
Reformata.com – Banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat beberapa hari lalu menyisakan luka mendalam. Rumah hanyut, jembatan putus, korban jiwa berjatuhan, dan masyarakat harus memulai kembali hidup dari nol. Namun satu pemandangan yang paling mencolok adalah hamparan kayu gelondongan yang memenuhi sungai dan permukiman. Pemandangan ini menyentak hati kita sekaligus memantik pertanyaan besar, ”Apa yang sebenarnya terjadi dengan hutan kita?”
Banyak pihak, terutama lembaga independen, menyatakan bahwa bencana kali ini bukan sekadar akibat curah hujan tinggi. Hujan memang deras, tapi yang lebih berbahaya adalah deforestasi yang semakin ugal-ugalan. Hutan yang seharusnya menjadi spons alami untuk menyerap air kini tinggal sedikit. Pohon yang dulu menahan tanah kini berganti lahan gundul. Akibatnya, air tidak lagi tertahan di hulu. Ia turun dengan kekuatan menghancurkan, membawa serta lumpur dan kayu dalam jumlah yang mencengangkan.
Namun di tengah kritik tersebut, ada sebagian oknum yang berkilah bahwa kayu-kayu itu hanyalah pohon tumbang karena banjir. Padahal, akal sehat kita tahu: banjir tidak mungkin menggulingkan kayu bulat berdiameter besar dalam jumlah begitu banyak, kecuali memang hutan sudah ditebang jauh sebelumnya. Kita tidak bisa menutup mata. Ada yang salah dalam cara kita memperlakukan alam.
Pertobatan Ekologis
Sebagai umat Tuhan, kita tidak boleh hanya mengeluh dan menyalahkan. Kita dipanggil untuk bertobat secara ekologis. Kita harus sadar bahwa alam bukan milik pribadi yang bisa kita eksploitasi sesuka hati. Hutan bukanlah warisan yang bisa kita bagi-bagi demi kepentingan ekonomi sesaat dan sesat. Hutan adalah pinjaman dari masa depan. Dari anak cucu kita. Dari generasi yang akan hidup setelah kita. Kita wajib mengembalikannya dalam keadaan yang baik, bahkan lebih baik. Atau setidaknya tidak lebih buruk dari yang kita terima.
Pertobatan ekologis berarti mengubah cara kita berpikir dari mengejar keuntungan instan menjadi menjaga keberlanjutan, dari mental “pakai lalu buang” menjadi sikap “rawat dan pulihkan”, dari pembenaran diri menjadi tanggung jawab di hadapan Tuhan Sang Pencipta.
Bencana ini adalah peringatan keras. Jika kita terus mengorbankan hutan demi uang cepat, banjir yang lebih besar akan datang. Namun jika kita mau berubah, merawat hutan, mendukung reboisasi, menolak eksploitasi liar, dan mengawasi kebijakan pembangunan — maka masa depan masih bisa diselamatkan. Pemerintah harus mengevaluasi pemberian izin pertambangan maupun perkebunan monokultur yang merusak alam. Lembaga-lembaga independen, termasuk gereja, hendaknya terus menyuarakan pertobatan ekologis sebagai bagian dari mandat budaya untuk menjaga kelestarian alam.
Kita menjaga hutan bukan demi alam semata, tapi demi kehidupan. Demi tanggung jawab kepada Tuhan. Demi generasi masa depan. Kiranya SUP ini menjadi pembuka mata hati, menstimulasi akal budi, juga pengetuk nurani. Bantu para korban dan pengungsi menurut kemampuan diri dan selamatkan hutan kini dan nanti.