Pdt. Bigman Sirait
Follow @bigmansirait
“Perumpamaan tentang seorang penabur” demikian Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) memberi judul pada Injil Matius 13 ayat pertama hingga ke 23. Di situ dikisahkan bagaimana Tuhan Yesus sedang berkhotbah di hadapan murid-murid-Nya dengan mengambil ilustrasi benih yang ditabur. Benih itu diceritakan jatuh di pinggir jalan, di tempat berbatu, dan jatuh di tanah baik. Ketiganya memiliki konsekuensi dan akibat tersendiri. Benih yang jatuh di pinggir jalan misalnya, akan habis dimakan burung, sehingga tidak ada kesempatan untuk bertumbuh. Selanjutnya, benih yang jatuh di tempat berbatu dan tanahnya tipis, sudah dapat dipastikan akan segera mati, meskipun sempat bertumbuh, namun karena tidak berakar, maka akan segera layu dan mati. Dan yang paling bagus adalah benih yang jatuh di tanah yang baik. Tidak saja dia dapat bertumbuh subur, tapi juga segera berbuah puluhan, bahkan ratusan kali lipat.
Perumpamaan tentang seorang penabur itu diceritakan Yesus untuk menunjukkan fakta karakterisitik orang yang datang hendak mendengar firman tentang kerajaan sorga. Dalam konteks sekarang ini, perumpamaan tersebut dapat dibawa untuk menunjuk fenomena orang-orang yang sering mendengar firman Tuhan, dalam arti kuantitas. Mengemuka dalam bentuk aktivitas rajin ke gereja, aktif di persekutuan dan segala hal yang berhubungan dengan pelayanan. Tentu saja di mata orang lain, aktivitas kerohaniannya, aktivitas spiritualnya terlihat amat bagus. Apalagi dengan imbuhan nilai subyektif orang, bahwa mereka yang sering terlibat dalam persekutuan ibadah itulah yang baik, justru semakin menguatkan anggapan ini. Padahal tidak tentu demikian. Siapa yang dapat menjamin jika di antara orang yang duduk mendengarkan firman Tuhan mengerti betul kebenaran sejati firman. Boleh jadi mereka mendengar tetapi sebenarnya belum mengerti, kalau enggan menyebut tidak mengerti sama sekali. Apa yang dibicarakan tentang kerajaan sorga, atau apa sebenarnya yang dituntut Allah dalam hidup, sejatinya tidak dimengerti dengan baik.
Aktivitas melayani, beribadah, dan mendengar firman sebenarnya tidak lebih dari pemenuhan kebutuhan diri agar disebut sebagai orang beragama. Untuk dapat disebut Kristen, maka dia perlu ke gereja. Berbeda sama sekali dari makna Kristen yang sejati. Alkitab pun mengatakan orang-orang seperti ini belum layak dikatakan sebagai seorang Kristen. Kristen memiliki pengertian yang teramat indah. Kristen adalah Kristus kecil, atau pengikut Kristus. Kristen sejati tidak dipahami sekadar sebagai identitas diri. Lantaran agamanya Kristiani atau nasrani, maka seseorang disebut Kristen. Hal demikian tentu sah-sah saja, dimaknai sebagai identitas atau pengenal. Begitu juga kalau seseorang disebut Kristen hanya karena dia ke gereja, toh gereja adalah juga tempat ibadahnya orang Kristen. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah benar dia adalah Kristen di hadapan Tuhan? Ini yang jadi masalah dan pergumulan selanjutnya.
Kembali kepada orang yang yang mengaku kristiani. Yang memiliki aktivitas mendengar firman tentang kerajaan sorga, tetapi tidak pernah mengerti, an-sich tak lebih daripada penggembira. Ke gereja di benaknya hanya untuk pemuasan diri dan bukan memuaskan Tuhan. Firman Tuhan apapun yang diberitakan tidak dipedulikan, bisa dipertanggungjawabkan atau tidak pun tak dipusingkannya. Baginya yang penting ceramah yang disampaikan enak didengar, membuat hati pun senang. Karena itu jangan tanya soal standarisasi pewartaan firman Tuhan haruslah sesuai dengan Alkitab. Sebab orang seperti ini tak peduli dengan itu. Baginya beribadah hanya karena dia seorang Kristen.Duduk mendengarkan firman karena ingin disebut orang yang beragama, orang yang percaya Tuhan. Dia tidak mau disebut kafir. Karenanya perlu sebuah status keagamaan. Kalau diperhatikan dari sudut kuantitasnya, ditinjau dari mobilitas dan aktifitas rohaninya, mungkin dua jempol perlu diacungkan. Mengingat sudah teramat tinggi tingkatannya, dari persekutuan satu ke persekutuan lain, dari gereja satu ke gereja lain, orang mungkin akan sangat kagum melihatnya.
Namun sayang, sepak terjangnya ternyata tidak luput dari sorotan orang. Bahkan akan membuat orang bertanya-tanya, “rajin beribadah, rajin ikut persekutuan, kokhidupnya tidak karu-karuan, tidak mencerminkan kebenaran firman Tuhan.” Di gereja bisa saja dia terlihat sangat rohani, namun di tempat kerja langsung berubah, khilaf, “lupa” kalau dia seorang Kristen. Lalu kenapa hal ini bisa terjadi? Sederhana saja, apa yang dia kerjakan tidak lebih dari hanya aktivitas. Inilah “iman aktivitas”. Sebuah model beriman yang hanya terikat pada ritual atau tradisi kristen, dan tidak sedikitpun menyentuh esensi keberagamaan, esensi kekristenan. Menjalankan kewajiban keagamaan pada waktu ibadah, tetapi ketika bertemu dunia yang sesungguhnya, langsung berubah dan kembali ke bentuk asli. Tidak sedikit orang menggunakan topeng yang hampir sama seperti ini di dalam gereja, tak terkecuali para pendeta yang tidak saja tertipu, tapi juga terjebak dalam model iman seperti ini. Bahkan untuk sekadar mendapat pengakuan keagamaan, pengakuan beriman orang-orang model “iman aktivitas” ini tak segan-segan membayar berapa pun untuk status itu.
Ekspresi dari “iman aktivitas” sering lebih menjadi batu sandungan daripada menolong. Sering menjatuhkan kekristenan daripada mengangkatnya. Karena itu diperlukan otokritik. Mengoreksi ke dalam, apakah kita juga terjebak pada konsep dan cara yang sama. Terperangkap dalam aktivitas menjadi orang Kristen yang pergi ke gereja demi identitas kekristenan, atau demi kewajiban keagamaan. Beribadah jangan hanya sekadar menjalankan panggilan keagamaan. Melampui itu, dalam beribadah kita bertemu secara pribadi dengan DIA, berdialog dengan DIA yang mengetahui hati dan pikiran. Berdoa, minta tolong agar Tuhan membersihkan hati dan pikiran serta maksud dan motivasi yang tidak seharusnya.
(Disarikan dari Khotbah Populer oleh Slawi)