Tersisih Oleh Agama, Dapat Anugerah Perdana

 Pdt. Bigman Sirait

Follow Twitter @bigmansirait

Gembala adalah pekerja kasar yang jerih lelahnya acap tidak dilirik orang.  Sejak lama gembala dinilai sebagai profesi yang tidak bergengsi. Lebih parah lagi, gembala juga kerap dipandang sebagai bagian dari golongan pendosa oleh kelompok penikmat Taurat. Sebenarnya bukan tanpa alasan Ahli Taurat menyematkan label pendosa kepada para gembala. Tanpa sedikitpun hendak mengesampingkan banyak gembala yang baik, jujur dan setia kepada majikan/tuannya, realitanya tidak sedikit gembala yang justru bertindak sebaliknya: Tidak jujur.
Kepada mereka dipercaya menggembalakan seratus ekor domba, tapi yang pulang ke kandang kurang dari seratus.  Lalu, kepada tuannya, sang gembala mengaku jika domba yang hilang dimangsa srigala. Padahal, fakta sebenarnya domba itu mereka jual atau untuk dimakan sendiri.  Tak heran jika kemudian Ahli Taurat mendiskualifikasi gembala dari agama dengan label pendosanya. Namun, yang sebenarnya patut disayangkan, label negatif itu pun dipukulratakan kepada semua gembala. Sehingga para gembala, entah jujur atau jahat, semua dipandang miring, didiskriminasi dari komunitas sosial dan komunitas iman. Hampir dapat dipastikan, siapapun yang menjadi gembala, maka kepahitan, kepedihan, ketersingkiran dan keterasingan akan menjadi bagian hidup mereka. Gembala dilihat sebagai makhluk yang tiada nilai, tak berarti apa-apa bagi agama pun komunitas masyarakat di sekitarnya.
Padahal, mereka hanyalah orang-orang yang lugu, sederhana, awam. Gaya bicaranya memang sering spontan, apa adanya. Berbeda sama sekali dengan banyak orang pintar, pejabat, pemimpin, politikus, yang berbicara bukan lagi dengan suara hati, tapi kepalsuan. Tapi siapa nyana, justru kepada orang yang kepadanya disematkan label negatif itu, Allah pertama kali menyatakan berita suka-cita. Hampir sulit dibayangkan, orang yang dipandang tidak layak mendapatkan suka-cita, kegembiraan. Orang yang dianggap perlu disingkirkan, kepadanya Allah justru bermurah hati.  Tak pelak, ketika berita Natal sampai ke telinga mereka, menghampiri mereka, maka respon pertama adalah luapan sukacita luar biasa.
Bukankah seharusnya yang mendengar warta sukacita perdana itu adalah orang yang punya spiritualitas hebat dan iman yang tinggi, seperti ahli taurat misalnya.  Tapi mengapa justru kepada orang-orang yang dianggap pendosa itu Allah justru mengampiri.  Itulah penghargaan luarbiasa di Natal perdana. Mendapatkan pernghargaan, mendapatkan anugerah dalam kehinaan. Bagaimana tidak disebut penghargaan dan anugerah? Bukankah Ahli Taurat, yang katanya “representatif Agama” itu sudah memberi stempel pendosa kepada mereka?  Masakan orang berdosa layak mendapat warta sebegitu mulianya?
Tetapi Allah, Bapa Surgawi  teramat berbeda dengan ahli taurat.  Dia yang nun jauh di sana, yang transenden itu rela turun ke bumi menemui mereka, memberi kehormatan luar biasa sebagai tamu perdana untuk mengunjungi Sang Natal sejati.  Berkunjung di tempat di mana bayi kudus itu datang, untuk memberi keselamatan dan pengharapan bagi umat manusia. Bukankah ini anugerah luar biasa?
Dari tahun ke tahun orang merayakan hadirnya Yesus Kristus, juru selamat umat manusia ke dunia.  Dialah manusia natal itu. Semua orang tampak bersukacita menyambutnya. Tapi di sisi berbeda masih saja ada orang yang bermuram durja.  Mereka yang tersisih gara-gara label negatif yang disematkan orang kepadanya. Ya, diskriminasi ahli taurat kepada para gembala seolah terulang kembali.
Di era kekiniaan pun, entah sadar atau tidak, banyak orang mengulang kesalahan dan kegagalan ahli Taurat. Terlampau mudah orang menjatuhkan vonis: memukul rata semua orang, mengutuk semua orang, sementara diri enggan menilik atau memeriksa ke dalam. Ironisnya, justru pemimpin agama, pemimpin umat yang acap berlaku demikian.  Inilah gambaran penguasa agama yang memang bisa tampil mengerikan. Lukisan orang yang tanpa sadar telah mengkudeta Tuhan dan jabatannya, lantas menjadikan diri sebagai Tuhan. Maka benarlah lelucon yang berbunyi: “Jika Anda tidak bisa berkuasa layaknya seorang Presiden, maka berkuasalah sebagai pemimpin agama. Sebab pemimpin organisasi suci itu dapat sesuka hati memuaskan diri dengan ucapan semaunya, mengatasnamakan Allah, padahal palsu belaka.”
Sungguh! Teramat berbahagia gembala yang dicap berdosa, daripada ahli Taurat,  yang selalu berkata-kata indah, suci, namun perilakunya menyimpang dari tuntutan surga. Rasa diri hebat, sehingga berhak menghakimi orang dalam kuasa agama yang dimiliki.  Bukan mustahil orang seperti ini akan mengarah kepada jalan akhir, neraka dan beroleh kebinasaan.
Agama menyingkirkan gembala, menempatkan mereka pada status terendah, terbawah. Bukan saja tidak terpandang, tetapi juga terbuang. Penuh lumuran dosa, katanya. Gembala disisihkan Ahli Taurat, tetapi Tuhan justru mengangkat martabat mereka dengan penghormatan yang luar biasa. Di malam natal, mereka memperoleh anugerah dalam ketidaklayakan.  Dari hal seperti ini orang dapat melihat, betapa Natal sejati menyentuh lapisan yang tak terbayangkan.  Natal menyentuh kehinaan, jauh dari struktur logika pikir manusia tentang nilai dan kepatutan. Natal menyentuh  kesendirian. Menyentuh keterpurukan dan keberdosaan. Menjangkau apa yang tak terjangkau oleh agama.
Natal hadir bukan sebagai lukisan pesta-pora dan hingar bingar dengan sejuta tata cara dan besarnya biaya. Natal selayaknya mampir ke setiap insan, yang terpuruk, tersisih dan tersingkirkan. Sehingga makna dan anugerah Natal itu dapat dirasai.  Natal adalah cara bagaimana berbagi rasa, agar sukacita menjadi milik semua orang, pun yang terhina seperti gembala.
(disarikan dari Khotbah Populer oleh Slawi)

 

Recommended For You

About the Author: Reformata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *