Pdt. Bigman Sirait
ADA orang berpikir dengan kemampuan manusiawinya, artinya murni pada diri dan hakekat dia. Ada pula yang berpikir dengan pertolongan Tuhan. Berpikir dengan kemampuan manusiawi, adalah bagaimana orang-orang berpikir dengan cara berpikirnya, baik dia beragama atau tidak beragama (rasional). Orang tidak beragama (ateis) berpikir: tidak ada Allah. Mazmur 14: 1 berkata, “Orang bebal berkata tidak ada Tuhan”. Itu menggambarkan bagaimana orang ateis itu membuat kesimpulan atas analisis dan pengertian bahwa Allah tidak ada. Hidup dia adalah dia. Bagaimana dia berjalan, itu adalah keputusan dia. Maka bagi orang ateis, Allah itu omong kosong. Bagi dia, apa yang ada dan kelihatan, itulah yang ada. Jadi Allah itu tidak ada masuk dalam kamusnya.
Sementara orang yang berpikir rasional selalu menganggap bahwa apa yang masuk akal, itulah yang benar. Dia tidak berbicara soal ada Tuhan atau tidak. Tuhan, kalau masuk akal, oke-oke saja. Jadi ini seperti antara orang beragama dan tidak beragama. Jadi, dia bisa beragama, tapi juga bisa tidak beragama. Jika Tuhan masuk akal, berarti Tuhan ada. Mereka tidak bilang Tuhan tidak ada, tetapi tidak mau terima kalau yang dibicarakan itu supranatural. Bahwa Tuhan bisa membangkitkan orang mati, ada mukjizat, kuasa Tuhan, mereka tidak bisa terima, karena tidak masuk akal mereka.
Kita sering salah memahami kalau orang beragama berpikirnya sudah sesuai kehendak Tuhan. Yang tidak beragama itu kurang ajar. Belum tentu. Itu sebab sering kali kita melihat sesuatu yang chaos, rancu, kacau, karena melihat orang tak beragama kok malah lebih lurus pikirannya dibanding orang beragama. Artinya tingkah lakunya, pola hidupnya, perilakunya. Kita bingung, kok mutu orang tidak beragama lebih baik dibanding orang beragama. Kenapa bisa begini? Jadi jangan kaget menghadapi kenyataan kehidupan kekristenan yang tidak seperti Anda bayangkan. Harus hati-hati. Orang beragama pun bisa berpikir dengan kemampuan dirinya. Dia memperlakukan Alkitab, menerjemahkan seperti apa maunya. Jadi, bukan apa kata Alkitab terhadap saya, tetapi apa yang saya mau, yang harus didukung Alkitab.
Pikiran baru
Lalu bagaimana orang yang berpikir dengan pertolongan Tuhan. Ia berpikir dengan pikiran baru. Paulus berkata bahwa kita manusia baru diperbaharui, roh dan pikiran kita. Terminologi ini harus dipahami baik-baik. Berpikir dengan pikiran yang baru itu, maksudnya bukan memori kita yang baru, dan yang lama yang dihapus semua. Tetapi arah pemikiran kita, atau konsentrasi pemikiran kita kepada kebenaran. Kualitas berpikir itu sudah diarahkan kepada kebenaran. Dulu, sesuatu yang tidak benar tapi kita pikir baik, sekarang kita tahu itu tidak baik. Ini karena berpikir kita sudah dipengaruhi kebenaran, sudah dikuasai kebenaran. Kemampuan berpikir benar itu bukan pula karena kemampuan IQ bertambah. Tapi itulah yang kita sebut sebagai kemurahan Tuhan. Di mana pemberdayaan daripada kebenaran membuat kita bisa memilah-milah mana yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan kebenaran itu. Maka orang bodoh pun tidak berarti tidak bisa mengerti kebenaran. Karena kebenaran adalah sebuah anugerah, kekuatan yang Tuhan berikan kepada orang yang diperkenan-Nya.
Berpikir dengan pertolongan Tuhan itu berpikir tentang yang di atas, bukan yang di bumi. Dalam Kolose: 3 Paulus mengatakan “Supaya kita memikirkan perkara-perkara yang di atas, bukan yang di bumi”. Artinya, Paulus sedang mengajarkan kita tentang orientasi, arah pikir itu, bukan lagi memikirkan kehidupan di bumi yang serba terbatas, sehingga berhitung apa yang menguntungkan dan merugikan. Tetapi sekarang kita dilatih untuk hidup memikiran hal-hal yang di surga, apa yang Tuhan kehendaki. Bukan berarti kita meninggalkan bumi lalu naik ke surga, tetapi kualitas pemikiran itu, sehinga seluruh nilai-nilai surgawi itu memenuhi pemikiran kita. Apa pun yang mau kita putuskan hanya dalam kerangka yang utuh ingin memuliakan Tuhan. Sehingga semua itu menjadi berubah. Dengan pertolongan Tuhan kita dibawa berubah, mengenal Tuhan.
Orang rasional, begitu mengenal Tuhan, dia kaget, dan mengatakan: “Sekarang saya baru tahu bahwa Tuhan bisa melakukan apa yang tidak masuk dalam akal saya, yang melewati akal saya, karena Tuhan lebih hebat dari akal saya”. Maka dia menaklukkan rasionya ke dalam atau ke bawah kebenaran. Perubahan atau perpindahan seperti ini sering terjadi di dalam kehidupan kita. Tetapi sebaliknya kalau kita tidak menyadari nilai-nilai seperti ini kita bisa kebingungan. Sekarang menjadi penting, bagaimana seharusnya kita mengalami pembelajaran dalam hidup sehingga mengenal dan mengerti kebenaran itu.
Kita harus memeriksa diri. Jangan habiskan waktu untuk memeriksa orang lain, karena Tuhan tidak memberi kita hak wewenang untuk menghakimi. Tetapi kita harus memeriksa diri kita seperti Paulus bilang pada Timotius: “Awasi dirimu, awasi pula ajaranmu”. Kiranya ini menjadi perenungan bagi kita untuk terus memperdalam bagaimana kita seharusnya mampu berpikir benar.v
(Diringkas dari kaset khotbah oleh Hans P. Tan)