
Reformata.com – ISTILAH “jaim” mungkin sudah dikenal oleh kita semua. Itu kepanjangan dari ”jaga image”. Seringkali di kalangan anak-anak muda sekarang istilah ini dialamatkan kepada orang-orang yang dirasakan atau dilihat terlalu menjaga penampilan atau ’image’ atau ’citra diri’ mereka secara berlebihan. Anak saya misalnya sering mengatakan, ”Ih, Daddy, jaim deh”, kalau dilihatnya saya terlalu kaku di depan teman-temannya yang notabene anak-anak muda berusia delapan belasan. Komentarnya memang sekadar guyonan atau memperi-ngatkan saya bahwa saya tidak perlu bersikap ’kaku’ secara berlebihan seolah-olah menjaga benar status saya sebagai orang tuanya sehingga tidak bisa bersikap sedikit santai di depan kerumunan teman-teman bermainnya.
Ya, seringkali kita sebagai orang tua, atau sebagai pemimpin atau bahkan sebagai sesorang yang berada di dalam suatu kumpulan terlalu serius dan kaku dalam membawakan diri kita. Kita terlalu takut dicap atau dilebel sebagai ’tidak berwibawa’ atau ’tidak mencerminkan citra diri yang baik’. Akibatnya, kita terlihat canggung dan memberikan reaksi secara berlebihan, misalnya dengan menampilkan mimik ’angker’, tidak memberikan senyum sama sekali kepada lingkungan kita atau bahkan terlalu protektif terhadap wilayah kerja kita untuk tidak disinggung orang lain dalam bentuk apa pun, baik masukan atau komentar atau pendapat lainnya. Itulah sebabnya, orang-rang di sekeliling kita mengatakan, ”Wah, ’jaim’ bener ya tuh orang…”.
Akhir-akhir ini juga ramai dibicarakan tentang politik ”Jaga Image”, di mana seorang pejabat dituduh terlalu memfokuskan pada menjaga citra pribadinya sebagai seorang pejabat. Isti-lahnya politik ’pencitraan’. Akibat politik pencitraan yang berlebihan tersebut sang pejabat malahan dicerca dan dihujat habis-habisan sebagai pejabat yang yang berlebihan dalam menjaga penam-pilannya bahkan disebutkan sebagai pejabat ’tukang curhat’ (mencurahkan isi hati ke publik).
Akhir-akhir ini juga ramai dibicarakan tentang politik ”Jaga Image”, di mana seorang pejabat dituduh terlalu memfokuskan pada menjaga citra pribadinya sebagai seorang pejabat. Isti-lahnya politik ’pencitraan’. Akibat politik pencitraan yang berlebihan tersebut sang pejabat malahan dicerca dan dihujat habis-habisan sebagai pejabat yang yang berlebihan dalam menjaga penam-pilannya bahkan disebutkan sebagai pejabat ’tukang curhat’ (mencurahkan isi hati ke publik).
Seorang teman yang bekerja di sebuah organisasi mengeluhkan tingkah seorang pegawai yang mengurus sebuah perkumpulan doa atau lazimnya disebut PD. Pasalnya, karyawan tersebut bermaksud meminjam sepe-rangkat sound system milik perkumpulan untuk dipergunakan pada acara ’dadakan’ organisasi tersebut yang diselenggarakan tiba-tiba. Maksud meminjam disampaikan secara oral tatap muka kepada seorang pejabat/ pengurus yang bersangkutan. Namun sang pengurus dengan mantap mengatakan, ”Kirim surat resmi ya ke saya….”.
Si peminjam jadi bingung, lho kan saya sudah bicara langsung, kok malah diminta menulis surat resmi segala. Karena si peminjam tahu betul, bahwa organisasi PD tersebut merupakan organisasi yang sangat sederhana, jadi sebenarnya birokrasi surat-menyurat yang menghambat dan menyulitkan proses peminjaman sama sekali tidak diperlukan. Namun karena butuh, dan peralatan tadi dikuasai pegawai pengurus tadi, terpaksa sang peminjam mengetik surat dan menyerahkannya kepada si pengurus. ”Hih, sebel deh gue – ”jaim” bener tuh si ’X’ . Mana gue lagi buru-buru, waktu acara sudah mepet dan gue harus menyiapkan yang lain, eh dia minta surat segala. Lagian tuh surat buat apaan ya, palingan juga disimpan dalam laci,” gerutu si peminjam.
Si peminjam jadi bingung, lho kan saya sudah bicara langsung, kok malah diminta menulis surat resmi segala. Karena si peminjam tahu betul, bahwa organisasi PD tersebut merupakan organisasi yang sangat sederhana, jadi sebenarnya birokrasi surat-menyurat yang menghambat dan menyulitkan proses peminjaman sama sekali tidak diperlukan. Namun karena butuh, dan peralatan tadi dikuasai pegawai pengurus tadi, terpaksa sang peminjam mengetik surat dan menyerahkannya kepada si pengurus. ”Hih, sebel deh gue – ”jaim” bener tuh si ’X’ . Mana gue lagi buru-buru, waktu acara sudah mepet dan gue harus menyiapkan yang lain, eh dia minta surat segala. Lagian tuh surat buat apaan ya, palingan juga disimpan dalam laci,” gerutu si peminjam.
Seorang teman lain, Jeng Sri namanya, yang bekerja di sebuah kantor kontraktor mengeluhkan salah satu atasan yang sangat berlebihan menjaga image. Pokoknya area yang di bawah koordinasi beliau gak boleh diberi masukan, komentar apalagi kritikan. Komentar salah sedikit, sang bos langsung berang. Bahkan beliau tidak segan mengadu pihak yang sedang ’berbeda pendapat’ langsung di depan dia. Prinsipnya, memang tidak masalah sih, sebenarnya pilihan mempertemu-kan langsung kedua pihak adalah pilihan yang baik, namun memang pembicaraan antarpihak perlu dilakukan dengan kondusif. Jangan sampai pertemuan hanya bertujuan menyelamatkan wajah pemimpin secara pribadi, namun mengorban-kan pihak lain sehingga kelihatannya tidak becus.
Seringkali kata-kata nyinyir yang diucapkan sang bos itu sangat pedas dan bikin telinga merah. Ada kesan sang pemimpin sedikit mengadu domba pihak yang sedang berseberangan. ”Wah, Pak Bodan, maksud Jeng Sri ini kan membodoh-bodohkan Bapak. Lihat nih, urutan detail yang disampaikan Jeng Sri ….., ini sih jelas maksudnya Pak Bodan yang goblok…”.
Seringkali kata-kata nyinyir yang diucapkan sang bos itu sangat pedas dan bikin telinga merah. Ada kesan sang pemimpin sedikit mengadu domba pihak yang sedang berseberangan. ”Wah, Pak Bodan, maksud Jeng Sri ini kan membodoh-bodohkan Bapak. Lihat nih, urutan detail yang disampaikan Jeng Sri ….., ini sih jelas maksudnya Pak Bodan yang goblok…”.
Nah, bayangkan bagaimana suasana yang kondusif dapat dibangun dari percakapan di atas? Apakah kalimat tersebut akan mencairkan atau malah memanas-kan suasana? ”Bayangkan Mas…” lanjut Jeng Sri, ”Saya kan yang membuat laporan tersebut, dan Mas Bodan ada di depan saya. Padahal, saya sama sekali tidak bermaksud menjelekkan atau mengesankan Mas Bodan itu melakukan hal yang bodoh… saya hanya menuliskan proses yang sudah terjadi memang demikian – tidak kurang tidak lebih,” kata teman saya itu berkeluh kesah. ”Akhirnya saya tahu deh Mas maksud Bos saya itu….” teman saya melanjutkan, soalnya kemudian sang bos bilang, ”Hati-hati kalau buat laporan, lihat-lihat dulu pihak mana yang akan terkena dampaknya…..” .
”O, rupanya karena Mas Bodan itu ada di bawah supervisi beliau langsung, maka setiap pendapat kurang memuaskan perihal sesuatu di wilayah kerja beliau dampaknya bisa mempengaruhi langsung ’image’ sang bos. Karena laporan tersebut akan beredar di ’high level” Mas. Jadi beliau takut dicap tidak bisa ’mengontrol’ bawahannya dengan baik”. ” Sampai sekarang Pak Bodan masih berpendapat saya menusuknya dari belakang Mas, emang ”jaim” banget deh si bos yang itu Mas,” lanjut Jeng Sri.
Menjaga image atau citra diri, memang penting. Tapi haruskah demi menjaga image kita harus mengorbankan pihak lain, mengadu domba pihak lain atau membuat keputusan-keputusan yang mengambang sehingga membingungkan banyak pihak? Pemimpin kristiani, marilah kita kembangkan citra diri dan harga diri yang positif berdasarkan firman Tuhan, bukan dengan mengguna-kan cara-cara dunia yang seringkali merugikan orang lain bahkan diri kita sendiri. Kita perlu mencatat kembali bahwa rancangan Tuhan bagi kita adalah: (i) Kita adalah orang yang berharga di mata Tuhan; (ii) Tuhan menjadikan kita insan ilahi yang tidak terpisahkan dari diri-Nya; (iii) Tuhan menjadikan kita partner-Nya; (iv) Tuhan memilih kita untuk berbuah banyak; (v) Tuhan selalu beserta dengan kita betapa pun sulitnya keadaan kita; (vi) Tuhan menga-runiai kita dengan kemampuan yang unik, dan meminta kita meng-gunakan kemampuan itu untuk kemuliaan-Nya; (vii) Sadari karunia yang sudah diberikan, bersyukurlah dan kembangkan karunia tersebut untuk mencapai tujuan-tujuan yang terbaik untuk kemulian Tuhan.
Rekan Pemimpin, menyadari betapa kita sudah dirancang sedemikian rupa, maka kita perlu menyadari bahwa citra diri kita atau image kita adalah ’sudah positif’ sesuai pencipta-Nya. Jadi tidak perlu menggunakan cara-cara ’tidak halal’, cara-cara yang merugikan orang lain dan memperkeruh suasana hanya untuk sekadar ‘jaim’.v
Menjaga image atau citra diri, memang penting. Tapi haruskah demi menjaga image kita harus mengorbankan pihak lain, mengadu domba pihak lain atau membuat keputusan-keputusan yang mengambang sehingga membingungkan banyak pihak? Pemimpin kristiani, marilah kita kembangkan citra diri dan harga diri yang positif berdasarkan firman Tuhan, bukan dengan mengguna-kan cara-cara dunia yang seringkali merugikan orang lain bahkan diri kita sendiri. Kita perlu mencatat kembali bahwa rancangan Tuhan bagi kita adalah: (i) Kita adalah orang yang berharga di mata Tuhan; (ii) Tuhan menjadikan kita insan ilahi yang tidak terpisahkan dari diri-Nya; (iii) Tuhan menjadikan kita partner-Nya; (iv) Tuhan memilih kita untuk berbuah banyak; (v) Tuhan selalu beserta dengan kita betapa pun sulitnya keadaan kita; (vi) Tuhan menga-runiai kita dengan kemampuan yang unik, dan meminta kita meng-gunakan kemampuan itu untuk kemuliaan-Nya; (vii) Sadari karunia yang sudah diberikan, bersyukurlah dan kembangkan karunia tersebut untuk mencapai tujuan-tujuan yang terbaik untuk kemulian Tuhan.
Rekan Pemimpin, menyadari betapa kita sudah dirancang sedemikian rupa, maka kita perlu menyadari bahwa citra diri kita atau image kita adalah ’sudah positif’ sesuai pencipta-Nya. Jadi tidak perlu menggunakan cara-cara ’tidak halal’, cara-cara yang merugikan orang lain dan memperkeruh suasana hanya untuk sekadar ‘jaim’.v