Mendidik dengan Tenang di Dunia yang Gelisah

Refleksi Natal dari Ruang Kelas yang Terendam Banjir

Di penghujung tahun ini, kegelisahan dunia pendidikan tidak hanya hadir dalam angka, target, dan administrasi. Di beberapa wilayah Sumatera, kegelisahan itu menjelma nyata dalam air bah yang meluap, rumah-rumah yang hilang, sekolah yang terendam lumpur, dan jalan-jalan yang terputus. Banyak anak datang ke pengungsian bukan hanya tanpa buku dan seragam, tetapi juga tanpa ruang aman untuk belajar. Guru-guru pun kehilangan bukan hanya ruang kelas, melainkan rumah dan anggota keluarga.

Dalam situasi seperti ini, kata pendidikan mudah terdengar terlalu abstrak dan jauh dari kenyataan. Namun justru di tengah puing dan lumpur itulah makna pendidikan diuji: bukan sebagai sistem, melainkan sebagai kehadiran yang meneguhkan kehidupan.

Kita hidup dalam dunia yang gelisah. Guru letih mengejar administrasi yang tak kunjung rampung. Orang tua panik melihat anaknya tertinggal pelajaran. Anak-anak hidup dalam tekanan kompetisi, dikejar target, dan dikelilingi notifikasi yang tak memberi ruang bernapas. Kini, bagi sebagian anak, tekanan itu berlipat: kehilangan rumah, sekolah, bahkan orang-orang terkasih. Dalam budaya tergesa yang kita rawat selama ini, kita sering lupa bahwa ada saat-saat ketika yang paling dibutuhkan bukan percepatan, melainkan ketenangan.

Natal datang bukan dalam gemuruh, melainkan dalam keheningan yang hampir tak terdengar. Tidak ada sorotan panggung, tidak ada perayaan megah. Yang ada hanyalah sebuah ruang sederhana dan Allah yang memilih hadir dalam kerapuhan manusia. Kisah ini terasa sangat dekat dengan anak-anak yang kini belajar di tenda-tenda darurat, di balai desa, atau di ruang pengungsian. Natal mengingatkan kita bahwa kehidupan tidak menunggu kondisi ideal untuk bertumbuh.

Guru sering dituntut untuk bergerak cepat: menuntaskan silabus, mempersiapkan evaluasi, memastikan ketertinggalan belajar bisa segera terkejar. Namun di wilayah bencana, pertanyaan yang lebih mendasar muncul: apa arti belajar ketika rasa aman belum pulih? Ketika guru sendiri masih mencari tempat bernaung, kehadiran yang tenang sering kali jauh lebih mendidik daripada materi pelajaran apa pun. Anak-anak yang kehilangan tidak membutuhkan tuntutan akademik yang dipaksakan seolah keadaan masih normal; mereka membutuhkan wajah dewasa yang stabil, suara yang lembut, dan ritme yang memberi harapan.

Natal mengingatkan bahwa Allah tidak bekerja dengan ritme panik manusia. Ia hadir perlahan, setia, dan menumbuhkan kehidupan dari kerapuhan. Ketenangan adalah bentuk keberanian moral. Seorang pendidik yang tenang di tengah bencana memberi pesan yang lebih kuat daripada seribu kata: hidup memang rapuh, tetapi tidak kehilangan makna.

Di pengungsian, ketenangan seorang guru menjadi oasis yang sesungguhnya. Banyak anak menyimpan kecemasan yang tak terucap: takut hujan berikutnya, takut kehilangan lagi, takut masa depan yang terasa kabur. Mereka tidak membutuhkan guru yang cerewet atau tuntutan belajar yang kaku. Mereka membutuhkan figur yang berkata melalui kehadirannya, “Kamu aman di sini. Kita akan belajar pelan-pelan.” Inilah seni mengajar yang sering terlupakan: menciptakan ruang aman sebelum mentransfer pengetahuan dan mengembangkan kecakapan.

Orang tua pun dipanggil pada ketenangan yang sama. Dalam bencana, kegelisahan orang dewasa mudah menjalar dan menjadi kecemasan anak-anak.

Dalam terang Natal, kita diajak menahan diri untuk tidak menjadikan anak sebagai proyek pemulihan ambisi orang dewasa. Anak bukan statistik ketertinggalan belajar; mereka adalah kehidupan yang sedang dipulihkan.

Kelas yang tenang — bahkan jika kelas itu hanya tikar di tenda pengungsian — bukan berarti menyerah. Justru di sanalah daya hidup manusia dirawat. Anak yang merasa aman berani bangkit kembali. Guru yang tenang dan bijak mampu menuntun dengan empati. Dan di dalam ketenangan itulah pendidikan menemukan wajahnya yang paling manusiawi.

Natal di tengah banjir mengingatkan kita: dunia boleh runtuh, tetapi panggilan mendidik tidak kehilangan jiwanya. Pendidikan sejatinya adalah pekerjaan merawat kehidupan—dan kehidupan hanya dapat dirawat ketika hati kita cukup hening untuk mendengar, cukup sabar untuk menunggu, dan cukup tenang untuk mengajar dan membelajarkan.

YMP
Malang, 16 Desember 2025

Dr. Drs. Yohanes Moeljadi Pranata, M.Pd
Praktisi dan Dosen Keguruan/Kependidikan
Pengembang Kurikulum, Pembelajaran, Asesmen, dan Bahan Ajar

Recommended For You

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *