Miris, Kekerasan Seksual oleh Rohaniwan

 

Kasus kekerasan seksual yang melibatkan seorang oknum pendeta di Blitar sungguh mengguncang hati umat Kristen. Pelaku adalah seorang yang selama ini dikenal sebagai hamba Tuhan senior yang disegani, namun ternyata melakukan pelecehan seksual terhadap tiga anak di bawah umur dalam rentang waktu yang tidak sebentar. Tragedi ini bukan hanya menyisakan luka mendalam bagi para korban dan keluarganya, tetapi juga mencoreng nama baik gereja dan mereduksi kepercayaan umat terhadap pelayanan rohani. Situasi ini menjadi ajakan untuk merenungkan kembali apa makna sejati dari pelayanan, serta apa yang harus menjadi tanggung jawab gereja dalam membangun sistem yang sehat, aman, dan transparan.

Hamba Tuhan, Teladan Moral dan Integritas

Alkitab menegaskan bahwa seorang pelayan Tuhan dipanggil bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani. Yesus berkata, “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu” (Matius 20:26). Yesus, Sang Gembala Agung, justru membasuh kaki para murid sebagai teladan kerendahan hati dan pengorbanan.

Namun dalam praktiknya, tidak sedikit orang yang masuk dalam pelayanan tetapi membawa motivasi yang keliru– misalnya mencari status, kuasa, atau pengaruh. Ketika hamba Tuhan mulai dipandang seperti “orang suci yang tidak boleh disentuh”, “pemimpin yang pantang dikritik”, atau “nabi yang selalu benar”, maka jalan menuju penyalahgunaan kuasa pun terbuka lebar. Sebagaimana pepatah yang mengatakan ”Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”

Hamba Tuhan sejati harus hidup dalam keteladanan moral dan integritas. Integritas bukanlah sekadar reputasi di depan publik, melainkan keutuhan karakter di hadapan Allah, juga di dalam ruang-ruang privat. Ia mesti menjaga kekudusan, menjauhi yang jahat, dan hidup dalam pertanggungjawaban yang sehat. Bukan hanya kepada Tuhan, tetapi juga kepada sesama dan komunitas gerejawi.

Evaluasi Budaya “Mengkultuskan” Hamba Tuhan

Kasus-kasus kekerasan atau pelecehan seksual dalam gereja mungkin juga terjadi di tempat-tempat lain dalam rentang sejarah yang panjang, namun kerap tak terungkap karena adanya budaya yang menempatkan pemimpin rohani di atas kritik. Ada ketakutan untuk mempertanyakan keputusan atau perilaku hamba Tuhan, karena bisa dianggap sebagai  tindakan yang “melawan orang yang diurapi Tuhan”. Di sisi lain, korban —apalagi anak-anak— sering kurang dipercaya kesaksiannya, atau bahkan dibungkam demi menjaga “nama baik gereja”.

Budaya seperti ini bukan hanya tidak alkitabiah, tetapi berbahaya. Rasul Paulus sendiri tidak kebal terhadap pertanyaan dan pengujian jemaat (Kisah Para Rasul 17:11). Ia juga menulis, “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik” (1 Tesalonika 5:21). Pemimpin rohani adalah manusia biasa yang juga bisa jatuh ke dalam dosa dan harus hidup dalam pengawasan yang sehat dan rendah hati.

Gereja perlu secara serius mengevaluasi budaya internalnya: Apakah berkenan memberi ruang untuk keterbukaan? Apakah ada saluran pengaduan yang aman bagi anak, perempuan, atau jemaat biasa? Apakah lebih cepat, bahkan tergesa-gesa secara membabi buta membela pemimpin rohani daripada mendengar suara korban?

Pelayanan Bukan Panggung Pencitraan atau Pentas Kekuasaan

Tugas pelayanan bukan panggung pencitraan atau posisi kekuasaan. Sebaliknya, pelayanan adalah wadah pengorbanan, seperti Kristus yang mengorbankan diri-Nya bagi dunia. Kuasa dalam pelayanan bukan untuk mengontrol orang lain, tetapi untuk melayani dengan kasih dan tanggung jawab.

Bahaya segera muncul saat pelayanan dilihat sebagai hierarki kekuasaan. Ketika pendeta merasa “di atas hukum”, ketika keputusannya tidak bisa ditinjau ulang, atau ketika ia bebas menjalin hubungan pribadi yang tidak sehat dengan jemaat, maka gereja sedang membuka pintu bagi penyimpangan yang sangat berbahaya.

Mari kembali kepada panggilan semula: menjadi pelayan, bukan penikmat kekuasaan. Menjadi gembala, bukan perampok kawanan domba. Menjadi penjaga, bukan pemangsa.

Gereja, Tempat Aman Bukan Ancaman Bagi Perlindungan Anak

Tragedi yang terjadi di Blitar menjadi alarm keras bagi semua gereja: sudahkah membangun sistem perlindungan anak yang memadai?

Anak-anak adalah anggota tubuh Kristus yang paling rentan. Yesus sendiri berkata, “Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku” (Markus 9:37). Dan Ia juga memperingatkan dengan keras dan tegas, “Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut” (Matius 18:6).

Gereja perlu menetapkan kode etik pelayanan anak, melakukan seleksi dan pelatihan kepada pelayan, serta menyediakan jalur pelaporan yang aman dan rahasia. Selain itu, penting bagi gereja untuk bekerja sama dengan psikolog, konselor, dan aparat hukum bila terjadi pelanggaran serius.

Anak-anak harus merasa bahwa gereja adalah tempat aman, bukan tempat ancaman. Gereja seharusnya berdiri di pihak yang lemah dan menjadi suara bagi mereka yang tak bersuara.

Hamba Tuhan, Teladan Kasih dan Kebenaran

Pelayanan adalah panggilan yang mulia, tetapi juga tanggung jawab yang besar. Mari kembali kepada teladan Kristus: rendah hati, melayani, menjaga kekudusan, dan mencintai kebenaran lebih dari reputasi dan popularitas. Biarlah gereja menjadi tempat yang suci bukan hanya dalam ibadahnya, tetapi juga dalam budaya, relasi, dan sistem pelayanannya. Dan bagi setiap hamba Tuhan, jangan pernah lupa bahwa Anda dipanggil bukan untuk berkuasa, tetapi untuk berkorban dan menjadi teladan dalam kasih dan kebenaran.

Kiranya SUP ini menjadi bahan perenungan, bukan sekadar bahan bacaan yang menambah wawasan. Agar jangan lagi ada korban berjatuhan. Umat dan gereja Tuhan kiranya turut membantu para rohaniwan dengan pengawasan yang sehat dan penuh ketulusan. Bagikan SUP ini kepada saudara dan teman, agar manfaatnya lebih luas dirasakan. Kiranya nama Tuhan diagung-muliakan.

Recommended For You

About the Author: Pdt. Gelen Marpaung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *