Pemimpin Berjiwa Hamba

Tidaklah demikian di antara kamu. Barang siapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Dan barang siapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang. (Matius 20: 26-28)  

Paradoks adalah suatu pernyataan yang seolah-olah bertentangan dengan pen-dapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran (Kamus Be-sar Bahasa Indonesia). Paradoks, dengan demikian, bukan hal yang sederhana untuk dapat dipahami. Dalam membicarakan sesuatu hal yang paradoks, diperlukan pem-bahasan yang mendalam, dan pemahaman yang utuh guna menemukan kesejatian. Sehingga dengan demikian kita mendapatkan makna yang sebenarnya dari hal yang paradoks tersebut.

Paradoks yang kita bicarakan di sini bersumber dari ucapan Yesus yang mengatakan bahwa seorang pemimpin harus sekaligus menjadi hamba. Artinya, kalau kita ingin menjadi besar, kita harus mau menjadi pelayan. Ungkapan di atas menjadi paradoksal karena berdasarkan logika, status sebagai pemimpin tidak bisa disamakan atau disejajarkan dengan hamba. Pemimpin adalah pemimpin, dan hamba adalah hamba. Pemimpin sekaligus menjadi hamba, secara logika tidak mungkin. Namun justru di sinilah bentuk paradoks yang hendak kita bahas dalam kesempatan ini.

Konsep orang secara umum adalah bahwa seorang pemimpin itu leading (naik di atas), duduk di kursi empuk. Siapa pun orangnya, pasti mau naik menjadi pemimpin atau duduk di tampuk kekuasaan, karena memang nikmat dan menye-nangkan. Namun sering pula terjadi di mana seseorang yang merasa dirinya sebagai pemimpin, tidak mau mengalah, tidak mau menerima kritik dan koreksi dari orang lain. Pemimpin semacam ini biasanya menganggap pemberi masukan (kritik atau koreksi) sebagai orang yang menaruh bara api di bawah kursi kekuasaannya, yang selalu membuatnya resah. Ironisnya, orang-orang yang memberi masukan itu bisa saja teman-teman dekatnya di masa lalu, yang sudah biasa saling bercanda ria. Setelah naik menjadi pimpinan, teman-temannya itu tidak bisa lagi bercanda dengan leluasa dengannya. Bicara kurang sopan saja, bisa-bisa malah menimbulkan masalah, apalagi melontarkan kritik, tentu bisa geger.

Memang, seringkali, konsekuensi dari sebuah kekuasaan adalah kehilangan identitas diri. Namun, ketika kita sebagai orang Kristen dihadapkan pada situasi pelik seperti ini, justru di sinilah kita memainkan peran. Ketika seorang Kristen memainkan perannya sebagai seorang pimpinan, dia mesti menjadi pemimpin yang berada di garis depan, memikirkan, menyelesaikan, memutuskan berbagai permasalahan dengan cemerlang, dan membuat gerak maju yang sangat hebat. Tetapi pada saat yang bersamaan dia mempunyai jiwa yang sangat humble (rendah hati), mampu mengendalikan diri,  mampu menguasai diri, sehingga  tidak terperosok ke dalam perangkap. Kombinasi ini menjadi hal yang luar biasa. Dan inilah yang dinamakan dengan paradoks itu. Sebab mana ada orang berjiwa pemimpin yang mau menjadi hamba? Tidak gampang untuk bisa menjadi orang seperti ini.

Tentang hal ini, Yesus telah memberi contoh. Petrus mengatakan bahwa Dia itu Mesias, anak Allah. Murid-murid yang lain pun menaruh hormat pada Dia. Tetapi Yesus mengatakan kalau diri-Nya sebagai “Anak Manusia”, dan “gelar” ini sangat disukai-Nya. Dia menempelkan sendiri gelar itu pada diri-Nya, karena dia merasa kedatangan-Nya ke dunia sama dengan anak manusia lainnya, yakni untuk melayani, bukan untuk dilayani. Padahal, sebagai pribadi yang dihormati dan dimuliakan, Dia layak mendapatkan pelayanan. Tetapi Dia menegaskan bahwa diri-Nya datang ke dunia ini bukan hanya sekadar melayani, bahkan bersedia memberikan nyawanya sebagai tebusan bagi banyak orang.

 

Tidak Gampang

Seorang pendeta bisa saja mengkhotbahkan hal ini, dan dia mengerti bagaimana menceritakannya, namun belum tentu dia akan sanggup menjalankannya, karena memang tidak gampang. Namun sebenarnya justru di sinilah letak keunggulan kekristenan itu, karena orang Kristen yang mau menerapkan hal yang paradoks ini, akan menjadi pimpinan yang kuat, selalu maju ke depan, mampu menggapai dan menjawab tantangan masa depan, dan sekaligus sangat humble di dalam sikap dan perilakunya.          

Dia bisa melaju dengan kencang, namun pengendalian dirinya juga kuat. Sekali lagi, sangat sulit untuk bisa menjadi seperti ini, tetapi justru di sinilah letak kesejatian Kristen. Dengan demikian, orang-orang Kristen itu akan selalu leading, tampil menjadi pemenang-pemenang yang hebat. Dan itu telah diperlihatkan oleh para rasul. Dalam penyertaan dan pemeliharaan Tuhan, para rasul  betul-betul menjadi leader, tetapi pada saat yang bersamaan mereka menjadi hamba.

Pada saat seseorang itu mampu menjadi pemimpin sekaligus menjadi hamba, maka sebetulnya dia menciptakan suatu suasana yang sangat luar biasa, suasana yang bisa memberikan ketenangan, suasana yang kondusif, di tempat di mana dia bekerja. Sebagai seorang pimpinan, dia punya visi yang cemerlang serta mampu membaca tentang masa depan. Pada waktu yang bersamaan dia seorang yang mampu mengendalikan diri, rendah hati, menghargai orang-orang yang menjadi bawahannya. Sikapnya itu pula membuat para bawahannya merasa teduh jika bersamanya. Di samping merasa teduh, bawahan juga optimistis karena selalu diberikan motivasi untuk maju. Namun di lain pihak, para bawahan pun harus bisa membaca serta menangkap keinginan sang pimpinan itu supaya keharmonisan dapat terjalin.

Recommended For You

About the Author: Reformata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *