Manusia Tidak Berguna Bagi Allah?

Pertanyaan:

Shalom

Saya Kembali mengajukan pertanyaan :

Saya kebingungan dalam memahami kitab Ayub, khususnya pasal 22.

Ayub 22:2-3 (TB)  “Apakah manusia berguna bagi Allah? Tidak, orang yang berakal budi hanya berguna bagi dirinya sendiri. Apakah ada manfaatnya bagi Yang Mahakuasa, kalau engkau benar, atau keuntungannya, kalau engkau hidup saleh? Konteksnya adalah tuduhan Elifas bagi Ayub yang dirundung penderitaan, Pertanyaan saya adalah dari segi hermeneutiks dan teologi pastoral:

Bagaimana kita melihat kebenaran yang tersimpan di dalam teks ini, bahkan keseluruhan pasal 22 ini?
Bagaimana saya sebagai manusia berdosa, dapat memahami bahwa akal budi kita pun itu tidak menambahkan sedikit-pun pada kekuasaan atau kemuliaan Allah?

Jandrie Rombe, dari Talaud

Jawaban

Menarik sekaligus menjadi sebuah pembelajaran penting, ketika kita membaca Kitab Ayub 22, dan secara khusus di ayat 2 dan 3, pertanyaan yang mengungkapkan bahwa manusia dan kesalehannya tidak berarti apa-apa di hadapan Tuhan. Benarkah demikian?

Jandrie Rombe yang dikasihi Tuhan, perlu untuk kita perhatikan bersama, bahwa apa yang disampaikan oleh Elifas (sahabat Ayub) itu adalah hal yang benar dalam konteks pemikiran zaman itu, karena pada umumnya mereka memiliki sebuah pemahaman bahwa setiap orang yang mengalami penderitaan, itu akibat dari perbuatan dosa dihadapan Allah. Maka dengan mudah Elifas menyimpulkan penderitaan Ayub itu karena kesalahannya sendiri. Tidak mungkin kesalehan dan takut akan Tuhan, membawa Ayub  kepada penderitaan atau hukuman Tuhan.

Elifas kemudian melanjutkan argumentasinya dengan tuduhan, ”Bukankah kejahatanmu besar dan kesalahanmu tidak berkesudahan? (ayat 5). Elifas, sahabat yang baik, bukankah harusnya percaya dan memahami apa yang dialami oleh Ayub sahabatnya? Ternyata TIDAK. Elifas lebih percaya pada keyakinan tradisi kuno yang berlaku pada waktu itu, dibanding cara Allah menguji kesetiaan dan kesalehan HAMBANYA Ayub. Bahkan Elifas menuduh Ayub, “Karena dengan sewenang-wenang engkau menerima gadai dari saudara-saudaramu, dan merampas pakaian orang-orang yang melarat; orang yang kehausan tidak kauberi minum air, dan orang yang kelaparan tidak kauberi makan, tetapi orang yang kuat, dialah yang memiliki tanah, dan orang yang disegani, dialah yang mendudukinya. Janda-janda kau suruh pergi dengan tangan hampa, dan lengan yatim piatu kau remukkan (ayat 6-9). Sungguh ironis, sahabat yang seharusnya menjadi sahabat dalam suka maupun duka, kini berganti menuding sahabatnya sendiri.

Di pasal-pasal sebelumnya, sahabat-sahabat Ayub datang untuk menghiburnya, namun sekaligus mempertanyakan, memperdebatkan penyebab-penyebab dari penderitaan Ayub. Namun semua akhirnya berubah menjadi tuduhan-tuduhan palsu demi meluruskan dan memuaskan pemahaman mereka yang salah. Persis seperti yang dialami oleh Yesus Kristus, “Imam-imam kepala, malah seluruh Mahkamah Agama mencari kesaksian palsu terhadap Yesus, supaya Ia dapat dihukum mati, tetapi mereka tidak memperolehnya, walaupun tampil banyak saksi dusta (Matius 26:59-60). Sahabat Ayub, tidak mampu memahami penderitaan Ayub dan keadilan Allah, demikian juga dengan para Imam-imam dan mahkamah agama tidak memahami apa yang dikerjakan oleh Yesus Kristus dalam dunia. Sungguh menyedihkan.

Ayat 11-17, menjelaskan bagaimana Ayub tidak lagi hidup dalam terang, tetapi dalam kegelapan (dosa). Kesalehan Ayub berganti dengan keberdosaannya, dan bagi Elifas, Ayub, seakan-akan tetap pada jalan yang jahat, seperti yang dilakukan oleh orang-orang sebelumnya, yang membawa mereka pada penghukuman Tuhan. Ayub seakan-akan, hendak bersembunyi dari kesalahannya di hadapan Tuhan, padahal, Allah Maha Tahu dan Maha Kuasa. Hidup ini sangat ironi, tidak ada yang tahu, apa yang akan terjadi dengan hidup seseorang, tetapi hati-hatilah dalam menyimpulkan keberadaan seseorang.

Ingat, prinsip dan pemikiran yang benar bagi Elifas, menjadi salah, karena tidak memahami penderitaan Ayub bukan karena kesalahan, tetapi ujian iman Allah bagi Ayub. Akal budi manusia berdosa, tidak mampu memahami Allah dan ketetapan-NYA, kalau tidak dinyatakannya bagi kita. Sehebat-hebatnya pikiran manusia, tidak akan menambah kekuasaan dan kemuliaan Allah. Allah yang mulia dan Mahakuasa, Dia sumber Kemuliaan, sedangkan manusia hanyalah ciptaan-NYA yang sangat terbatas. Kita memang diberi kemampuan untuk berpikir dan menganalisis, tetapi itu semua sangat terbatas. Salah dalam menyimpulkan, berarti menjadi tidak berguna di hadapan Allah.

Dengan demikian, manusia menjadi berguna, ketika ia memahami dan melakukan kehendak Allah. Menjadi tidak berguna, ketika ia salah memahami Allah dalam hidupnya. Persis seperti sahabat Ayub, keliru memahami penderitaan hidup yang diizinkan  Allah, Ayub dan kesalehannya-pun dianggap tidak berguna.

Tuhan Memberkati.

Recommended For You

About the Author: Pdt. Julius Mokolomban

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *