berkata: “DIA bukan siapa-siapa”. DIA disalibkan, karena dengan sadar kita berkata: “Kitalah hidup ini, kitalah Tuhan itu”.
Ketika Yesus mengatakan, “Ampunilah mereka…” itu betul sekali. Sebab para ahli Taurat sudah menjadikan dirinya sebagai “tuhan” yang memegang palu pe-ngadilan untuk menjatuhkan vonis yang sangat berat terhadap Yesus, Mesias, anak Allah. Mereka menghukum-Nya dengan pongah dan bangga. Mereka bukan saja menghukum DIA dengan rasa tidak bersalah, tetapi juga senang. Kasihan, sebab sesungguhnya mereka semakin dalam terperosok ke dalam lubang kemunafikan dan kepongahan yang kosong. Mereka bisa saja terus-menerus mengu-mandangkan suara Tuhan, namun tidak pernah melakukannya dalam kehidupannya.
Mereka bisa saja beraktivitas dalam hidup, tetapi jauh dari kuasa Allah. Karena itu Yesus berkata, “Ampuni mereka…” Sekali lagi, mereka sedang membunuh dirinya sendiri, meng-habiskan masa depan anak cucu-nya karena mereka tidak takut akan Tuhan. Dosa memang sa-ngat luar biasa membuat dan menciptakan kebebalan pada diri mereka, membuat mereka melacurkan hidup mereka, membuat mereka terjebak pada perangkap-perangkap yang salah itu. Ini menjadi pertarungan serius bagi kita semua.
Jumat Agung ini, haruskah DIA kembali mengucapkan kalimat yang sama kepada setiap kita yang ada di dalam gereja? Kepada kita yang sudah mengaku percaya, haruskah DIA menggugat dan berkata, “Bapa ampuni mereka, sebab mereka hanya berkhot-bah, mereka hanya memegang Alkitab, mereka hanya menya-nyi, mereka melayani Aku, tetapi sebetulnya mereka tidak tahu apa yang mereka kerjakan?” Jangan sampai terjadi hal seperti ini.
Bukankah sangat ironis ketika gereja memuliakan nama Yesus tetapi DIA tidak rela? Bukankah kekristenan menjadi ironis ketika semua umat merasa kehadiran-Nya, tetapi DIA sendiri tidak pernah datang di tengah-tengah mereka, karena banyak topeng, kemunafikan, kesalahan yang ditutup-tutupi? Banyak ungkapan lips service yang tidak pada tempatnya yang datang dari berbagai penjuru, dari mereka yang menyatakan diri sebagai permimpin agama. Akankah Yesus kembali meminta Bapa Surgawi mengampuni mereka?
Saudara yang terkasih, camkan dan pikirkan baik-baik. Bukankah seharusnya gereja Tuhan menjadi gereja yang punya kekuatan dan kuasa yang luar biasa, karena menjadi agen kebenaran yang diberi kuasa oleh Tuhan? Tetapi pada kenyataannya, kita terjebak dan terperangkap menjadi pecun-dang dan kalah. Jangan sampai kita salah dalam memainkan peran. Jangan sampai kita salah dalam mengayunkan langkah dalam upaya memahami kebe-naran yang hakiki itu.
Kiranya Jumat Agung ini boleh mengingatkan kita supaya jangan terjebak pada perangkap yang salah. Maka kita perlu memeriksa diri, sebab jangan-jangan kita terlalu banyak memakai topeng dalam hidup ini. Sekiranya kita tidak me-nemukan kebenaran yang haki-ki, Jumat Agung menjadi mo-mentum yang penting bagai-mana kita mengarahkan mata kita ke kayu salib, merenung ulang penderitaan yang dialami-Nya. Kemudian kita mencoba untuk menelaah, sebab bukan-kah seharusnya kita hidup untuk kemuliaan nama Tuhan?
Jumat Agung ini, ketika Saudara pergi ke gereja, camkan dan pikir-kan baik-baik. Di Bukit Golgota, Yesus Anak Manusia, Tuhan kita, tersalib. Dari situ dia menatap kita yang datang dan masuk ke gereja, satu demi satu. Yesus menatap dari salib. Entah apa yang dia ucapkan, tapi rasa-rasanya DIA akan mengungkapkan kalimat, “Ampuni mereka…” Mengapa? Karena salib bebicara tentang isi hati Anak Manusia. Salib tidak bebicara tentang fenomena-fenomena belaka.
Karena itu jangan terjebak pada rutinitas-rutinitas keagamaan belaka. Gunakan baik-baik, Jumat Agung adalah momen untuk mene-mukan kesejatian makna tentang penderitaan Tuhan, dan penge-tahuan kita akan kebenaran. Manfaatkan momen tersebut secara baik-baik supaya tidak menjadi suatu pengulangan, di mana kita hanya mengulang dan memainkan peran kita tanpa pernah kita pahami bahwa DIA berdiri dan menatap kehidupan kita, dan mungkin berkata, “Belum terlalu baik.”
Kiranya Jumat Agung ini boleh menjadi momentum kebangunan keimanan, kebangunan kerohani-an yang utuh untuk hidup takut akan Tuhan, memuliakan Tuhan dalam kesucian kejujuran. Berani-lah membedah, jangan-jangan kita sudah terjebak pada rutinitas sehari-hari. Selamat menunaikan ibadah Jumat Agung di mana pun engkau berada.
(Diringkas dari kaset Khotbah Populer oleh Hans P. Tan)