Doa Yang Bukan-bukan

Pdt. Bigman Sirait

Follow Twitter @bigmansirait

Doa bukanlah istilah asing di telinga orang Kristen.  Setiap orang percaya pastilah bisa berdoa.  Meskipun kadang di temui ada orang yang mau atau malu, tapi tetap saja bahwa doa adalah bagian dari dalam diri.  Setidaknya itu adalah ritual yang pernah dilakoni.  Artinya doa aadalah sesuatu yang jamak dan menjadi bagian dalam kehidupan kekristenan, bagian dalam hidup orang percaya.  Persoalanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah orang yang sering berucap doa, orang yang melakukan ritual berdoa sudah mengerti benar apa itu makna doa sesungguhnya?
Doa bukan sekedar soal tindakan aktif melipat tangan, menutup mata dan lalu berkata-kata.  Doa punya kesejatian arti di dalamnya.  Bukan sekadar ungkapan-ungkapan atau prnyataan-pernyataan tidak jelas yang ada di benak dan hati seseorang. Apa itu doa yang sebenar-benarnya?  Apakah doa itu adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan.  Ada “BUKAN-BUKAN” yang terdapat dalam doa yang sebenarnya. Bukan pertama, bahwa doa “BUKAN”lah sebuah kewajiban. Artinya, doa itu hukumnya tidak wajib. Doa bukan suatu keharusan. Ini mungkin berbeda dari keyakinan kita selama ini.  Di benak kita, yang namanya orang Kristen harus, kudu dan wajib berdoa. Kalau doa itu sebuah kewajiban, maka dalam kondisi apapun, baik suka atau tidak, maka orang dituntut untuk melakukannya. Pertanyaannya yang kemudian muncul adalah, kalau kita melakukan sesuatu yang hati kita tidak nyaman melakukan, tidak disukai oleh kita, bukankan ini adalah sebuah kemunafikan. Pertanyaan berikutnya, jika berdoa hanya karena kewajiban, apakah praktik melipat tangan, menutup mata, dan lalu berkata-kata, apakah berkenan bagi Tuhan? Apakah Dia pasti akan menerima?  Tidak! Tuhan berkata, “Janganlah kamu berdoa seperti orang munafik, yang mengucapkan doanya, berdiri di mana-mana, tetapi hatinya tidak tahu ke mana”. Dengan kata lain, orang-orang seperti di atas melakukan doa hanya sebagai kewajiban ritual kekristenan. Bukan itu doa yang dimaui Tuhan. Jika berdoa adalah suatu keharusan yang wajib dilakukan, maka didalamnya terdapat unsur paksaan. Jika berdoa hanya dilakukan karena suatu kewajiban, maka di sana justru ada peluang orang berdosa, karena melakukan dengan hati terpaksa, bukan dengan hati rela.
Doa bagi orang percaya bukanlah suatu kewajiban, tapi lebih dari itu, doa adalah sebuah kebutuhan yang hakiki ada pada diri setiap manusia. Menariknya, kebutuhan itu bukan pada dirinya manusia merasa butuh, tapi potensi kerinduan untuk berdoa itu sudah diberikan oleh Allah.  Karena itu orang percaya selalu punya kehausan, kerinduan pada persekutuan dengan Sang Ilahi. Analoginya adalah sama seperti orang butuh makan.  Maka tidak perlu orang diajari untuk tentang kebutuhan untuk itu. Bayi yang belum bisa berbicara pun akan bagaimana cara meminta makan.  Apalagi kalau bukan dengan menangis. Tangisan akan muncul dengan sendiri (otomatis) ketika bayi merasa lapar. Semakin dia dewasa, dia tidak perlu menangis lagi. Kalau lapar, dia cari makan sendiri. Makan adalah suatu kebutuhan yang tidak perlu diajarkan. Makan adalah suatu kebutuhan yang dilakukan dengan kerelaan, karena memang kita butuh itu. Beda halnya jika makanan adalah suatu kewajiban.  Maka bukan saja orang tidak enjoy, tidak tenang, karena terpaksa, tapi maut juga menunggu dia karena tidak ada pemunuhan pada kebutuhannya.
Hal ini berarti doa adalah sebuah kebutuhan yang tidak bisa tidak harus dipenuhi oleh orang percaya. Doa harus ada. Tanpa doa orang tidak akan mungkin hidup. Tanpa doa orang akan mati. Suatu kebutuhan tentu tidak akan pernah dilakukan dengan terpaksa. Kebutuhan dilakukan dengan sikap enjoy, menyenangkan. Bahkan kebutuhan itu akan kita cari sendiri. Kalau kita sadar doa adalah suatu kebutuhan, pasti kita tidak akan pernah berhenti berdoa. Kita akan sangat suka berdoa dan melakukannya dengan penuh sukacita, bukan karena terpaksa.
Doa “BUKAN” suatu tradisi, yang dilakukan karena memang sudah begitu dari dulu. Misalnya doa pada waktu makan bersama keluarga di rumah. Kenapa kita berdoa sebelum makan? Untuk bersyukur. Tapi, jika kita makan permen atau minum teh botol di kantin misalnya, apakah kita berdoa? Kalau memang berdoa adalah mengucap syukur karena ada makanan, apakah permen bukan makanan? Jawabannya bisa menjadi sangat ironis dan lucu. Sebenarnya, kalau mau jujur banyak di antara kita berdoa waktu makan karena tradisi, bukan suatu kesadaran. Tetapi kalau betul-betul mau mengucap syukur, apa pun yang kita makan atau minum, harus lebih dahulu mengucapkan syukur. Jika sedang makan di restoran atau pinggir jalan, mungkin kita tidak perlu melipat tangan, tapi paling tidak bisa mengatakan, “Terimakasih Tuhan untuk permen ini.”
Doa “BUKAN” perilaku kristiani, sebab semua penganut agama melakukannya, sebagai kewajiban. Jika kita sebagai orang Kristen berdoa hanya karena kewajiban, lalu apa bedanya kita dengan mereka? Jadi, doa bukanlah perilaku kristiani yang harus kita lakukan karena kita Kristen. Tetapi doa adalah sebuah kehidupan. Doa itu merupakan warna dominan dari perjalanan hidup orang Kristen. Mengapa? Karena yang pertama tadi, doa adalah sebuah kebutuhan, yang harus dipenuhi.
Mungkin, saat melipat tangan, tutup mata, dan berkata-kata, kita menganggap kalau kita sedang berdoa, namun sebenarnya tidak, sebab Tuhan tidak mendengar suara hati, kecuali suara mulut kita. Jika sudah demikian, kita akhirnya terjebak pada konsep yang salah. Ingat, doa bukan sekadar susunan kata yang indah, panjang dan puitis.  Kalau suara  mulut berbeda dengan suara hati, kita tidak sedang berdoa, tapi sedang berbasa-basi, dan mencoba menipu Tuhan dengan kalimat-kalimat indah. Apakah Tuhan senang? Tidak. Kita harus selalu berhati-hati karena Tuhan tahu isi hati kita. Doa “BUKAN” mantera yang jika diucapkan berkali-kali akan terwujud. Banyak orang Kristen membuat doa seperti mantera, menekankan apa yang dia mau, bukan yang Tuhan mau. Jika doa menjadi semacam mantera, si pendoa menjadi seperti dukun yang membaca-baca mantera. Doa bukan kata-kata magis. Doa adalah ungkapan hati yang murni dari seorang anak Tuhan yang menyuarakan suara hati lewat mulut, yang tidak berbeda antara apa yang diucapkan dengan yang terkandung di dalam hatinya.
(disarikan dari Khotbah Populer oleh Slawi)

Recommended For You

About the Author: Reformata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *