Makna Natal yang Bergeser

Bersama: Pendeta. Bigman Sirait

Bapak Pengasuh, persoalan tentang hari Natal yang dirayakan tanggal 25 Desember, tetap menjadi perdebatan yang tidak berakhir sehingga banyak di antara umat Kristen yang tidak merayakan Natal. Menurut Bapak, bagaimana kita menanggapi hal ini?

Kemudian jika dilihat keadaan krisis saat ini, bahkan perkembangan kekristenan hingga saat ini, sepertinya makna Natal semakin bergeser. Natal bukan lagi momen perenungan akan karya dan kedatangan Kristus, tapi hanya hari libur yang membuat semua orang lepas dari kesibukan. Bagaimana Bapak melihat hal ini?

Apa yang seharusnya dilakukan orang Kristen saat ini, dalam menyingkapi persoalan di atas, sehingga kondisi di atas tidak hanya sebagai wacana dan fenomena yang selalu muncul setiap tahun, tapi ada tindakan pasti dan benar yang dapat mengubah untuk menjadi lebih baik.

Jantar, Menteng

JANTAR yang dikasihi Tuhan, memang agama apa pun selalu ada perbedaan paham di antara umat, mulai dari yang tidak esensial hingga yang esensial. Sebuah realita yang kurang baik, tapi inilah kenyataan yang harus disikapi dengan bijak. Soal Natal, yang berasal dari bahasa Latin, Natus, diperingati sebagai hari kelahiran Yesus Kristus Juruselamat dunia (Matius 1: 21-23).

Ada yang tidak merayakan Natal ini, karena menganggap bahwa Mesias belum datang, jadi masih ditunggu. Jika Yesus dianggap bukan Mesias, dan Mesias itu belum datang, maka sudah pasti mereka tidak akan merayakan Natal. Ini merupakan persoalan teologis, yang membutuhkan ruang luas untuk membicarakannya. Tapi yang pasti kelompok ini bukanlah umat Kristen pada umumnya, baik Katolik maupun Protestan.

Nah, ada juga umat Kristen yang tidak mau merayakan Natal karena persoalan historis. Kelompok ini beranggapan bahwa Natal adalah hari raya Dewa Matahari, kebiasaan orang kafir, bukan tradisi gereja mula-mula. Memang perlu disadari bahwa Alkitab tidak pernah membicarakan tradisi memperingati Natal. Yang ada adalah memperingati hari kematian Yesus Kristus, yang kita kenal sebagai Jumat Agung. Paskah, Pentakosta, adalah hari raya Yahudi yang kemudian juga diperingati oleh umat Kristen namun dalam pemaknaan yang berbeda, karena berpusat kepada Yesus Kristus. Sementara Kenaikan Yesus Kristus tentu saja merupakan kekhususan umat Kristen.

Kisah memperingati Natal pada tanggal 25 Desember, dimulai sejak awal abad ke-4. Pertobatan Kaisar Roma, Konstantin, telah menciptakan banyak perubahan di Roma dan daerah kekuasaannya yang sebelumnya menolak kekristenan. Tanggal 25 Desember waktu itu adalah hari raya kafir, dalam memperingati hari kelahiran Dewa Matahari. Kaisar Konstantin, dalam rangka membersihkan pengaruh kafir, menggantikan 25 Desember menjadi Hari Natal, hari kelahiran Yesus Kristus.

Jadi, bahwa Yesus Kristus tidak dilahirkan tanggal 25 Desember, jawabannya, “ya”. Karena sangat sulit membayangkan pada bulan Desember ada gembala di padang, karena saat itu musim dingin, dan di Israel, pada bulan Januari sudah akan turun salju. Para gembala pergi ke padang lepas untuk mulai menggembalakan domba sekitar April hingga Juni (setelah musim dingin). Dan, ingat, Alkitab juga tidak menunjuk sebuah tanggal. Namun juga harus diingat, semangat hari Natal, bukan soal tanggal dan bulannya, melainkan maknanya. Tidak jelas kapan tepatnya Yesus lahir ke dunia, tapi sangat jelas Dia pernah datang ke dunia sesuai kesaksian Alkitab. Tidak jelas tanggalnya, tapi jelas maknanya, yaitu, memperingati kerelaan Allah menjadi manusia, dan sebagai manusia Dia rela menjadi hamba, bahkan mati tersalib untuk menebus dosa (Yohanes 3:16, Filipi 2:6-11).

Jadi, bagi orang percaya, Natal bukan soal tanggalnya melainkan maknanya. Jika ada orang Kristen tidak mau merayakan Natal dengan alasan itu hari raya kafir, maka dia harus menentukan tanggal yang lain, dan itu dapat dipastikan, pasti bukan tanggal yang tepat juga. Dan, jika dia tidak mau merayakan Natal tanggal berapa pun itu, maka itu berarti dia tidak merasa penting merenungkan kerelaan Yesus, yang Allah itu, yang telah menjadi manusia. Artinya dia akan kehilangan sebuah momentum tentang Kristus, yaitu hari inkarnasi (suatu hari ketika; Allah menjadi manusia).

Sementara soal bergesernya pemaknaan Natal itulah fakta yang tidak terbantah. Perjalanan dunia telah membawa hari Natal mengalami pertemuan dengan tradisi dan teknologi. Sejak awal abad 13, dikenal lagu Natal, lalu gua Natal, pohon Natal, hingga tibanya era percetakan yang melahirkan kartu Natal. Dan, dengan kemajuan teknologi sekarang, ada SMS Natal, email Natal. Belum lagi dunia industri yang diwarnai, fashion Natal, parsel Natal, hiasan Natal, show Natal, hingga jalan-jalan edisi Natal.

Tentu saja tidak ada yang salah dengan semua itu, tetapi beralihnya perenungan ke penikmatan semata membuat gereja kehilangan makna Natal. Ya, semakin hari, semakin terasa degradasi makna Natal. Seharusnya, di balik baju Natal, parsel Natal, hingga jalan-jalan natal, dimaknai sebagai ungkapan hati. Tapi yang terjadi justru itu yang menjadi konsentrasi. Jika semua tidak ada, kita terjebak menyebutnya sebagai Natal kelabu. Padahal, ketika Yesus datang ke dalam dunia, Dia tidak menuntut semarak dunia.

Pemerosotan makna ini juga, dipertegas oleh miskinnya pemaknaan Natal oleh kebanyakan pengkhotbah, yang ternyata juga larut dalam hura-hura Natal. Gereja yang berdandan ria, namun membiarkan orang di sekitarnya dalam kemiskinan dan tanpa daya. Untuk membawa Natal pada suasana sejatinya diperlukan keberanian, yaitu berani berbicara benar dan juga berani berbuat benar, dengan memulai dari diri sendiri. Setiap pengkhotbah tak lagi melantunkan khotbah kosong yang meninabobokan umat.

Kebenaran Natal Allah yang mau menjadi hina, pencipta yang menjadi ciptaan, harus terus-menerus dikumandangkan. Umat harus dituntut untuk mengaktualisasi Natal dengan berbagi, bukan memperkaya diri. Para pemuka agama harus bisa menjadi model, tidak seperti sekarang ini semua mau tampil wah, dan bahkan menjadikan itu kekayaan target “pelayanan”.

Semangat Natal, yaitu Allah yang menyangkali keilahian-Nya, harus menjadi semangat Natal kita, yaitu menyangkali diri. Bukan aksesoris Natal yang kita munculkan tapi kasih sayang Natal. Masihkah ada? Ini sebuah pertanyaan yang serius. Mari memulainya bersama.

Nah, Jantar yang dikasihi Tuhan, selamat mengkritisi diri, dan Natal yang ada di sekitar kita. Jangan sampai kita menyanyi dan tertawa dalam suasana yang wah, tapi masyarakat di sekitar kita kelaparan dan penuh kesedihan.

Selamat hari Natal, hari berbuat, hari berbagi, setiap hari, bukan sekali-sekali.

DOWNLOAD PDF (EBOOK)

 

REFORMATA:

Tabloid Kristen Berwawasan Nasional, Menyuarakan Kebenaran dan Keadilan.

Pendiri: Pendeta Bigman Sirait

website: www.reformata.com

Alamat Redaksi

WISMA BERSAMA
Jl. Salemba Raya No. 24B, Jakarta Pusat 10430
Telp: +62 21 392 4229 (Hunting), Fax: +62 21 314 8543

Recommended For You

About the Author: Reformata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *