dr. Marthaulina Ginting Munthe, MKM Prima di Segala Musim Kehidupan

Marthaulina Ginting, wanita berambut putih yang masih terlihat cantik dengan polesan lipstick tipis serta busana pink yang dikenanya. Senyuman manis dalam percakapan hangat sore itu, membuat seakan kami sudah lama mengenal. Inilah kesan awal bersama dokter Martha.

Di lingkungan tempat tinggalnya, Perumahan Jatimulya – Bekasi Timur, Oma sering disapa merintis pelayanan doa Anak yang selalu dilaksanakan setiap Kamis. Kegiatan ini disebut Kamis Ceria, yang dirintis oma karena ingin berdoa bagi anak-anak, dan mengajarkan anak-anak untuk mau berdoa bagi banyak orang. ”Terdengar sederhana, namun tak semudah menjalaninya”, ungkap Kepala Puskesmas tahun 1981–1983 ini. Karena menurut Oma, walau hanya sekali seminggu dan hanya sejam berkumpul, tidak mudah membawa anak-anak mau datang berdoa. Orang tua tidak mendukung, bahkan tidak melihat pertemuan ini berguna bagi anak-anak, namun Oma tetap bersemangat melaksanakannya setiap minggu sekali dirumahnya. ”Lingkungan sangat prihatin, pergaulan anak-anak sangat bebas, apalagi dilingkungan yang heterogen”, keluh mantan Utusan Pemuda gereja ke Jerman dan Belanda, tahun 1978 ini,  dalam kasih.

Bagaimana mungkin Oma yang adalah pensiunan sebagai seorang dokter begitu antusias membangun persekutuan doa? Oma mengakui bahwa sejak SD, beliau sangat senang untuk berdoa walau tak ada yang mengajari atau mengajaknya. ”Saya percaya Roh Kudus yang menuntun saya”, kisah mantan guru sekolah Minggu ini, dengan hati berkobar. Kebiasaan berdoa membentuk Oma dalam segala hal senang berdoa, baik untuk dirinya, pendidikan, keluarga, bahkan bagi banyak orang. Hal ini terus dilakoni hingga di usia sekarang, 74 tahun. Oma tetap senang berdoa dan membentuk jaringan doa.

Doa Terkabul Menjadi Dokter

Sesudah tamat SMA, Oma merantau ke Medan untuk ikut tes di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU). “Tuhan, beri satu kursi di kampus Kedokteran buat saya supaya bisa melayani-Mu”, doanya penuh harap, kala itu. Melewati persaingan yang ketat dan sangat sulit, Tuhan menjawab doanya dan diterima menjadi mahasiswa kedokteran. Lulus dari kedokteran pada tahun 1980. Setelah lulus mengabdi di Puskesmas Berastagi. Pada tanggal 14 Mei 1980, Martha menikah dengan Pdt. Benjamin Sitepu, yang adalah seorang Hamba Tuhan. ”Pertemuan saya dengan Bapak terjadi dengan cara yang unik”, urai wanita kelahiran Tarutung, 14 Juli 1951 ini, sambil tersipu.

Perjalanan karier membawanya ke Kendari, tepatnya 21 Desember 1980. Proses Tuhan tetap harus dilewati. Berada diperkampungan yang jauh dari keramaian, dengan transportasi sepeda dalam waktu yang panjang. Hidup dengan kesederhanaan bersama masyarakat yang harus dilayani, namun Oma bersama suami menjalaninya karena panggilan hati untuk melayani masyarakat yang tidak terlayani.

Sebagai dokter yang bekerja dalam Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, Martha-pun membuka praktek dokter umum. Lokasinya di daerah Kota Lama yang kebetulan banyak masyarakat kurang mampu di sana. Kepada mereka, setelah memeriksa dan memberi obat tidak dikenakan biaya, tetapi mendoakan. Bagi pasien yang lain yang mau memberi, tanpa ada tarif yang ditentukan. Oma mengingat saat  menerima pasien di klinik, Roh Kudus dengan jelas menggerakkan hatinya, “Pasien itu tidak dimintai uangnya, tetapi didoakan,” Ingat Oma.  Oma melakukan ini, mengingat doanya telah dijawab Tuhan, walaupun prosesnya panjang. Kini menjadi dokter dan harus menepati janjinya melayani Tuhan, mewujudkannya di ruang praktek. Ditengah-tengah menjalankan profesi sebagai seorang dokter, hati Oma terus berkobar-kobar untuk mengajak setiap orang yang ditemui untuk berdoa membangun persekutuan. ”Hidup saya begitu sepi tanpa persekutuan. Saya terus penuh kerinduan membentuk kelompok-kelompok kecil untuk tetap berdoa,” kisah Perintis berdirinya Perkantas di Kendari ini, antusias. Dan Tuhan tetap membuka jalan. Dengan bertemu beberapa rekan dokter, Oma mulai membentuk persekutuan medis. Tak hanya itu, menggerakkan beberapa wanita dan memulai Jaringan Doa Wanita, bahkan memulai Jaringan Doa Anak, bahkan kini terlibat dalam pelayanan lansia.

Berdoa; Terus Melayani

Seiring bertambahnya usia, semakin lemah dan terbatas. Namun, semangat yang besar akan membuat yang tua tetap muda untuk terus melakukan yang berguna. Itulah yang dapat dilihat pada Ibu dari Monika Gracella dan Joice Sola Gratia ini. Walau seluruh rambutnya telah memutih namun semangatnya tetap muda untuk terus berdoa dan melayani.

Dalam melayani ada penolakan-penolakan yang terjadi, karena tak mudah orang lain menerima perubahan baru. Tak hanya itu, dalam karierpun harus batal memegang jabatan struktural di kantor tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Namun, Tuhan mengajar Oma untuk menerima situasinya dan mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan, sambil terus berjuang. ”Kuncinya adalah kegigihan dan daya tahan, serta belajar memiliki sikap hati yang benar, walau yang kita harapkan belum sesuai harapan.  Sebab, pada akhirnya banyak orang yang menerima pelayanan ini dengan tangan terbuka, dan kami pun menyaksikan buah-buahnya,” kisah Dokter Teladan Kabupaten Kendari, 1983 ini penuh haru. Inilah pelajaran mahal yang membentuk Oma melihat tangan Tuhan yang terus menolong.

Pada akhir Juli 2007 Oma dan suami berangkat ke Jakarta untuk kemudian lanjut ke Bekasi. ”Memulai hidup baru di di kota besar sangat tidak mudah. Kami setengah mati melalui masa-masa adaptasi karena tidak ada yang kami kenal waktu itu,” Aku Oma tiga cucu ini, jujur. Memasuki masa pensiun, Oma memutuskan untuk tidak membuka praktek dokter. Tuhan kembali meneguhkan panggilannya untuk menekuni pelayanan doa. Kerinduan ini terus memanggil-manggil di relung hati.

Pada tanggal 30 Oktober 2010 Oma berkesempatan memfasilitasi berdirinya Jaringan Doa Pemuda & Mahasiswa (JDPM) Kec. Medan Satria Bekasi. Tidak lama setelah itu, Tuhan kembali menggerakkan untuk membuka jaringan doa, khusus untuk anak atau Jaringan Doa Anak (JDA), menjangkau anak-anak di lingkungan sekitar rumah. ”Kalau dipikir-pikir, memang seperti inilah panggilan hidup saya; berdoa. Mau dilepas bagaimanapun, tetap ‘larinya’ ke doa lagi. Mungkin inilah yang dinamakan panggilan sejati,’ ungkap Penerima piagam Tanda Kehormatan Persiden RI tanggal 17 April 2002 dan 27 Oktober 2003 ini, tersenyum.

Omapun tergerak membuat modul Prima di Segala Usia dari Lahir sampai Lansia (La-La). ”Modul ini memberi penekanan pada relasi kita dengan Tuhan. Berapapun usia kita dan berada di fase manapun hidup kita saat ini, jika kita tetap di dalam Tuhan, akan tergerak untuk melayani,” tutup pemilik buku Prima di Segala Musim Kehidupan ini, menutup kesaksiannya.

Recommended For You

About the Author: Lidya Wattimena

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *