NATAL adalah sebuah perjalanan panjang, dan tidak akan pernah bisa kita ukur atau ketahui dengan tepat karena memang tidak terjangkau oleh kita. Natal adalah sebuah perjalanan luar biasa yang dilakukan oleh Yesus, anak Allah. Ia tidak mempertahankan kesetaraan-Nya dengan Allah, Ia mengosongkan diri, menjadi sama dengan manusia. Ia meninggalkan surga untuk datang ke dunia. Bisakah kita mengukur berapa panjang perjalanan surga-dunia? Bisakah kita menjangkau surga dengan alat yang dibuat manusia? Tentu tidak. Surga itu paradoks: terlalu jauh untuk dijangkau, tetapi sangat dekat untuk dipercayai. Iman.
Ketika Yesus melakukan perjalanan dari surga ke dunia, Ia menggunakan “alat” yang sangat luar biasa, yakni kerelaan kehendak-Nya. Itulah yang membuat perja-lanan panjang itu mungkin dilalui. Karena kerelaan Allah menjadi manusia maka perjalanan dari surga ke dunia itu terealisir. Kerelaan kehendak itu menjadi kendaraan yang membawa Dia dari surga mulia, turun ke dunia yang hina.
Natal adalah suatu peristiwa ajaib. Di mana dalam kerelaan kehendak-Nya Ia mau menjadi sama dengan manusia. Tidak ada persamaan antara Allah dengan manusia, tetapi Dia mau melakukan itu. Jadi, Natal membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin: surga dan dunia terjembatani oleh kerelaan Anak Allah, Yesus Kristus, Tuhan kita. Dan kerelaan kehendak ini seharusnya menjadi gambaran yang kuat dalam hidup kita. Seperti yang juga digambarkan Paulus kepada orang-orang di Filipi, bagaimana dengan kerelaan kehendak, kita mampu meniadakan nilai diri, menyangkali kemanusiaan kita (sangkal diri), supaya kita mampu menghargai orang lain.
Jadi, perjalanan Natal yang panjang akan tetap menjadi kekuatan yang tidak bisa diubah, karena surga bertemu dengan dunia hanya oleh karena kerelaan kehendak Yesus untuk menanggalkan keilahian-Nya. Maka di tengah kehidupan manusia, Natal mestinya menjadi sebuah perjalanan panjang yang bisa menjembatani permusuhan, yang seringkali membuat orang terpisah karena kebencian dan kedengkian. Natal harus mampu menjembatani berbagai pertikaian.
Sulit membayangkan bagaimana dunia bisa tersambung dengan surga, karena surga sangat kudus, sementara dunia penuh dosa, cacat dan cela. Alkitab mengatakan manusia tidak mampu melihat Allah yang suci. Keberdosaan kita tidak mungkin diperhadapkan dengan kesucian Allah. Artinya, kita tidak mungkin bertemu dengan Dia. Tidak mungkin kita berhadapan muka dengan Dia. Tidak mungkin kita bisa melihat Dia. Tetapi dalam perjalanan panjang-Nya, dalam kerelaan kehendak-Nya, Ia membatasi diri, melepas atribut keilahian-Nya. Ia menjadi Allah yang terbatas bukan karena terbatas, tetapi karena rela membatasi diri, sehingga Dia bisa ada di tengah-tengah manusia, tanpa kita terpisah atau terbakar di hadapan-Nya. Ia membuat diri-Nya menjadi sama dengan manusia. Betapa luar biasanya. Dalam kerelaan kehendak-Nya Dia telah menyambung surga dan dunia.
Betapa hebat perjalanan itu, karena dari kekekalan Dia meluncur menuju kesementaraan, masuk dan terkurung di dalam ruang dan waktu. Padahal Dia ada di tempat di mana Dia tidak bisa dikurung oleh apa pun juga. Ia melepaskan kekekalan yang menempel pada diri-Nya. Dan dalam kerelaan kehendak-Nya, Dia lepaskan kekekalan itu untuk masuk ke dalam ruang dan waktu, ke dalam kesementaraan.
Pernahkah kita berpikir semangat sama yang seharusnya kita kumandangkan demi memenangkan jiwa demi jiwa seperti Dia memenangkan jiwa dan hidup kita?
Turun berbagi
Pengkhotbah menggambarkan hidup di dunia sebagai sesuatu yang tidak mengenakkan, sangat membosankan. Lalu, mengapa Dia mau datang ke dunia, masuk ke dalam kurungan yang tidak menyenangkan? Kerelaan kehendak-Nyalah yang membuat Dia mau masuk ke dalam ruang dimensi ruang dan waktu. Kerelaan kehendak-Nyalah yang membuat Dia mau masuk dan tinggal bersama kita, hidup dalam dunia yang penuh dosa. Itulah Natal, kerelaan kehendak membuat Yang Suci masuk ke tempat berdosa dan hina. Natal, sebuah perjalanan panjang sehingga membuat Dia, anak Allah yang mahakuasa dan bertakhta di surga mulia datang ke dunia untuk menjadi anak manusia.
Perjalanan panjang yang dilakukan-Nya, membuat Dia melepaskan kekekalan-Nya, dan terpisah dari kesucian surgawi lalu masuk ke dalam dunia yang hina, nestapa. Semangat Natal seperti itu seharusnya hidup dan menghidupi orang-orang percaya, sehingga orang-orang percaya betul-betul terikat di dalam emosi yang kuat terhadap Natal itu. Natal mestinya menjadi perenungan yang serius, bukan pesta pora yang salah langkah. Tapi tragisnya, atas nama memuliakan Tuhan, Natal seringkali terjebak pada kemewahan yang justru memunculkan kelas-kelas, membuat orang-orang bawah makin terpojok. Orang-orang di tempat kumuh semakin ngeri dan merasa tidak berarti ketika melihat gemerlap pesta Natal. Semangat Natal yang sama sekali terbalik, bukan?
Saudara, mari kita menemukan Natal yang sejati. Mari melakukan dan merenungkannya, karena Tuhan memanggil kita untuk memberitakan Injil. Karena itu jangan terjebak pada perangkap apa pun. Jadikan Natal sebagai perjalanan panjang untuk nenanggalkan seluruh keegoan, kehebatan, keluarbiasaan kita. Mari turun untuk berbagi dengan orang-orang susah di sekitar kita. Jangan menyakiti hati mereka dengan balutan kemewahan yang ada pada kita.
Akhirnya tepatlah ber-Natal, jangan terjebak. Semoga Natal ini menjadi perjalanan panjang kita demi kemuliaan nama Tuhan.
(Diringkas dari kaset Khotbah Populer oleh Hans P.Tan)