Pdt. Bigman Sirait
Follow @bigmansirait
Shalom Pak Bigman dan pengurus Tabloid Reformata semuanya.
Sebelumnya saya ucapkan trimakasih atas ulasan-ulasan khotbah Bapak Bigman yang ada di Youtube.com & tulisan di tabloid Reformata.
Saya mau bertanya kepada Bapak, Bagaimana pernikahan adat Batak di tinjau dari kebenaran Alkitab, dan dikaitkan dengan pemahaman “Dalihan Na Tolu”. Dan apa saja yang Bapak pahami dan ketahui berdasarkan kebenaran Alkitab tentang penyimpangan dalam adat istiadat, kebiasaan masyarakat suku batak, khususnya Batak yang di Samosir, Toba.
Sebelumnya saya ucapkan trimakasih.
Doa saya, Tuhan memberkati semua pelayanan Bapak dan pelayanan tabloid Reformata.
Hepriko Parsaroan Simarmata
Jambi
Hepriko di Jambi, yang dikasihi Tuhan, sebuah pertanyaan menarik. Karena memang seringkali menimbulkan polemik dikalangan umat. Namun sebelum kita membicarakan soal adat batak, perlu kita pahami dulu posisi adat dalam pandangan Alkitab, agar kita tidak terjebak polemik.
Dalam Kejadian 1: 26-28, dikatakan bahwa manusia diciptakan Allah segambar dan serupa denganNya. Dan, manusia diciptakan untuk tujuan bertumbuh dan berkembang biak, memenuhi, menguasai, dan mengelola bumi. Harus dipahami hakikat manusia secara utuh.
Pertama, sebagai ciptaan yang segambar dan serupa dengan Allah, maka jelas manusia adalah mahluk agama, yaitu berelasi dengan Allah. Ini membedakan manusia dengan ciptaan lainnya yang tidak “beragama”. Dalam relasi inilah persekutuan manusia dan Penciptanya dibangun. Jadi, manusia adalah mahluk beragama, tidak mungkin tidak beragama. Termasuk seorang ateis, secara teologi dia juga beragama, hanya saja dalam percayanya, dia tidak percaya Allah ada, itu sikap keagamaannya.
Kedua, sebagai ciptaan Allah manusia juga diberi kemampuan beranak cucu, artinya menjadi mahluk sosial yang berkemampuan bersosialisasi. Nah, di sini jelas sekali, sebagai manusia yang bersosialisasi manusia hidup dalam tata tertib kehidupan bersama. Ini adalah kemampaun lahiriah yang Allah berikan pada manusia. Sebagai makhluk sosial yang berkembang biak, beraturan, manusia disebut mahluk budaya. Jadi budaya adalah anugerah Allah. Bahwa manusia telah jatuh ke dalam dosa, sehingga standar nilai hidup mengalami kekacauan. Semua rusak, dan tak sejalan lagi dengan Alkitab. Inilah awal persoalan adat dalam perspektif Alkitab.
Adat, adalah kemampuan budaya manusia dalam konteks dimana dia ada. Setelah peristiwa air bah, manusia terserak dalam banyak bahasa. Berkembang menjadi berbagai bangsa, di berbagai benua dan negara. Lokasi tinggalnya ada yang dipesisir pantai, di daerah pegunungan, hutan, atau perkotaan. Di sini manusia beradaptasi dengan linkungannya dan membangun apa yang kita sebut sebagai adat istiadat, atau budaya setempat. Ini yang perlu dikembalikan kepada nilai Alkitab.
Jadi budaya, atau adat istiadat tidak pernah salah pada dirinya. Yang salah adalah nilai yang ditaruh di dalamnya. Sama seperti pisau bukanlah benda berbahaya, karena tergantung pemakaiannya. Ini perlu disadari, sehingga tidak gelap mata berkata adat itu dosa. Para nabi,Yesus Kristus, rasul, semua hidup dalam adat istiadat setempat. Yesus Krsitus menjadi undangan dan hadir di perkawinan di Kana. Minum anggur menjadi adat istiadat Yahudi, maka jika kehabisan itu akan jadi aib.Tuhan Yesus mengerti adat itu dan memfasilitasinya, membuat air menjadi anggur (Yoh 2:1-11).
Dalam pandangan agama dikalangan Kristen memang terbagi dalam beberapa tafsir. Sikap menolak, yang menganggap adat itu dosa dengan asumsi semua yang ada didalam dunia adalah dosa (1 Yoh 2:15-16). Tafsir ini tak salah, karena memang manusia berdosa, hanya melahirkan dosa. Tapi tampaknya dilupakan yang dosa adalah nilai yang dibangun manusia, bukan adatnya. Ingat, adat adalah anugerah Allah. Sementara tafsir lain bersikap menerima adat sepenuhnya. Asumsinya, bukankah Allah memberikan matahari pada semua orang (Mat 5:45). Sayangnya, disini penggeneralisasiannya tak tepat. Betul, budaya itu pemberian Allah, tapi nilai-nilai yang ada perlu diuji, karena belum tentu sejalan dengan Alkitab. Lalu sikap memperbaharui, ini lebih pas, yaitu menyadari secara utuh bahwa adat adalah pemberian Allah, namun manusia bisa mengisinya dengan nilai salah. Karena itu, adalah tugas kita meneliti dan memperbaharuinya agar sesuai Alkitab, bukan asal tolak, tapi juga tidak asal terima. Apa yang dikatakan rasul Paulus dalam Roma 12:2 sangat menarik. “Tidak serupa dengan dunia”, karena itu hidup perlu terus menerus diperbaharui. Jelas adat tidak salah, tapi nilai yang dikandungnya. Jadi jangan terlalu mudah membuat kesimpulan.
Sekarang, bagaimana dengan adat batak, pernikahan dan Dalihan na tolu. Dalihan na tolu, mengandung arti mempertemukan, mempersatukan. Ada tiga unsur, yang dipersatukan, yaitu; Dongan sabutuha (saudara semarga), Hulahula (besan atau keluarga dari pihak istri), Boru (keluarga menantu, atau keponakan dari saudara perempuan). Ketiga unsur ini memiliki peran untuk saling melengkapi. Sehingga membuat adat memenuhi syarat. Secara Alkitab tentu saja ini sangat baik, karena memandang semua unsur keluarga punya peran, dan penghargaan. Alkitab berkata pernikahan dua menjadi satu, dan keluarga supaya sehati, saling bertolongan. Indah bukan, ini terasa dalam slogannya, manat (hati-hati) mardongan tubu, sombah (hormat) mar hulahula, elek (lembut) marboru.
Lalu dalam pernikahan sendiri melalui proses yang sangat hati-hati dan bertanggungjawab.
1. Mangaririt (pacaran), artinya memilih calon, tidak asal, supaya jangan sampai ada penyesalan kelak. Lalu setelah pasangan merasa cocok, maka mereka melibatkan keluarga dan melakukan Marhusip (lamaran), biasanya sekaligus dengan marhata sinamot (pembiayaan pernikahan). Semua harus melalui pertemuan internal masing-masing keluarga, melengkapi informasi, lalu dilanjutkan dengan pertemuan formal untuk legalitasnya.
2. Martumpol (pewartaan), jika marhusip dilakukan di rumah, maka ini dilakukan di gereja. Ini menjadi semacam pengumuman pertunangan yang resmi, yang akan diikuti dengan peneguhan dan pemberkatan nikah kudus.
3. Resepsi pernikahan, diawali dengan marsibuha-buhai, mempelai pria menjemput mempelai wanita, dengan acara adat. Lalu calon mempelai menuju ke gereja untuk peneguhan dan pemberkatan nikah. Setelah itu ke resepsi pernikahan, yang diisi dengan jamuan makan, dan pelaksanaan adat. Kemudian setelah resepsi, ada acara paulak une yang dilakukan internal keluarga, sebagai rasa syukur, pesan, dan ucapan selamat kepada keluarga baru.
Nah, jika melihat semua urutan yang terasa ekstra padat, maka justru terlihat jelas bagaimana adat batak memandang hormat pada sebuah pernikahan, yang disebuat Alkitab sebagai apa yang dipersatukan Tuhan tak boleh dipisahkan manusia. Cara adat batak yang tidak gampangan, merespon baik ajaran Alkitab. Sementara soal ulos dan mengulosi adalah wujud respek dan sayang kepada sesama anggota keluarga, sesuai posisinya masing-masing dalam pesta pernikahan, berdasarkan dalihan na tolu. Dan ulos, tidak ada yang salah, bukan berhala. Ada yang menyebut ada isinya, atau hal lainnya. Maka untuk itu perlu diingat, setiap kita belanja barang, pakaian, dari berbagai sumber, maka juga besar kemungkinan disembayangi atau dimanterai. Artinya, kita tak boleh belanja. Ah, bukankah itu sangat naif. Patutlah kita baca dan pelajari dengan baik apa yang dikatakan rasul Paulus tentang makanan berhala (1 Korintus 8). Tidak ada makanan berhala, semua milik Allah kata Paulus tegas. Terima dan makan, tapi perlu memperhatikan tindakan etisnya agar tidak menjadi batu sandungan.
Hedriko yang dikasihi Tuhan, kita patut bersyukur kepada Tuhan untuk adat istiadat batak yang diberikan, tinggal periksa apakah ada yang salah. Jika ada, perbaharui bukan musuhi. Selamat menikmati hidup menjadi orang yang beradat.