Harry Puspito
(harry.puspito@yahoo.com)*
Reformata.com – PADA kesempatan sebelumnya kita telah membahas tentang self-image atau citra diri. Konsep psikologi lain tentang diri yang penting adalah self-esteem atau harga diri. Kalau citra diri berhubungan dengan bagaimana seseorang mempersepsi dirinya atau sisi visual tentang diri, maka self-esteem lebih merupakan persepsi diri dari sisi emosi.
Self-esteem melihat diri dari dua faktor utama, yaitu persepsi tentang kompetensi diri dan dari nilai diri (self-worth). Dua dimensi ini menghasilkan dua kelompok manusia berdasarkan tingkat self-esteem mereka, yaitu mereka dengan high self-esteem dan dengan low self-esteem, dan tipe-tipe khusus sebagai berikut:
1. High self-esteem, yaitu mereka yang memiliki nilai tinggi baik dalam kompetensi maupun nilai diri.
2. Low self-esteem, adalah kelompok yang memiliki ciri kebalikan dari kelompok pertama, yaitu rendah dalam kompetensi dan nilai diri.
3. Self-esteem narsis, yaitu mereka yang melihat dirinya tinggi tapi rendah dalam kompetensi.
4. Pseudo self-esteem, yaitu mereka yang memiliki kompetensi tinggi tapi rendah dalam nilai diri.
Individu dengan self-esteem yang tinggi memiliki emosi yang lebih stabil, lebih ekstrovert, berhati-hati, ramah dan terbuka untuk pengalaman. Mereka memi-liki ego yang lebih kuat, mampu menyesuaikan diri dengan baik, kontrol diri dan mampu menyesuai-kan diri dengan perkembangan umurnya. Mereka tidak terlalu kritis tentang dirinya, lebih mampu menghadapi tekanan sosial, lebih mampu bertindak atas dasar keyakinan dan nilai-nilai mereka dan lebih tidak dibatasi oleh kekha-watiran. Mereka lebih siap menghadapi tanta-ngan-tantangan hidup. Secara aktif mengatasi kegagalan-kegagalan.
Sedangkan mereka dengan self-esteem rendah kurang dalam kompe-tensi dan nilai diri. Kondisi demikian membuat mereka mudah merasa menjadi korban oleh diri sendiri, oleh orang lain atau dunia. Kondisi yang berhubungan dengan self-esteem yang rendah adalah pera-saan tidak bahagia dengan diri sendiri, kecenderungan berperilaku yang tidak efektif, memiliki tingkat energi yang rendah, berbagai tingkatan penarikan diri, kecema-san yang kronis, menghubungkan kegagalan dengan diri sendiri. Mereka tidak mengatasi tapi menerima kegagalan-kegagalan.
Dari mana terbentuknya self-esteem seseorang? Banyak yang mempengaruhi terbentuknya self-esteem, namun bisa dikelompok-kan menjadi faktor-faktor sosial, diri, media dan iman. Faktor sosial yang utama adalah orang tua, di samping teman dan orang-orang lain. Pem-bentukan psikologis seseorang dimulai dari bahkan sebelum kela-hiran, masa anak-anak – khususnya enam tahun pertama. Gaya asuh orang tua sangat mempengaruhi self-esteem anak. Ketika orang tua tidak berperilaku otoratif (tegas sekaligus mengasihi) tapi bersikap otoriter, permisif atau acuh, dalam diri anak tidak terbangun self-esteem yang sehat.
Khusus tentang self-esteem, menurut teori perkembangan masa yang kritis adalah usia 6-11, yaitu ketika anak-anak mulai sekolah dan bersosialisasi. Namun tahap-tahap sebelumnya memiliki pengaruh apakah anak-anak akan melampaui tahap kritis ini dengan berhasil atau gagal. Dengan memiliki suatu prestasi, mereka membangun keper-cayaan diri, entah dalam pelajaran (matematika, bahasa, lain-lain), pergaulan sosial, atau fisik (seperti penampilan, prestasi olah raga, musik).
Bagaimana kalau sudah dewasa kita memiliki self-esteem yang rendah? Sudah barang tentu ini pergumulan yang tidak mudah. Hanya Tuhan yang mampu meng-ubah manusia (Filipi 2:13). Karena itu kita perlu membangun hubu-ngan kedekatan dengan Tuhan melalui saat teduh, kehidupan doa dan ibadah yang disiplin. Dengan relasi yang baik pandangan Allah tentang diri kita akan kita adopsi dan kuasanya akan bekerja dalam diri kita.
Sesungguhnya, kita memiliki modal untuk memiliki pandangan yang positif terhadap diri. Kita diciptakan dalam gambar Allah. Kita memiliki hidup kekal yang tidak ternilai dan pasti. Tuhan hadir dalam diri kita melalui kehadiran Roh Kudus. Dia tidak pernah meninggalkan dan membiarkan kita. Dia menye-diakan ’pekerjaan baik’ untuk kita kerjakan selama kita di dunia – sehingga kehadiran setiap orang percaya memiliki misi dan makna yang jelas. Untuk itu Dia meleng-kapi kita dengan berbagai talenta dan karunia rohani.
Kita perlu mengenali talenta-talenta yang Tuhan percayakan kepada kita dan mengerjakan talenta-talenta tersebut dalam pekerjaan dan pelayanan. Menurut konsep self-esteem, jika kita berhasil dalam mengembangkan kompetensi diri ini maka kita akan memiliki satu faktor penting untuk memiliki self-esteem yang sehat.
Dan, Alkitab mengajarkan kepada kita untuk mencari dahulu kerajaan dan segala kebenaran-Nya, maka semuanya akan ditam-bahkan kepada kita (lihat Matius 6: 33). Sebenarnya kita tidak perlu terlalu dipusingkan untuk mening-katkan perasaan harga diri sendiri, tapi utamakan melakukan hal-hal yang berharga di mata Tuhan. Maka Dia yang akan menambahkan apa yang kita perlukan, antara lain, self-esteem yang sehat itu. Tuhan memberkati.v
*Penulis adalah Partner Trisewu Leadership Institute