Pemimpin Kristiani: Empowerment

Raymond Lukas

PERNAHKAH Anda mendengar istilah ‘macan ompong’?  Mungkin Anda akan tertawa mendengarnya, tapi macan ompong memang menggambarkan seekor binatang buas, yang dikenal sebagai ‘raja rimba’ namun tidak berdaya karena giginya ompong. Jadi dia tidak akan berdaya untuk mencabik mangsanya dan mengoyak-ngoyak mangsanya. Kalau demikian keadaannya, buat apa jadi macan?
Dalam dunia usaha, banyak juga macan ompong dalam perusahaan-perusahaan dalam artian banyak pemimpin perusahaan dibuat tidak berdaya oleh sistem kerja yang diba-ngun. Akibatnya sebagai pemimpin perusahaan, dia menjadi tidak berdaya untuk menjalankan rencana-rencana-nya, pikiran-pikirannya untuk menca-pai visi perusahaan dan menyejahtera-kan karyawannya karena sebagai pemimpin, dia tidak diberikan ‘empowerment’ untuk bertindak dalam koridor yang disepakati bersama – jadi akibatnya banyak stagnasi akan terjadi dalam perusahaan tersebut.
Banyak pemimpin mengeluhkan keadaan yang mereka alami.  “Tidak ada yang bisa saya harapkan di organisasi ini. Para pemimpinnya mandul semua dan bersikap absen untuk mengambil keputusan. Semuanya jadi tidak jelas” demikian keluh kesah Darius, seorang manajer perusahaan pembiayaan. Saya menatapnya, mencoba untuk menenangkannya. Dia pun bercerita: “Saya mengerjakan proyek penagih-an kepada debitur perusahaan kami yang berhutang. Saya dan tim sudah mengejar debitur tersebut, bahkan sampai ke rumahnya jauh di atas gunung. Jauh sekali, kami sangat kesulitan dan sangat lelah dalam mengejarnya. Namun semua kami lakukan karena itu yang diminta dan ditugaskan atasan kami. Dan kami ingin menjalankan tugas kami  sebaik-baiknya. Tiba saatnya kami harus menentukan berapa jumlah yang akan dibayar debitur tersebut. ‘Deal’ kami di atas gunung, debitur bersedia membayar, namun kurang beberapa ratus ribu rupiah saja, itu pun setelah mendapatkan pinjaman dari salah seorang kerabatnya. Jadi kami menyetujui jumlah tersebut mengingat jumlah yang akan dibayar sudah mencapai 98% dari total kewajiban pihak debitur dan tingkat kesulitan yang kami sudah tempuh. Sebuah tingkat recovery yang sangat tinggi. Namun ternyata setelah kembali ke kantor, atasan kami tidak mau menerima jumlah tersebut. Itu disampaikan kepada kami melalui asistennya. Dia meminta 100% semuanya tertagih. Saya sudah meminta waktu menemui sang atasan untuk menjelaskan duduk persoalannya mengapa kami menerima 98% tersebut. Sebab, kalau kami tidak mengambil jumlah tersebut, kemungkinan besar debitur tidak akan pernah membayar hutangnya di kemudian hari. Debitur sudah mengancam tentang hal itu, karena menurut debitur itu adalah usaha terbaik yang dapat dilakukannya yaitu meminjam uang dari kerabatnya untuk memenuhi tagihan kami. Saya menyesalkan sikap atasan saya yang tidak bersedia saya temui untuk diberikan penjelasan. Memang atasan saya itu sering bersikap sangat dingin. Tingkat kecurigaan terhadap karyawannya sangat tinggi, semuanya bisa dicurigainya seperti maling, dan itu seringkali bisa kami tangkap dari kata-katanya kalau dia berbicara kepada kami”. Jadi, saya dan tim saya terpaksa harus iuran untuk menutupi kekurangan beberapa ratus ribu tersebut. Saya kasihan kepada tim saya. Mereka sangat kecewa. Kami membela kepentingan perusahaan, namun akibatnya  kami ternyata harus nombok kekurangannya dengan dana kami sendiri.”
Rekan pemimpin, paparan di atas adalah salah satu contoh mengenai situasi di mana sebagai manajer, rekan saya Darius tidak diberikan ‘empowerment’ (pemberdayaaan) untuk memutuskan jumlah yang dapat diterimanya dalam sebuah usaha penagihan hutang dari debitur. Jadi, bawahan dibebani tugas berat untuk melakukan ‘collection’ hutang debitur namun tidak diberikan ‘empowerment’ untuk bernegosiasi dan mengambil keputusan eksekusi di lapangan. Tidak adanya ‘empowerment’ tersebut dapat me-ngakibatkan gagalnya usaha-usaha berat yang sudah dilakukan. 
Kita tahu bahwa ‘empowerment’ kepada bawahan memegang peran yang sangat penting. Bagi banyak orang, penghargaan dan pengakuan merupakan sumber dari energi yang positif. Salah satu bentuk peng-hargaan dan pengakuan yang dapat diberikan pimpinan adalah melalui ‘empowerment’ untuk menjalankan tugas. Waktu seseorang diberi kepercayaan dan diperlakukan secara adil, mereka akan terinspirasi untuk melakukan lebih banyak dan lebih baik. Pegawai dalam kondisi di mana mereka diberikan wewenang dan tanggung jawab akan memberikan kontribusi lebih besar dibandingkan kalau mereka dimonitor dengan sangat ketat atau dibatasi dengan peraturan-peraturan yang menye-babkan kreativitas terpasung atau pun diembeli dengan kecurigaan yang sangat berlebihan. Sebaliknya bagi perusahaan, pemberian ‘empowerment’ juga akan memberikan para pemimpin di tinglat puncak waktu untuk melakukan hal-hal yang lebih produktif daripada sekadar mengawasi dan mencurigai karyawannya. Para pemimpin di jajaran tertinggi bisa lebih memberikan waktu untuk memikirkan bagaimana mereka bisa mendukung karyawan lebih baik, melayani stakeholders dengan nilai tambah atau mengembangkan bisnis baru. 
Rekan pemimpin, sewaktu Tuhan Yesus mengutus murid-murid-Nya, Ia memberikan ‘empowerment’ yang luar biasa. Dia memanggil ke-12 murid lalu memberikan tenaga dan kuasa kepada mereka (Lukas 9: 1). Kita baca di situ bahwa Yesus memberikan kuasa sepenuhnya, bukan sebagian atau dengan syarat-syarat yang berat. Hasilnya sangat luar biasa. Murid-murid pergi dan mengelilingi segala desa (banyak desa, semua desa, lihat Lukas 9 : 6) sambil memberitakan Injil dan menyembuhkan orang sakit di segala tempat. Kita lihat impak dari ‘empowerment’ yang diberikan Yesus kepada murid-murid-Nya menghasilkan produktivitas yang sangat tinggi yaitu pemberitaan Injil dan penyembuhan orang-orang sakit yang sangat banyak. 
‘Empowerment’ juga sebenarnya bukan barang baru dalam dunia usaha, namun sudah dilakukan sejak dulu. Hal ini sudah dikenal sejak Perjanjian Lama dalam Alkitab. Namun sampai saat ini masih banyak pemimpin perusahaan, termasuk para pemimpin dan pemilik perusahaan kristiani enggan memberikan ‘empowerment’ kepada bawahannya dengan berbagai alasan. ‘Empowerment’ yang pernah kita baca di jaman Musa, adalah sewaktu Musa di padang gurun bekerja untuk mendengarkan dan mengadili umat Israel. Musa tampak kelelahan, dan waktu itu mertuanya memberikan nasihat untuk berbagi tugas dengan memberikan ‘empowerment’ kepada orang-orang yang cakap dan dapat dipercaya untuk mengambil alih beberapa tugas Musa, sehingga Musa bisa berkonsentrasi pada tugas-tugas yang lebih penting.
Pemimpin kristiani, seharusnya sangat berbeda dari pemimpin biasa. Kita lihat bagaimana Yesus bersikap dan memberikan empowerment kepada murid-muridnya, dan hasilnya sangat luar biasa. Kita lihat bagaimana Musa berbagi tugas dengan tim pilihannya, dan hasilnya juga sangat luar biasa. Bawahan melihat kepada integritas, kompetensi dan kepemimpinan atasan mereka. Mereka menilai untuk dapat mempercayai atasan mereka melalui tingkah laku atasan yang menunjukkan kejujuran, dapat diandalkan, pandangan kedepan, contoh-contoh yang ditunjukkan atasan dan kemauan atasan untuk mempercayai orang lain. Dengan melihat contoh keteladanan Yesus dalam memberikan ‘empowerment’, dan mendengarkan harapan-harapan karyawan, niscaya Pemimpin Kristiani akan menjadi contoh dan teladan kepemimpinan yang terbaik.v

Trisewu Leadership Institute
Founder: Lilis Setyayanti
Co-founders: Jimmy Masrin, Harry Puspito
Moderator: Raymond Lukas
Trisewu Ambassador: Kenny Wirya

Untuk pertanyaan, silakan kirim e-mail ke: seminar@trisewuleadership.com. Kami akan menjawab pertanyaan Anda melalui tulisan/artikel di edisi selanjutnya. Mohon maaf, kami tidak menjawab e-mail satu-persatu.”
 

Recommended For You

About the Author: Reformata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *