Pdt. Bigman Sirait
Bapak pengasuh yang baik!
Kitab Imamat 23:3 menulis ‘‘Enam hari lamanya boleh dilakukan pekerjaan, tetapi pada hari yang ketujuh haruslah ada sabat, hari perhentian penuh, yakni hari pertemuan kudus; janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan;itulah sabat bagi TUHAN di segala tempat kediamanmu’’. Dilanjutkan ayat 29:“Karena setiap orang yang pada hari itu tidak merendahkan diri dengan berpuasa, haruslah dilenyapkan dari antara orang-orang sebangsanya.”
Pertanyaan saya, apakah hal ini masih relevan untuk dilakukan? Karena mencermati kehidupan saat ini, walaupun itu yang namanya pelayanan, kita terkadang sangat sibuk dan sulit punya waktu tenang dan bertemu secara khusus dengan Tuhan. Walau seringkali banyak slogan orang percaya semua waktu untuk Tuhan.
Bagaimana Bapak melihat hal ini? Haruskah kita tidak disibukkan dengan urusan lain, selain tenang, bersekutu, evaluasi dan memikirkan sesuatu untuk Tuhan?Atau melakukan retreat keluarga?
Dandy, Depok
Dandy yang dikasihi Allah!
Pertanyaanmu sangat pas untuk perenungan kita di era kini. Mari kita mulai dari penciptaan di Kejadian 1-2. Jelas sekali Alkitab menggambarkan, usai Allah menciptakan manusia di hari ke enam, itulah penciptaan yang terakhir. Segala sesuatu yang diperlukan manusia untuk sebuah kehidupan sudah ada. Dan, dengan tegas dikatakan bahwa Allah menetapkan hari ke tujuh sebagai hari perhentian. Artinya, manusia harus berhenti dari kegiatan kesehariannya (kerja), dan mengkhususkan hari itu untuk beribadah kepada Allah.
Kemudian, dalam sepuluh hukum Allah (Keluaran 20:11), jelas dikatakan supaya umat menguduskan hari Sabat (hari perhentian). Lalu pada Keluaran 31:14 diatur ketentuan hukuman bagi mereka yang melanggar kekudusan hari Sabat. Mereka akan dihukum mati, karena dimasukan dalam kategori pelanggaran serius. Dan, ini dicatat ulang pada beberapa bagian berikutnya, yang menjadi petunjuk penting, betapa sakralnya peraturan tentang hari perhentian.
Bagaimana dengan kita saat ini, yang mewarisi bukan saja PL, tetapi juga PB? Dalam Matius 5:17 Yesus berkata dengan tegas, bahwa Dia datang bukan meniadakan Hukum Taurat, melainkan menggenapinya. Artinya, tidak ada yang berubah dari perintah untuk mengkhususkan hari Sabat. Namun dalam konteks menggenapi, maka hukuman mati karena melanggar hukum Sabat telah ditanggung Yesus Kristus dalam kematian-Nya di atas kayu salib. Sehingga tidak ada lagi hukuman mati di dunia karena melanggar Sabat. Namun, pelanggarannya akan dihukum Allah kelak di pengadilan akhir. Dan dalam kehidupannya sekarang, orang yang melanggar perintah hari perhentian, akan mengalami kematian rohani, dan kehidupannya akan jauh dari Tuhan. Sama juga menuju kematian kekal.
Namun hari Sabat, harus dipahami secara teologis, sebagai hari Perhentian (Kejadian 2:2-3), bukan sekedar terminologi waktu, hari Sabtu, hari ke tujuh. Mengkhususkan hari, hingga saat ini dijalani gereja sebagai Hari Kemenangan, yaitu hari Minggu (hari Kebangkitan Tuhan Yesus Kristus). Berkumpul pada hari Minggu, hari pertama, telah merupakan tradisi gereja mula-mula, sejak para Rasul (Kisah 20:7,1 Korintus 16:2).
Jadi, sangat jelas, kita harus mengkhususkan satu hari, itu menjadi panggilan bagi setiap orang percaya. Ibrani 10:25 mengatakan, janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, sebaliknya, marilah kita saling menasehati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat. Semangat ibadah, bukan saja hanya soal relasi kita pribadi dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama. Karena itu sungguh tidak tepat kita menghindari ibadah gereja dengan membuat ibadah pribadi. Sementara soal kesibukan yang meninggi, ini adalah realita perkembangan jaman. Namun, bukan alasan tidak mengkhususkan hari perhentian kita.
Kita adalah tuan atas waktu yang ada. Kita yang mengaturnya, dan membuat skala prioritas. Untuk itu, prioritaskanlah waktu bersekutu dengan Tuhan dan umat-Nya. Membagi waktu dengan bijak adalah seni perencanaan. Semua bisa dikerjakan dengan baik, jika ada perencanaan yang baik. Ketidakmampuan mengelola waktulah yang menjadi kendala, seakan-akan kita tidak lagi bisa melakukan ini dan itu. Sebagai orang yang sangat sibuk, saya memahami realita ini. Namun, bukan karena kesibukan pelayanan, saya boleh abai pada keluarga dan masyarakat. Semua bisa dijalani sebagaimana mestinya. Bagi yang kantornya masuk hari Minggu, bisa menghadap atasan agar tidak dapat gilir hari Minggu, dengan alasan ibadah. Jika Anda pemilik usaha harus berani meliburkannya. Untuk mempermudah ijin, jadilah pekerja yang profesional, cakap, dan bisa dipercaya.
Lalu kita juga harus membuat jadwal saat teduh pribadi. Bisa pagi, atau juga malam hari. Ini sangat tergantung kegiatan harian masing-masing. Sementara soal retret keluarga, sangat baik sekali. Namun tidak boleh dijadikan pengganti waktu ibadah minggu, atau saat teduh pribadi.
Jadi, ibadah minggu, saat teduh pribadi, atau retret keluarga, bukan saja masih, tapi bahkan sangat relevan dengan kekinian masa. Sangat dibutuhkan untuk menyeimbangkan kehidupan jasmani dan rohani kita. Ingat, kerja saja membutuhkan libur, bahkan cuti. Di negara maju cuti bahkan diharuskan. Untuk apa? Penyegaran! Sehingga orang lebih bersemangat dan produktif bekerja. Lebih lagi kerohanian kita, karena sangat erat hubungannya dengan sikap mental dan moral dalam relasi keseharaian. Dan, menjadi peningkatan mutu kerja. Waktu itu sama, namun aktivitas di dalamnya beda. Ada waktu kerja dan juga istirahat. Begitu juga waktu ibadah.
Akhirnya selamat beribadah, segar rohani, dan bukan mati rohani, sehingga menjadi manusia yang berproduktivitas tinggi.