Pdt. Bigman Sirait
Follow Twitter @bigmansirait
Gegap gempita penuh suka-cita orang menyambut Natal yang segera menjelang. Semua orang asik masyuk dalam riuh perayaan datangnya (lahir) Kristus melawat manusia. Selebrasi yang kerap berlebihan dalam ekspresi hingga menutup makna sejati Natal yang terselubung dalam histori. Rutinitas selebrasi religiusitas natal telah menjebak orang untuk menjejak makna natal sebenarnya. Sebuah hikayat akbar yang mula diwartakan sejak di taman eden. Apa yang terjadi di Taman Eden?
Nun jauh masa di Taman Eden, kabar Natal untuk kali pertama dikumandangkan. Manusia masih ada dalam kondisi sempurna, tak bercacat pun bercela. Hidup dalam limpahan “harta,” makanan. Semua yang ada di taman itu, yang baik-baik itu boleh dimakan semuanya, terkecuali satu pohon saja. Tidak ada persoalan ekonomi di sana. Manusia bisa makan, minum, dan apa pun yang diinginkannya dengan sangat mudah didapat. Pada dasarnya, dalam kesempurnaannya, manusia juga dicipta dengan diberikan suatu potensi untuk berkuasa. Dia sebagai penguasa alam semesta yang diberikan Allah kepadanya. Apa pun tunduk padanya. Betapa indah kehidupan di sana, dulu di taman Eden.
Keutamaan manusia, teramat disayangkan, dirusak sendiri olehnya. Kondisi ketidakberdosaannya dinodai oleh pelanggaran manusia sendiri atas perintah Allah. Jatuh ke dalam dosa membuatnya harus menerima konsekuensi yang fatal, yakni harus binasa! Tapi lagi-lagi, betapa Allah cinta dunia, betapa Allah mengasihi manusia. Segera setelah manusia jatuh dan dihukum, Allah justru mengabarkan berita pengharapan, berita keselamatan. Apalagi kalau bukan karya agung penyelamatan yang kelak dilakukan oleh Anak Allah sendiri.
Segera setelah manusia jatuh dalam dosa, Allah yang begitu bijaksana, adil dan maha kasih itu mengabarkan warta natal kepada manusia. Natal, atau datangnya (lahir) Yesus ke dunia bukanlah sebuah rencana di pertengahan jalan, atawa hanya akibat dari tindakan jahat manusia. Tidak. Natal adalah sebuah rencana Allah yang sangat luar biasa. Allah tahu benar bagaimana bebalnya manusia, bagaimana manusia yang jahat itu akan melanggar perintah-Nya dan jatuh ke dalam dosa. Dalam kemahatahuan itulah Allah sudah menyediakan keselamatan bagi manusia.
Itu semua adalah wujud nyata dari kasih Allah kepada manusia. Sehingga membuat Dia rela turun ke dunia, menjadi sama dengan manusia, guna menebus dosa manusia. Cinta kasih yang Allah kabar dan tunjukkan membuat manusia punya pengharapan. Itulah kekuatan Natal yang membuat Dia rela turun menyejarah, terbatas dalam waktu layaknya manusia biasa.
Kendatipun Allah sendiri tahu, bahwa hal itu membuat Dia kelak ditolak; membuat Dia rela tak mendapat tempat. Itu semua hanya karena tidak taatnya manusia, yang sudah menciptakan bencana panjang bagi dirinya sendiri, tetapi harus dibereskan oleh Yesus Kristus, Putra Tunggal Allah.
Di kandang hina, Ia datang. Di kandang hina berita Natal berkumandang. Semua dilakukan dalam kehinaan dan ketiadaan. Karena yang datang adalah gembala, bukan raja. Orang-orang Majus yang datang pun adalah orang-orang kafir, bukan bangsa pilihan, bukan Yahudi. Tapi di tempat yang hina itulah kemuliaan dinyatakan. Di kandang yang tidak mulia itu, Natal keselamatan justru menjadi nyata. Oleh karenanya, orang juga perlu melihat realita di kandang hina
Dari sini harusnya orang bisa merasai, bahwa natal sejati bukanlah terletak pada gegap gempita selebrasinya. Tapi ada pada pemahaman orangnya, sejauh mana dia mampu memahami pertolongan Allah. Oleh karena itu, menyikapi dan memahami Natal dengan benar adalah sebuah keharusan. Natal yang sejati bukanlah sebuah kelayakan kehidupan manusia. Justru Natal adalah penebusan atas dosa karena pemberontakan kita terhadap Dia, membuat Dia rela turun dari surga ke dunia. Dia turun dalam kerelaan, padahal sebenarnya tidak ada kewajiban bagi Dia untuk menyelamatkan manusia. Tetapi cinta kasih-Nya membawa-Nya melawat kita.
Bukankah seharusnya kita bersyukur karenanya? Jika orang mampu memahami, maka sejauh itulah dia akan bersuka cita dalam Natal. Namun demikian, rasanya tak perlu juga orang berdiri di ekstrim lainnya, merayakan Natal dengan bersusah-susah, berhina-hina, sedih, porak poranda, dan sebagainya, supaya mampu memahaminya. Sebab ini bukan soal fenomena, bukan soal apa yang bisa di lihat dan rasakan. Tapi soal kualitas yang utuh, yakni bagaimana orang melakukannya dengan suasana hati dan pemahaman yang utuh.
Di sinilah pengenalan orang akan isi kitab suci menjadi modal utama ketika merayakan Natal. Bukan soal besaran kapital yang ada. Bukan pula soal fenomena yang asal berbeda saja. Tapi seberapa jauh orang mengenal Dia. Seberapa jauh iman seseorang kepada Yesus Kristus, Anak Allah.
Akhirnya, jangan nodai Natal, hanya karena tidak cukup uang untuk membeli seperangkat barang yang diinginkan dalam rangka merayakan Natal. Jangan nodai Natal dengan perasaan cemburu karena orang lain bisa menghias rumahnya. Sebab sesungguhnya, Natal adalah momentum yang tepat bagi kita untuk mensyukuri apa yang sudah Tuhan berikan untuk kita. (disarikan oleh Slawi)