Harry Puspito
(harry.puspito@yahoo.com)*
Sekarang adalah masa kemenangan konsumen, karena mereka memiliki banyak pilihan untuk memenuhi suatu kebutuhannya. Kepuasan pelanggan menjadi strategi yang umum dilakukan perusahaan untuk mempertahankan, atau meningkatkan pangsa pasarnya. Masyarakat yang dimanjakan tanpa sadar membangun budaya complain, bukan bersyukur. Sebenarnya kebiasaan tidak bersyukur sudah terbentuk dari jaman dahulu. Tidak bersyukur adalah manifestasi keberdosaan manusia. Bagaimana dengan kita? Apakah kita lebih sering bersyukur atau bersungut-sungut – mengenai diri, mengenai keluarga, tempat kerja, gereja, negara, …. kita?
Paulus dalam surat-suratnya selalu memulai dengan ungkapan syukur. Paulus bahkan bisa bersyukur atas jemaat Korintus yang sangat bermasalah – masalah moral, perpecahan, ajaran sesat, konflik, dan sebagainya (I Kor 1:4-9). Paulus melihat (dengan iman) anugerah (grace) yang pasti dari Allah bagi jemaat Korintus. Reaksi terhadap anugerah tidak bisa lain adalah ucapan syukur (gratitude). Grace atau anugerah adalah dasar dari kekristenan dan Injil itu sendiri adalah anugerah, yaitu kebaikan Allah yang dihadiahkan bagi kita yang tidak layak menerimanya.
Mengapa kita harus bersyukur? Mengucapkan syukur adalah perintah Allah sendiri (Lihat Efesus 5:20; 1 Tesalonika 5:18, dan sebagainya). Karena ini adalah perintah, orang percaya tidak bisa lain selain patuh. Alkitab juga mengajar kepada kita bersyukur melalui contoh-contoh, baik oleh Yesus sendiri (lihat Matius 11:25), Daud (lihat Mazmur), Paulus serta para tokoh Alkitab lain.
Namun menarik bahwa hasil-hasil riset membuktikan bahwa orang-orang yang bersyukur ternyata menikmati hidup yang lebih bahagia, lebih optimis. Mereka lebih tahan stress, tidur lebih nyenyak, lebih suka berolah-raga, lebih sehat dan rata-rata berumur lebih panjang. Mereka memiliki ikatan sosial yang lebih kuat dan harga diri yang lebih sehat. Mereka lebih mungkin menolong orang lain dan menawarkan dukungan emosi bagi orang yang membutuhkan.
Untuk lebih memahami arti bersyukur, akan membantu mengetahui kata Inggrisnya, yaitu gratitude, yang berasal dari bahasa Latin – gratia dan memiliki akar kata yang sama dengan grateful (berterimakasih) dangrace (anugerah), graciousness (kemurahan). Gratitude memiliki unsur emosi, yaitu sukacita – karena ‘menerima’ sesuatu, yaitu anugerah – tapi juga keyakinan, atau iman, bahwa hidup – semua aspek dari hidup – adalah anugerah. Ketika kita tidak memiliki keyakinan yang demikian, sebaliknya hidup adalah hak, maka orang tidak bisa bersyukur. Bahkan ketika dia bertemu dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginannya, dia akan complain atau bersungut-sungut. Gratitude juga memiliki unsur praktik, yaitu dengan melakukan sesuatu sebagai ungkapan syukur itu, dengan perkataan maupun perbuatan lain. Gratitude juga adalah disiplin, yaitu konsistensi bersikap dan berperilaku bersyukur.
Bersyukur memiliki tingkatan. Kita mudah bersyukur ketika menerima pemberian dari orang lain atau suatu ‘berkat’ dari Tuhan – misalnya pekerjaan, promosi, anak, dan sebagainya. Orang percaya sangat bersyukur ketika pertama menyadari keselamatan kekal yang diterimanya sebagai anugerah.
Bersyukur seharusnya – seperti dikehendaki Tuhan – dalam segala hal, yaitu menjadi sikap hidup. Melihat segala hal dengan sikap bersyukur, setiap saat di setiap tempat. Termasuk kita bersyukur atas orang-orang lain yang Tuhan hadirkan dalam kehidupan kita. Kadang orang itu seperti pesaing, tapi kita seharusnya bisa bersyukur karena kehadiran orang lain adalah anugerah bagi kita. Orang tertentu, seperti pasangan, kadang membuat hidup kita sulit, tapi itu adalah anugerah Tuhan untuk membuat hidup kita bertumbuh. Lebih jauh kita juga bisa bersyukur untuk kesempatan memberi, melayani dan berkorban – walau ini juga menerima, tapi memerlukan iman untuk menerima perkataan “Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima.” Ucapan syukur yang sulit adalah ketika melihat orang lain diberkati.
Bagaimana kita bisa hidup bersyukur? Sebagai orang percaya, kita harus bertobat, minta ampun dan tidak hidup lagi dalam hidup yang tidak bersyukur. Kita harus berubah sikap, melihat hidup sebagai anugerah Allah dan kita adalah penerima anugerah itu sehingga sikap kita adalah bersyukur.
Bersyukur dimulai dengan ‘memperhatikan’ – kebaikan, keindahan, anugerah di sekitar kita. Dengan memperhatikan dan memikirkan lingkungan kita, diri kita, masa lalu dan masa depan kita, kita bisa dan pasti akan bersyukur; sudah barang tentu dengan memandang dengan kacamata yang baru, kacamata syukur. Kebiasaan bersyukur terbentuk ketika kita menghentikan lingkaran complain dan mengorientasikan hidup kita kepada pujian, kesaksian, dan ucapan syukur.
Kita bisa dan perlu melatih diri untuk bersyukur – ini termasuk latihan rohani yang bermanfaat untuk semua hal (1 Timotius 4:8). Untuk melatih kepekaan kita melihat anugerah Allah, kita bisa melatih diri dengan mencatat berkat-berkat Allah setiap hari dan mengucapkan syukur. Untuk pengingat kita bisa menempelkan peringatan untuk bersyukur di tempat-tempat yang sering kita lihat. Kita bisa menuliskan surat ucapan terima kasih kepada orang-orang tertentu yang telah sangat memberkati kita, seperti orang tua, guru, gembala, dan lain-lain. Kita bisa membiasakan diri sharing ucapan syukur kita dengan keluarga atau sahabat. Lebih jauh kita perlu melatih untuk melakukan sesuatu sebagai ungkapan syukur. Ada orang-orang tertentu menyisihkan dana ucapan syukur ketika dia bersyukur, mengumpulkan dan menyalurkan pada waktunya.
Tuhan memberkati!