TKA Matematika Jeblok: Ketika Kebijakan Gagal Belajar

Rendahnya nilai Tes Kemampuan Akademik (TKA), terutama dalam matematika, kembali membuka percakapan lama tentang arah pendidikan kita. Reaksinya langsung menyasar hal-hal yang paling dekat: guru, buku ajar, dan pembelajaran di kelas. Namun hasil asesmen berskala nasional tidak pernah lahir dari sebab tunggal. Ia merupakan simpul dari berbagai keputusan struktural, kesiapan sistem, dan kualitas lingkungan belajar. Karena itu, pertanyaan yang lebih jujur untuk diajukan adalah: apakah kebijakan TKA itu sendiri ikut berperan dalam rendahnya capaian?

Pertanyaannya sederhana, tetapi jawabannya membawa kita pada kenyataan yang tak bisa diabaikan: ya, kebijakan TKA turut menyumbang jebloknya nilai tersebut.

  1. Perubahan sistem tanpa masa transisi yang memadai

Setiap pergantian format asesmen membutuhkan waktu bagi guru dan siswa untuk beradaptasi. OECD menunjukkan bahwa tahun pertama pelaksanaan tes baru hampir selalu disertai penurunan performa, bukan karena siswa kurang cerdas, tetapi karena sistem belum mengenal pola soalnya.

Di Indonesia, TKA hadir seperti tamu yang mengetuk pintu terlalu cepat. Guru belum sepenuhnya memahami jenis pertanyaan, siswa belum terbiasa dengan cara bernalar yang diminta, tetapi ujian sudah dimulai. Dalam kondisi seperti itu, yang diukur bukan kemampuan, melainkan ketidaksiapan.

  1. Ketidaksinkronan antara kurikulum dan asesmen

Kita berbicara banyak tentang kompetensi: kemampuan berpikir kritis, bernalar, dan memecahkan masalah. Namun asesmen kita sering bergerak dengan logika berbeda. UNESCO berulang kali mengingatkan bahwa ketidaksesuaian kurikulum dan asesmen hanya akan menghasilkan data yang menyesatkan.

Jika sekolah mengarahkan siswa pada pemahaman konsep, tetapi TKA menuntut kecermatan hitung dengan format yang belum dipahami, hasilnya sudah dapat ditebak. Siswa belajar dalam satu arah, tetapi diuji pada arah lain. Kegagalan ini bukan terletak pada siswa semata, tetapi juga pada sistem yang membingungkan mereka.

  1. Ketimpangan struktural diabaikan dalam desain tes

Indonesia memiliki jurang kualitas pendidikan yang lebar. Ada sekolah dengan fasilitas lengkap dan guru yang stabil. Namun banyak juga yang bergulat dengan kekurangan guru, perangkat pembelajaran yang terbatas, bahkan akses internet yang rapuh.

World Bank menegaskan bahwa kondisi sosial-ekonomi merupakan faktor penentu capaian belajar yang sangat kuat. Ketika TKA diberlakukan seragam tanpa mempertimbangkan ketimpangan ini, maka yang muncul bukan hanya nilai rendah, tetapi juga ketidakadilan struktural yang diperlihatkan secara terang-terangan.

Dengan demikian, sebagian nilai jeblok itu bukanlah kegagalan siswa, tetapi kegagalan sistem menyediakan arena yang setara.

  1. Tekanan psikologis yang mempersempit performa siswa

Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat kecemasan matematika yang tinggi. Ketika TKA dipersepsikan sebagai tes penentu, kecemasan itu meningkat. Banyak siswa memahami konsep, tetapi tidak terbiasa dengan format pertanyaan yang baru. Dalam situasi tegang, kemampuan terbaik tidak muncul.

Dalam konteks ini, TKA lebih banyak mengukur kegelisahan daripada kecerdasan.

  1. Pemulihan belajar pascapandemi yang belum merata

UNESCO dan UNICEF mencatat bahwa pemulihan belajar di Indonesia berjalan lambat dan tidak merata. Ada sekolah yang cepat bangkit, ada yang tertinggal jauh. Ketika kesenjangan ini belum tertutup, TKA datang dengan tuntutan tinggi. Tidak mengherankan jika hasilnya rendah. Yang mengherankan justru bila hasilnya tinggi. 

  1. Guru dan buku ajar hanya sebagian dari cerita

Sering kali perdebatan publik kembali pada dua target favorit: guru dan bahan ajar. Padahal penelitian pendidikan modern, termasuk studi besar John Hattie, menunjukkan bahwa hasil belajar dipengaruhi banyak faktor: kepemimpinan sekolah, kondisi rumah tangga, kebijakan pemerintah, dan stabilitas lingkungan belajar.

Dengan kata lain, menyalahkan guru saja bukan hanya tidak adil, tetapi juga tidak cermat.

Penutup

Rendahnya nilai TKA bukan hanya soal kemampuan siswa. Ini adalah cermin dari kebijakan yang belum matang, sistem yang belum merata, dan perubahan yang datang terlalu cepat. TKA memang dimaksudkan untuk mengukur kemampuan akademik. Namun dalam kenyataan kita hari ini, TKA juga mengungkap ketidakdewasaan sistem yang menyelenggarakannya.

Dan seperti anak-anak digital yang bisa membuat konten tetapi belum belajar menjaga hati, pendidikan kita pun mampu membuat kebijakan, tetapi belum sungguh menyiapkan landasan yang kuat untuk menjalankannya.

YMP

Malang, 29 November 2025

Sumber Data & Referensi
Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik pendidikan Indonesia. BPS.
Darling-Hammond, L. (2021). Teaching and learning for deeper learning. Harvard Education Press.
Dowker, A., Sarkar, A., & Looi, C. Y. (2016). Mathematics anxiety: What have we learned in 60 years? Frontiers in Psychology, 7, 508. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2016.00508
Hattie, J. (2023). Visible learning: The sequel. Routledge.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2024). Profil pendidikan nasional 2024. Pusat Asesmen Pendidikan.
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia. (2025). Laporan pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik (TKA). Kemendikdasmen.
Organisation for Economic Co-operation and Development. (2024). PISA 2022 results (volume I–III). OECD Publishing.
UNESCO. (2023). Global education monitoring report 2023: Technology in education. UNESCO Publishing.
UNICEF. (2022). Learning loss in East Asia and the Pacific: Evidence and recommendations. UNICEF East Asia & Pacific Regional Office.
World Bank. (2023). Indonesia economic prospects: Learning recovery and growth. World Bank Group.
World Bank. (2024). Human capital review: Indonesia. World Bank Group.

Dr. Drs. Yohanes Moeljadi Pranata, M.Pd
Praktisi dan Dosen Keguruan/Kependidikan
Pengembang Kurikulum, Pembelajaran, Asesmen, dan Bahan Ajar

 

Recommended For You

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *