Digital Native Kita: Di Tempa Atau Di Telan Dunia Digital?

Seorang anak SD kelas bawah membuat video TikTok sendiri menari, merekam, mengedit, lalu mengunggahnya. Dalam hitungan jam, tayangannya sudah ditonton puluhan ribu kali. Bagi banyak orang dewasa, itu tampak lucu dan menggemaskan. Namun di balik kelucuan itu, tersimpan pertanyaan yang lebih serius: apakah dunia digital sedang menempa anak-anak kita menjadi kreatif dan percaya diri, atau justru perlahan menelan mereka tanpa kita sadari? Anak-anak hari ini tidak lagi lahir hanya dengan pena di tangan, tetapi dengan gadget di genggaman — dan dari situlah perjalanan mereka di ruang digital dimulai.

Dunia Baru, Tantangan Baru
Teknologi membawa peluang besar bagi anak-anak untuk belajar dari mana saja, bereksperimen dengan ide, dan menyalurkan kreativitas. Namun kedewasaan digital tidak selalu berjalan seiring dengan kedewasaan moral, emosional, dan spiritual. Banyak anak piawai membuat konten, tetapi tidak paham cara menjaga hati; mereka cepat viral, tetapi belum memahami nilai dari perhatian yang mereka kejar.

Berbagai penelitian menunjukkan dampak penggunaan gawai yang berlebihan: penurunan rentang konsentrasi, melemahnya empati, meningkatnya kecemasan, dan berkurangnya waktu berkualitas bersama keluarga. Ketika dunia digital begitu bising, keheningan batin perlahan menghilang. Di Indonesia, tantangan ini lebih berat karena konten media sosial sangat “liar”: agresif, vulgar, dan sering menormalisasi perilaku toksik. Banyak anak terpapar sebelum mereka siap secara mental.

Di beberapa negara seperti Australia, Belanda, dan Prancis, media sosial bagi anak di bawah usia tertentu dibatasi secara legal. Indonesia belum memiliki kebijakan seketat itu. Karena itu, peran keluarga, sekolah, dan gereja menjadi semakin penting — bahkan mendesak.

Peran Orang Tua dan Sekolah
Pendidikan Kristen di era digital tidak cukup hanya mengajarkan literasi teknologi. Ia harus diperluas menjadi literasi moral dan spiritual: kemampuan membedakan baik dan buruk, sehat dan merusak, membangun atau menjatuhkan. Anak perlu diajar untuk tidak bertanya, “Berapa likes-ku hari ini?” tetapi “Apakah ini menyenangkan hati Tuhan?”

Orang tua bukan sekadar “polisi gadget” yang mengatur jam layar, tetapi mentor digital yang mendampingi anak menilai motivasi di balik perilakunya: mengapa ingin unggah konten? apa tujuan mencari perhatian? kepada siapa hatimu terpaut? Dialog hangat jauh lebih efektif daripada larangan semata.

Sekolah Kristen pun perlu mengambil peran strategis. Guru bukan hanya pengajar materi, melainkan pembentuk etika digital, pembimbing karakter, dan teladan dalam menggunakan teknologi secara bertanggung jawab. Pembelajaran harus memberi ruang refleksi, empati, dan keberanian bertanya. Anak perlu belajar bahwa integritas, disiplin rohani, dan kasih lebih utama daripada popularitas digital.

Dalam ekosistem pendidikan seperti ini, teknologi menjadi alat, bukan tuan; media digital menjadi ruang belajar, bukan ruang kehilangan.

Gereja dan Ruang Digital
Gereja tidak boleh ketinggalan. Ruang digital kini menjadi ladang misi baru, tempat banyak anak dan remaja mencari arah, identitas, dan pengakuan. Gereja perlu hadir bukan untuk bersaing dengan algoritma, tetapi menghadirkan kasih, kebenaran, dan keteduhan di tengah kebisingan dunia online.

Yesus berkata, “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku.” (Markus 10:14). Di era kini, jalan menuju Dia sering tertutup gemerlap layar. Tugas gereja adalah membuka jalan itu kembali — bukan dengan mematikan teknologi, tetapi ‘menyucikannya’ dengan hikmat, kebenaran, dan kasih.

Simpulan
Teknologi tidak jahat; ia netral — semuanya bergantung pada siapa yang memegangnya. Namun tanpa arahan moral dan dasar iman, media digital dapat dengan mudah menelan masa depan generasi muda. Karena itu, pendidikan Kristen dipanggil untuk menuntun digital native agar memiliki akar rohani yang kuat, sehingga ketika mereka berselancar di jagat maya yang luas, mereka tetap berpijak pada karang yang teguh: Kristus sendiri.

“Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.” (Amsal 22:6)

YMP
Malang, 15 November 2025

Sumber Data & Referensi
American Academy of Pediatrics (AAP). (2016–2023). Media and Young Minds; Children and Adolescents and Digital Media.
EU Kids Online. (2019–2022). Research on Risks and Opportunities of Digital Media for Children.
Kemendikbudristek RI. (2021–2024). Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka, Profil Pelajar Pancasila, dan Literasi Digital.
Kemendikbudristek – Balitbangristek. (2022–2024). Survey Learning Recovery & Digital Learning Ecosystem.
Kominfo RI. (2022–2024). Indonesia Digital Roadmap 2021–2024

Dr. Drs. Yohanes Moeljadi Pranata, M.Pd
Selaku ahli Kurikulum, Pembelajaran, dan Asesmen

Recommended For You

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *