Bapak Pengasuh yang baik!
Bukan rahasia lagi jika Natal yang diperingati umat Kristen sekarang ini adalah buah dari kontekstualisasi budaya. Awalnya 25 Desember, di Roma diperingati sebagai hari kelahiran dewa Matahari yang dikemudian hari diubah menjadi hari untuk memperingati kelahiran Yesus.
Banyak orang melihat pengubahan tradisi budaya kafir ke dalam gereja sebagai batu sandungan. Untuk itu, menurut saya, hal-hal yang berbau klenik dalam gereja, pengultusan pada hari-hari tertentu, simbol-simbol tertentu dalam gereja perlu dibersihkan. Sehingga ajaran gereja menjadi murni. Saya berpendapat gereja perlu melakukan demitologi terhadap hari natal, santaklaus, telur paskah, dan masih banyak lagi mitos-mitos yang berbahaya bagi kemurnian ajaran gereja.
Bagaimana pendapat Bapak dengan usulan saya tentang sikap yang harus dilakukan gereja (demitologi) mitos-mitos yang berkembang. Mengapa dalam agama Kristen, maupun lainnya selalu berkembang (kalau tidak mau dikatakan: dikembangkan) mitos-mitos tertentu, termasuk mujizat-mujizat. Apakah benar dugaan saya, hal ini dikemukakan lembaga agama untuk menjaga agama/gereja tetap eksis. Mitos-mitos, dan mujizat-mujizat yang dilakukan tokoh agama sengaja diunggah ke permukaan sebagai pencitraan positif belaka pada tokoh agama/nabinya, tanpa terkecuali Yesus. Sehingga berdampak pada psikologi umat yang memeluk agama agar semakin takjub, seolah-olah makin beriman, lalu dikondisikan untuk bergantung sepenuhnya pada agama/gereja.
Salam
Suzana
Solo
Saudari Suzana yang dikasihi Tuhan!
Menarik mengulas pernyataan dan pertanyaan kritis yang kamu ajukan. Sebaiknya kita urai dulu kasusnya, agar jelas pokok bahasannya. Kita mulai dengan mitos, yang berarti kisah-kisah yang mengandung makna mendalam bagi yang meyakininya, namun bukan fakta historis. Dalam mitos faktor subyektivitas memang sangat berperan. Nah, apakah semua hari atau peringatan agama adalah mitos? Memang ada yang mitos, namun juga historis. Jadi tidak bisa dipukul rata. Di kesempatan ini, saya akan membahas yang berkaitan dengan kekristenan.
Tentang Natal, adalah betul bahwa 25 Desember sejatinya hari raya dewa matahari, (pernah saya ulas di Reformata). Kaisar Roma, Konstantin Agung, yang mengalami pertobatan dari seorang kafir menjadi Kristen mengadakan pembaharuan di kekaisaran. Hari raya dewa matahari yang dianggap kafir (mitos), dihapus, dan diganti menjadi Natal (natalis = perayaan), hari lahir Yesus Kristus. Apakah Yesus Kristus lahir 25 Desember? Tidak ada yang mengetahui pasti! Tapi apakah Yesus Kristus pernah lahir ke dunia? Itu sangat pasti! Jadi kisah kelahiran Yesus Kristus bukan mitos, melainkan historis. Soal tanggal 25 Desember tidak ada pemitosan, itu hanyalah kesepakatan gereja memperingati hari kelahiran Yesus Kristus yang historis. Jadi jelas sangat bebeda dengan hari raya dewa matahari. 25 Desember adalah tanggal yang tetap 25 Desember, sekalipun ada atau tidak ada kisah dewa matahari, atau Natal. 25 Desember itu historis. Bahwa ada orang yang memitoskannya, adalah bersifat pribadi atau kelompok tertentu, dan itu bukan keyakinan gereja yang Am. Alkitab jelas melarang umat memitoskan hari raya apapun (Kolose 2:16). Apakah perayaan Natal bisa jadi batu sandungan? Ya, jika yang diutamakan adalah harinya. Dan, tentu saja tidak akan menjadi batu sandungan jika yang diutamakan adalah pemaknaan kelahiran Yesus Kristus bagi manusia. Jadi sangat tergantung pada sikap umat.
Sementara soal yang lainnya, seperti telur paskah, itu hanyalah simbol dari kehidupan, sejalan dengan semangat paskah. Ini usaha menolong anak sekolah minggu memahaminya. Dan, jelas sekali ini bukan konsumsi orang dewasa. Jadi bukan pemitosan telur paskah. Begitu juga dengan santaklaus, yang sangat popular. Ini tak lebih dari sebuah kisah yang dibangun untuk keperluan lokal, dan kemudian dikembangkan, dijadikan ikon bisnis di masa Natal. Kisah-kisah yang dibangun di sekitar telur maupun santaklaus, bisa saja berbau mitos, tapi keduanya tidak mendapat panggung dalam Paskah dan Natal yang sesungguhnya. Telur paskah, santaklaus, boleh ada, juga boleh tidak. Tapi Natal dan Paskah tetap ada, dan dijalankan sesuai pesan Alkitab. Bahwa ada gereja tertentu yang membuatnya menjadi syarat utama, itu adalah ekses, dan bukan ajaran gereja. Yang namanya ekses, pasti tidak terhindarkan, tapi kita jangan ikut terjebak di sana.
Soal mujizat, faktanya Yesus Kristus, para rasul, melakukannya, dan itu adalah karunia Allah. Namun memang tak dapat disangkal, ada tokoh atau pendeta tertentu yang mengunggahnya untuk pencitraan dan memberi kesan hebat. Ini tak sedikit. Tapi cukup mengingat pesan Alkitab: Pohon dikenal dari buahnya. Jika Yesus Kristus, para rasul, melayani dan membuat banyak mujizat, ternyata mereka tak pernah memperkaya diri. Nah, lihat saja, siapa yang mengkultuskan dirinya, dan dikultuskan jemaatnya, bagaimana kehidupannya sehari-hari? Siapa saja pelayan yang menumpuk kekayaan bagi dirinya. Mudahkan? Bau busuk tak mungkin disembunyikan (Matius 7:16-23). Namun bahwa ada orang yang buta terhadap fakta, itu juga sudah dikatakan Alkitab, mereka disesatkan (Matius 24:11). Semua bergerak bagai pebisnis yang mencitrakan diri, dan bisa melakukan apa saja. Memanfaatkan media bukan untuk memuliakan Tuhan, melainkan membesarkan diri sendiri.
Demitologi, pertama kali dikembangkan oleh Rudolf Karl Bultmann seorang teolog Jerman. Dia menganggap berita seputar Yesus Kristus banyak mitosnya. Misal, soal kebangkitan. Bagi Bultmann Yesus Kristus tak sungguh-sungguh bangkit, itu hanya keyakinan para murid. Jadi kebangkitan Yesus Kristus tidak historis, itu subyektivitas para murid. Namun, fakta kebangkitan Yesus Kristus terlalu banyak untuk diragukan. Tapi dapat dipahami pemahaman Bultmann dalam berdialog dengan jamannya, era rasionalisme. Dia harus merumuskan fakta historis, dan demitologi adalah usahanya. Sejarah terus bergulir, kebenaran Alkitab tak terbantah. Tapi jangan lupa tugas yang kita emban untuk menghadirkan penafsiran yang elegan, tak asal yakin, tak asal mujizat, tak asal berkat. Gereja harus mampu berdialog dengan jamannya, dan terus-menerus memperbaharui diri dengan kebenaran Alkitab.
Suzana yang dikasihi Tuhan!
Saya setuju kita bersikap kritis, mengurai dengan teliti, dan membersihkan dengan hati-hati, agar tak membuang yang tidak salah. Betapa pentingnya membangun sikap kritis dengan dialog terbuka, dan tidak perlu menutupinya. Namun bahwa banyak umat berjalan terseok-seok, bahkan tersandung, dan menyandung, itu adalah fakta yang harus dibenahi. Kekristenan bukan keyakinan yang diobral, melainkan kasih Allah yang memilih, menghampiri, umat yang dikasihi-Nya. Semoga gereja tahu menempatkan diri dan tidak melakukan “sale Injil”.
Selamat beragama tanpa promosi diri.