Sembunyi Di Balik Salib Sejati

 Pdt. Bigman Sirait

Ada begitu banyak orang yang tampak mata melakukan banyak hal-hal rohani, tapi sejatinya tidak tentu hal itu benar dihidupi.  Tidak sedikit orang yang memiliki ritual keagamaan hebat, namun belum tentu dengan kehidupan spiritualnya.  Boleh jadi kehidupan kerohaniannya justru kering.  Gambaran seperti ini sebenarnya tidak saja ada di masa kini.  Jauh ribuan tahun lampau, Paulus pernah menuliskan surat kepada jemaat Galatia yang salah satu isinya menggambarkan kondisi seperti itu.  Surat Paulus kepada umat di Galatia, terkhusus dalam Galatia 6:11-14 memberikan gambaran jelas tentang sebuah konfrontasi tegas antara orang yang tidak mau memikul salib atau dianiaya salib dengan orang bermegah justru dalam aniaya salib. Paulus mengungkapkan kondisi orang-orang di jamannya yang kerap memperjualbelikan salib, dalam pengertian, menenggelamkan makna salib yang sejati dalam pengajaran yang bersifat lahiriah semata. Sunat menjadi salah satunya. 
Sunat di sini tidak membincangkan tentang boleh-tidaknya dalam konteks medis.  Tetapi, berbicara perihal sunat dalam konteks pengajaran yang teramat penting.  Pengajaran tentang apa yang dituntut oleh orang Kristen berlatar Yahudi kepada orang-orang Kristen baru terkait sunat itu sesungguhnya tidak lagi relevan.  Sebab hal ini sesungguhnya sudah digenapi dalam kematian Kristus di kayu salib.  Yesus Kristus-lah yang menjadi titik perjanjian dan perdamaian. Sehingga tidak perlu lagi ada darah yang tertumpah.  Karena itu pula hal-hal yang bersifat lahiriah atau ritual menjadi tidak penting.  Tetapi rupa-rupanya orang masih senang berbicara tentang hal-hal lahiriah, khususnya sunat.  Mereka menuntut dan menganggap itu sebagai hal penting, hal yang terlebih penting.  Bagi orang-orang di jaman Perjanjian Lama (PL) perihal sunat tentu merupakan hal serius, karena memang harus dikerjakan.  Akan tetapi, ketika sudah hidup di dalam Yesus sekaligus masih mengikatkan diri dengan tradisi PL yang sudah digenapi dalam kematian-Nya, tentu saja hal ini sangat menggelikan.  Pasalnya, jika begini, apa gunanya salib Yesus?  Terindikasi kuat hal itu dilakukan oleh orang-orang di masa Paulus, spesialnya di Galatia, supaya mereka terlihat lebih rohani.  Untuk itu diperlukan isu-isu untuk mempertegas kesan kerohaniannya itu dengan membicarakan perihal sunat, perihal nubuat, penglihatan dan lainnya.
Tidak itu saja, soal kuasa, pola hidup sehari-hari dan tradisi-tradisi Agama Yahudi kemungkinan besar juga kembali ditonjol-tonjolkan.  Muara dari semua itu tidak lain adalah agar tampak lahiriah mereka dikatakan orang saleh, orang yang taat melakukan.  Tetapi, seperti apa yang Paulus katakan,  sebetulnya itu dilakukan hanya untuk maksud agar mereka tidak dikucilkan atau diasingkan karena salib.  Karena mereka enggan menderita karena salib.  Untuk itu mereka lantas memilih ritual-ritual yang cocok, menyenangkan dan pas, seakan-akan hendak menunjukkan bahwa mereka benar pengikut Yesus yang taat.  Apa yang dibicarakan oleh Paulus ini secara tidak langsung juga menelanjangi orang Kristen masa kini yang asyik-masyuk, ribut dalam beragam argumentasi, ribut tentang dan dalam pelayanan,  yang sebetulnya ujungnya cuma satu: menjauhkan diri dari  salib itu.  Orang Kristen yang katanya penuh cinta kasih, melayani Tuhan, nyatanya bisa ribut, saling meniadakan, saling menista hanya karena meributkan soal baptisan. Di lain tempat orang-orang Kristen justru terjebak dalam konflik soal memuji Tuhan boleh dibarengi tepuk tangan atau tidak.  Ironisnya, klaim diri dan kelompok lebih rohani dan lain tidak rohani hanya karena melakukan atau tidak melakukan.  Padahal keributan sendiri sudah menunjukkan kualifikasi yang sangat rendah.  Perdebatan dan keributan itu sendiri telah menunjukkan nilai yang sangat payah.   Mengapa? Jawabannya adalah karena gereja memang enggan memikul salib. Kalau orang Kristen, di masa kini  dan di masa lalu mengaku benar memikul salib, maka seharusnya cinta-kasih menjadi yang pertama dan utama.  Bukankah lebih penting mengktualisasi salib itu dalam semangat pengorbanan untuk melayani dan menyenangkan hati Tuhan dalam hidup umat.  Tidak kebalikannya yang justru gemar meributkan hal-hal yang non substansial antara satu dengan lainya. 
Penting untuk memikirkan bagaimana hidup umat Kristiani itu menjadi hidup yang menyenangkan hati Tuhan. Untuk itu Paulus mengatakan, “bagiku salib itu adalah kemegahan”.  Artinya, Paulus rela mengalami kesulitan penderitaan untuk menggapai inti salib.  Mementingkan spiritual sejati dan bukan keributan soal ritual.  Sebuah ironi besar jika orang kemudian menunjukkan diri agar tampak rohani dengan kegairahan membincangkan perihal puasa, pujian, baptisan, tentang kesederhanaan dan hidup ugahari (bersahaja) tapi di sendiri hidupnya bermegah-megah dan bermewah-mewah.  Berbicara tentang berkat Tuhan, tetapi sendiri abai berbagi untuk menolong tubuh Kristus lainnya.  Salib kerap dipakai sebagai refrensi untuk menunjuk sumber berkat, tapi khilaf untuk sedikit membagi berkat yang didapat.  Alih-alih orang gemar berbagi berkat, atas nama salib orang kemudian justru menumpuk.  Atas nama salib orang senang mengakimi saudaranya perihal cara menyanyi atau cara baptisan yang notabene bukan hal prinsip. 
Ribuan tahun perjalanan gereja tidak lantas membuat orang belajar dari kesalahan sejarah.  Di realita, ribut satu dengan lain untuk perbedaan yang tidak prinsip ternyata masih saja terjadi.  Tetapi memang tidak dapat dipungkiri juga banyak orang yang justru membuat hal tidak prinsip itu menjadi prinsip, hanya sebagai tempat unjuk gigi bahwa dia berbeda.  Inilah wujud dari penghindaran diri terhadap salib, lalu memilih jalan yang disukai.  Banyak orang justru mengangkat tinggi salib hanya sekadar untuk menunjukkan kepada khalayak: ”Ini lho salib”, tetapi sesungguhnya mereka telah mengganti semangat salib itu dengan keyakinan-keyakinan pribadi.  Parahnya, keyakinan sendirilah yang kemudian diindoktrinisasikan ke orang banyak agar terpatri di benak.  Kalau di sejarah ada gugatan terhadap doktrin “ketidakbersalahan Paus”.  Kini doktrin seperti ini justru kembali dihidupi dan dikembangkan oleh banyak hamba Tuhan, dengan menunjukkan “ketidakbersalahan pendeta” atau “ke-palingbenaran pendeta”.  Ekspresinya ada dalam ungkapan-ungkapan seperti: pedeta adalah “biji mata Tuhan”, karena itu jangan diutak-atik.  Kalaupun salah jangan pula didiskusikan, apalagi menegur dan mempermalukan, berat sekali itu hukumnya.  Tidak sedikit hamba Tuhan bersembunyi di balik kalimat-kalimat seperti ini.  Tujuannya jelas, dalam kesalahannya jangan sekali-kali menyinggung dia.
Sejarah membuktikan betapa banyaknya hamba Tuhan yang bersembunyi di balik kata-kata “biji mata Tuhan”.  Seakan-akan mereka dicintai Tuhan.  Seperti mengkomunikasikan bahwa mereka adalah pengikut salib yang akan dibela Tuhan habis-habisan.  Tapi sesungguhnya mereka menyembunyikan diri untuk tidak tersentuh, supaya kesalahan mereka menjadi kesalahan yang harus dimaklumi, dipahami, dan tidak boleh dikoreksi, kecuali oleh Tuhan sendiri. 
Hal ini perlu dipikirkan kembali, sejauh apa setiap orang kristen telah menghidupi semangat salib sejati.  Tidak sekadar untuk menunjukkan diri tampak rohani, tapi sejatinya jauh, dan hanya pelarian pribadi. Dengan ini seyogyanya kita juga jujur di hadapan salib itu, bermegah di dalam salib itu, dan melakukan apa yang menjadi kehendak salib. Bukan sekadar menonjolkan Salib itu hebat dalam hidup kita, padahal tak lebih dari sebuah manipulasi dan permainan belaka. 
(Disarikan dari Khotbah Populer oleh Slawi)
 
 

Recommended For You

About the Author: Reformata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *