Natal, Politik, Dan Damai

Pdt. Bigman Sirait

Follow Twitter @bigmansirait

Nyanyian Natal para malaikat sangat luar biasa; Damai sejahtera di bumi diantara manusia yang berkenan kepada NYA (Lukas 2:14). Berita damai dikekerasan bumi, tentu meneduhkan hati. Semua orang merindukan damai, tapi terasa tak kunjung berwujud. Kini berita damai, bukan dari penguasa, tetapi lebih lagi, dari malaikat surgawi. Damai yang pasti abadi, damai sejati. Memang tak semua orang mendapatkannya. Terbatas hanya pada mereka yang berkenan pada NYA, yang hidup jauh dari dosa. Ya, dosa yang menjadi sumber kekerasan dan menjauhkan manusia dari damai. Secara teologis pemaknaan ini menyangkut pada pilihan Allah yang berdaulat. Namun dalam penalaran umum lagu ini aktual. Ya, damai bagi mereka yang hidup damai. Caranya, Alkitab mengajarkannya, kita menjalaninya.
Situasi politik di masa lagu Natal dinyanyikan para malaikat juga mirip dengan masa kini. Herodes Agung yang menjadi raja adalah seorang yang bukan saja paranoid, tapi juga psikopat tulen. Mencurigai istri dan anaknya akan kudeta, Herodes membunuhnya dengan darah dingin. Padahal kecurigaannya kurang berdasar, lebih didominasi paranoidnya sendiri. Mengerikan bukan, diperintah oleh raja yang paranoid dan psikopat. Dia raja, dia berkuasa, dia psikopat. Nyawa dicabutnya, gugatan tak bisa diajukan kepadanya. Itulah Herodes Agung yang memerintah dimasa Natal, kelahiran Yesus Kristus di Betlehem. Korban tak hanya di istana, dilingkungan raja yang dicurigai, tapi juga anak-anak kecil dibawah usia dua tahun, yang tidak tahu menahu mengapa mereka jadi korban (Matius 2:16). Itulah Natal pertama, Natal yang penuh dengan tumpahan darah. Kedatangan orang Majus keistana Herodes di Yerusalem untu menanyakan kabar, dimanakah Raja orang Yahudi yang baru dilahirkan, menjadi titik malapetaka. Ya, Herodes si raja paranoid ini, adalah satu-satunya raja boneka Roma yang diberi gelar raja orang Yahudi. Ini adalah gelar kehormatan bagi Herodes. Dan, kini, dia mendengar kabar dari para Majus, intlektual kelas atas, yang beritanya tak bisa diabaikan. Herodes sangat terkejut, namun sebagai politisi ulung dia mampu menampilkan wajah yang lainnya. Maklum politisi kebanyakan berwajah “seribu”, sulit untuk mengenalinya.

Kabar yang ditanyakan Majus, segera direspons dengan rencana jahat Herodes. Muka manis dimainkan, tak tanggung-tanggung Herodes menyampaikan niat ingin menyembah Sang Raja. Sejatinya dia ingin menghabisinya. Majus tak kembali sesuai pesan Herodes karena pimpinan Roh Kudus. Lama menanti, dan menyadari Majus tak akan kembali, Herodes murka, dan keluarlah perintah raja psikopat untuk membunuh semua anak-anak dibawah usia dua tahun. Ini usia kira-kira yang diyakini Herodes berdasarkan informasi para Majus. Putusan politik telah memakan korban nyawa yang tak sedikit. Senyuman Herodes dan niat menyembah berbuah pembantaian. Herodes Agung yang tak agung perilakunya. Mencipta tangis dimana-mana, tanpa rasa salah. Jika begini realitanya, dimana damai Natal itu? Bahkan Yusuf dan Maria pun harus menyingkir ke Mesir. Sulit memahami makna damai Natal. Di sinilah umat perlu menjelajah, menggali, dan memaknai sepenuhnya pesan damai Natal di Alkitab. Damai bukan sekedar situasi yang tenang dan nyaman. Sehat, dan ekonomi kuat. Sekali lagi bukan, sekalipun itulah yang sering diberitakan dari mimbar. Damai yang sejati adalah relasi orang percaya dengan Tuhan. Yusuf dan Maria menyingkir ke Mesir, melakukan perjalanan dalam minimnya keuangan. Mereka hanyalah pasangan dari kelas bawah. Tapi damai Natal membuat mereka kuat menjalani semuanya dalam nada syukur, bukan gerutu. Situasi politik memanas ditangan Herodes, namun Natal teduh dihati Yusuf dan Maria, sekalipun mereka tampak sebagai korban keganasan raja. Damai Natal melebihi kesulitan dan kesakitan apapun juga. Apakah anda memilikinya? Atau hanya sekedar mengucapkannya? Damai Natal, patut direnungkan. Di sini di negeri tercinta, suasana politik penuh gonjang ganjing. Kebanyakan yang hanya bersilat kata, namun tak menyentuh persoalan rakyat yang sesungguhnya. Atau ada yang berteriak untuk rakyat, namun sejatinya menjadikan rakyat sebagai bemper untuk menyerang lawan. Rakyat kecil selalu jadi korban kemunafikan politik. Muak melihat, tapi seringkali tak berdaya menghindar. Rakyat terpaksa menelan pil pahit yang tak menyembuhkan, bahkan sebaliknya meracuni. Wajah rakyat hanya satu, sementara kebanyakan politisi punya wajah “seribu”. Di mana damai Natal?

Ingat, damai Natal bukan soal apa yang diperoleh orang percaya, tapi bagaimana mereka menjalaninya. Ingat, bukan soal kekerasan dimana-mana. Tapi dimana posisi kita? Bersama Tuhan atau bukan? Kita harus membersihkan pemahaman yang sudah terlanjur salah, bahwa damai itu tidak ada persoalan apapun. Damai dalam Alkitab bersifat paradoks, bertolak belakang, tapi keduanya betul. Betul ada kekerasan di Natal pertama akibat keputusan Herodes. Tapi juga betul Yusuf dan Maria damai menjalani semuanya. Mereka dipilih Tuhan menjadi jalan Natal, kedatangan Mesias penebus dosa. Adakah yang lebih bahagia dari hal ini? Alkitab menyebut Maria sebagai wanita yang paling berbahagia di sepanjang masa. Ya, kebahagian karena boleh terlibat dalam kedatangan Yesus Kristus kedunia. Sementara Herodes adalah orang yang paling tidak damai, sekalipun dia adalah raja pembuat keputusan. Tidak ada yang bisa mencegah apalagi mengatur Herodes, namun dia adalah orang berkuasa yang tidak damai. Gelisah, marah dengan situasi yang ada, dan melumuri tangannya dengan dosa. Herodes memiliki segalanya, tahta, harta, wanita. Tapi, Herodes tidak memiliki damai Natal. Sebaliknya, Herodes malah berjalan menjauh dari damai Natal, tenggelam dalam kebencian. Apakah anda seorang Kristen? Jangan lagi terjebak pada fenomena hidup, dan khotbah yang salah. Damai bukan hanya ada dalam kekayaan, tapi juga kemiskinan. Bukan hanya dalam kesehatan, tapi juga kesakitan. Damai ada, bukan karena apa situasi kita, melainkan apakah Tuhan berserta kita. Dan, jika Tuhan beserta kita damai itu akan tampak nyata. Dimana kita hidup damai dengan diri, Tuhan, dan sesama.

Dalam damai kita akan hidup berbagi, tidak memperkaya diri sendiri. Karena berbagai adalah tanah subur untuk benih damai itu bertumbuh. Indah bukan! Jadi, kegaduhan politik di negeri tercinta ini jangan sampai merampas damai Natal dari kita. Perilaku memuakkan yang tampak kasat mata, itu karena mereka tak memiliki damai dalam hidupnya, kecuali luapan kebencian yang menggila. Tapi gereja juga jangan sampai berperilaku sama dalam bentuk berbeda. Berani bahagia sendiri tanpa berbagi. Mengumbar kemegahan dan kemewahan, namun miskin kasih sayang. Ah, damai itu tampak dan terasa nyata, bukan hanya kata. Itulah damai Natal yang diterima gembala yang bukan pengusaha, apalagi penguasa. Semoga kita ada diposisi benar, memiliki hati gembala padang Efrata. Bukan hati gembala upahan yang hanya mencari keuntungan materi. Akhirnya, selamat hari Natal, selamat hari damai bagi kita yang berkenan kepada- NYA, yang hidup sesuai dengan kehendak-NYA.

Recommended For You

About the Author: Reformata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *