Raymond Lukas
Apakah persahabatan merupakan hal yang penting dalam kehidupan kita sebagai professional dan sebagai seorang pemimpin? Kalau Anda dan saya ditanya mengenai hal itu, mungkin kebanyakan dari kita akan menjawab “ya”. Itu merupakan kebutuhan kita sebagai professional, sebagai insan-insan yang ada di market plac. Baik di dalam pelayanan maupun di dalam pergaulan sehari-hari, hal itu merupakan sesuatu yang sangat kita perlukan. Jadi, persahabatan merupakan salah satu dari aset kita yang paling bernilai. Memiliki sahabat dengan hubungan yang berkualitas, artinya sahabat yang bisa tertawa dengan kita dalam keadaan senang ataupun sahabat yang ada di samping kita dalam hal kita mengalami hal-hal yang sulit, memerlukan investasi dan komitmen bersama yang kuat.
Namun seringkali persahabatan bisa menjadi hambar atau rusak karena banyak faktor, dari hal-hal paling kecil, misalkan salah mengucapkan sesuatu secara tidak disengaja sampai faktor-faktor keserakahan dalam banyak hal yang memporakporandakan hubungan persahabatan.
Katakan saja misalnya pengalaman Milka, seorang wanita pengusaha di bidang penyewaan ruang dan manajemen kantor. Milka memiliki usaha menyewakan ruang-ruang kantor di bangunan sederhana dua lantai yang dimilikinya di daerah Tebet. Suatu saat, Milka mendapatkan proyek dari tantenya untuk menata ruangan kantor seorang pengusaha yang akan memindahkan usahanya dari kota lain. Milka mengajak seorang kenalannya untuk ikut membantu dalam proyek tersebut. Tentunya Milka tidak mengajak temannya ikut dalam proyek tersebut sebagai seseorang yang memiliki investasi dalam usaha Milka, karena kapasitas sang teman memang bukanlah sebagai seorang investor. Dasarnya, Milka hanya membutuhkan seseorang “able body” yang bisa membantunya mengurus beberapa hal, selain rasa prihatin Milka untuk membantu sang teman. Katakan saja, Yuri namanya. Nah, Yuri bersedia membantu Milka untuk mengurus proyek renovasi tersebut. Sayangnya, memang hubungan kerja antara keduanya tidak diperjelas dengan suatu perjanjian kerjasama ataupun menyangkut “job description” yang menunjukkan tugas dan tanggung jawab Yuri dan pembayaran kompensasi Yuri yang disepakati bersama.
Milka menyampaikan keluhannya kepada saya, karena dalam kenyataannya Yuri dianggap kurang ko-operatif dalam menangani proyek tersebut. Ada beberapa kali kesempatan, dimana seharusnya Yuri menangani beberapa tugas, kenyataannya Yuri beralasan harus mengerjakan sesuatu yang lain ataupun jatuh sakit beberapa minggu, hingga kepada urusan keluarga diluar kota untuk beberapa waktu lamanya. Sehingga banyak hal yang akhirnya dilakukan Milka sendiri. Milka menganggap Yuri kurang professional dalam melakukan pekerjaanya.
Milka bertanya, apakah dalam proyek seperti ini prinsip kepemimpinan berlaku? Saya jelas mengatakan kepada Milka: Ya! Dalam hal ini Milka adalah pemimpinnya dan Yuri adalah bawahan, karena Milka yang merekrut Yuri sebagai asistennya dalam proyek renovasi kantor seorang prospek klien dari luar kota tersebut. Jadi otoritas kepemimpinan ada pada Milka dan Yuri harus menghormati dan mendukung semua keputusan Milka untuk kelancaran proyek tersebut.
Selanjutnya, Yuri mulai menuntut Milka untuk membagi 50:50 semua pemasukan dari proyek itu. Padahal seharusnya Yuri menghormati Milka sebagai pemilik/owner dari proyek dan tidak menuntut pembagian seperti layaknya seorang investor, karena jelas Yuri modal dengkul dalam hal pembiayaan proyek ini. Semua pengeluaran proyek ditanggung Milka, namun Yuri menuntut 50% hasil. Hal ini sangat tidak sepadan dengan posisi Yuri yang sebetulnya di ikutsertakan dalam proyek sebagai “able body” saja. Hal-hal seperti ini, sering kali tidak terduga sebelumnya, karena karakter seseorang mungkin belum muncul sepenuhnya tak kala seseorang hanya berteman dengan seseorang dalam lingkaran social non-bisnis. Namun, biasanya setelah menyangkut masalah keuangan – maka karakter asli seseorang mulai muncul.
Rekan professional yang budiman, oleh sebab itu berhati-hatilah dalam membina hubungan persahabatan dengan seseorang. Suatu hubungan persahabatan yang baik seharusnya dilandasi oleh:
1. Transparansi – Kita harus bersikap jujur dengan teman kita dan mendorong mereka untuk melakukan hal yang sama terhadap kita. Untuk mencanangkan hubungan yang kuat, kita tidak perlu menyembunyikan perasaan kecewa atau tertolak yang disebabkan oleh masing-masing pihak. Keterbukaan yang disertai dengan tanggung jawab dapat membantu masing-masing pihak menjadi orang yang lebih baik.
2. Waktu dan saling berbicara – persahabatan yang tulus membutuhkan waktu untuk dikembangkan. Kita harus mau untuk menyampingkan kewajiban masing-masing untuk sementara waktu dan memberikan waktu yang cukup untuk saling berbicara satu sama lainnya. Waktu yang disediakan kedua belah pihak harus digunakan untuk berbicara tentang pikiran dan keinginan masing-masing serta saling bertanya sehingga hubungan tersebut bisa terbuka. Jenis pembicaraan seperti ini mampu untuk masing-masing pihak saling membuka diri dan saling melihat kedalaman hati dan pikiran masing-masing.
3. Rasa terima kasih – Semua orang ingin dihargai. Mengucapkan penghargaan sewaktu seorang teman membantu akan mengingatkan masing-masing pihak bahwa kita sangat menghargai kehadiran mereka dalam kehidupan kita. Lebih jauh lagi, kita dapat mengkonfirmasikan rasa cinta dengan mengatakan bahwa kita menyukai personalitas tertentu yang mereka miliki atau mengingat kejadian-kejadian tertentu yang istimewa bagi teman kita.
Rekan professional yang saya hormati, menjadi teman yang baik merupakan suatu cara untuk melayani Tuhan. Dia menciptakan kita untuk masuk dalam hubungan-hubungan dengan orang lain, jadi kita harus memberikan yang terbaik untuk setiap persahabatan yang diberikan Tuhan dalam kehidupan kita sehingga Amsal 17:17 dapat menjadi nyata dalam kehidupan orang percaya bahwa “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran”.