Meitasari: Lonceng Gereja Memanggilku

Terlihat perempuan 60 tahun ini, merapikan hasil masakannya untuk siap dikemas pada kantong-kantong yang sudah disiapkan, kemudian  menggendongnya keluar rumah. Menunggu di stasiun kereta dengan repotnya. Perjalanan dilanjutkan dengan kendaraan umum. Tiba-tiba berhenti di sebuah gedung bertuliskan Wisma Bersama, ternyata dirinya jauh-jauh dari Depok ke Salemba karena ingin beribadah.

Dengan keringat yang mulai membasahi wajahnya, namun senyum dan suara girangnya tetap penuh semangat dan sukacita. Disambut para wanita yang siap-siap untuk beribadah, dan mulai menyambut, “Selamat datang ibu Ketua.” Ternyata perempuan ini adalah ketua Persekutuan Wanita yang dipercayakan kepadanya selama 7 tahun.

Penuh perhatian, walau melewati perjalanan yang cukup jauh dengan kereta dan kendaraan umum, dirinya tetap mau repot membawakan makanan hasil buatan sendiri, sebagai wujud pelayanannya bagi peserta Persekutuan Wanita, untuk dapat mencicipinya bersama. Kebiasaan ini dilakoni Meitasari dengan tulus dan penuh sukacita.

Dibalik kesetiaan dan kepeduliannya dalam pelayanan, ada alasan mendasar dari istri Hasahatan P Sirait ini, demi untuk belajar Firman Tuhan.  Ibu 4 orang anak ini berjuang untuk selalu menghadiri pertemuan-pertemuan rohani, agar mendapatkan kepenuhan kebenaran yang menghidupkannya dalam Kristus.

MASA KECIL DAN LONCENG GEREJA

Putri Mayor Sarjono dan Nina Martini ini, terlahir sebagai anak muslim yang taat. Ketertarikannya terhadap hal rohani telah terbentuk sejak kecil, bukan karena dorongan orang tua atau keluarga, tapi diyakininya kini, sebagai anugerah Tuhan yang telah menghantarnya menjadi pribadi yang percaya pada Kristus.

Terdengar lonceng gereja berbunyi, wajah anak perempuan itu berseri sambil melompat kegirangan. “Aku mau ke gereja,” teriaknya penuh kerinduan. Namun kegirangan itu tersendat, karena disadarkan nenek dan kakeknya, “bukan di situ tempatmu.” Wajah anak lincah itu mulai berkerut, berupaya memahami kata-kata itu, namun kerinduan hati pada panggilan lonceng gereja, tak berhenti menggodanya untuk tetap mau ke sana. Anak perempuan itu adalah Meitasari kecil, yang dibesarkan oleh nenek dan kakeknya, terpisah dari orang tuanya,  karena harus bekerja di kota yang berbeda.

“Saat di Bandung, Saya tinggal bersama Nenek dan Kakek. Rumahnya berdekatan dengan gereja. Saya tinggal di sana selama 4 tahun, dari SD kelas 1- 4 di sana,” kenang Meitasari, yang kala itu bersekolah di salah satu sekolah dasar Katolik di Bandung.

JAKARTA, PERTEMUAN MENJADI KRISTEN

Perjalanan hidup terus bergulir, ada tangan Sang Penguasa yang mengatur serta mengendalikan hidup setiap manusia. Meitasari kecil, telah mendapat kesempatan diperkenalkan tentang kekristenan melalui sekolah dan lonceng gereja yang memanggilnya setiap Minggu pagi. Kini, Penyuka memasak ini harus berpindah tempat tinggal di Jakarta, mengikuti tugas papa mamanya di Jakarta.

Sejak di Jakarta, Meitasari bertumbuh menjadi gadis dewasa Islam Fanatik. Rajin mengaji, sholat tahajud, semua dilakukan dengan giat walau tak tahu artinya. “Kasihan banget orang Kristen masuk neraka, sukanya pesta, mabuk-mabukkan,”Ungkap Meitasari, melihat orang Kristen tidak menjadi berkat saat itu dimatanya.

“Saya dulu diceritakan tentang Neraka, yang digambarkan sebagai tempat siksaan yang mengerikan dan penuh kesengsaraan bagi orang-orang kafir dan pendurhaka. Sedangkan, Surga adalah tempat kebahagiaan abadi yang penuh kenikmatan, disediakan bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh.   Maka, Shiratal Mustaqim adalah jembatan atau titian yang harus dilewati oleh setiap makhluk di atas neraka menuju surga pada Hari Kiamat. Gambarannya  “seperti rambut 1 dibagi 7” atau “setipis rambut dibelah tujuh”, Jembatan ini digambarkan sangat tipis dan tajam, sebagai kiasan betapa sulitnya perjalanan akhirat dan pentingnya berada di jalan kebenaran di dunia ini. Makanya, Saya mau masuk Surga, dengan hidup saleh,” kisah  Meitasari, jujur, penuh antusias.

Kesalehan yang dilakukan Meitasari adalah karena kerinduannya untuk mendapat tempat di Surga. Semua yang baik berasal dari Tuhan, maka Tuhan mempertemukannya dengan seorang pria Kristen. Bertumbuhnya rasa cinta, karena dikasihi dan diperhatikan oleh pemuda Batak ini, semasa kuliah di Universitas Moestopo dalam bidang studi ekonomi perusahaan. Akhirnya cinta Meitasari dan Hasahatan P Sirait, berlabuh di pelaminan pada tahun 1982.

Pernikahan di gereja dan berpindah status sebagai orang percaya, mengantar Meitasari mulai bertekad tidak mengingkari janjinya untuk menjadi seorang Kristen yang taat. Mendapat penolakan dari keluarga, tidak menjadikannya hancur, namun semakin tangguh berjuang karena satu keyakinan: “Saya harus ikut Yesus,” tekad perempuan tangguh ini dengan teguh penuh keyakinan. Inilah Cara Tuhan memberi kasih karunia bagi Meitasari, untuk melangkah dalam ketaatan pada sebuah janji dan keyakinan barunya. Di tahun 2005, pengalaman ajaib dialami Meita, Lidahnya tidak keluh lagi, untuk  dapat memanggil nama Tuhan Yesus.

Tuhan mengaruniakan putra-putri sebagai upah pernikahan, dan bertumbuh menjadi seorang Kristen mandiri. Kesadaran membutuhkan Tuhan mendorong Ibu dari Selly ini membangun mezbah doa untuk berdoa dan membaca Firman Tuhan setiap pagi pukul. 05.00 di rumahnya. Perjalanan mencari sendiri arti pengenalan akan Kristus dan firman-Nya, dijalani tanpa menyerah, dengan pengharapan pada pertolongan TUHAN. Berusaha belajar Firman Tuhan melalui setiap ibadah, seminar, bahkan pembelajaran-pembelajaran singkat yang diikutinya, dan yang dibangun dalam mezbah doa keluarganya.

“AKU yang mengasihi kamu,” suara itu menggetarkan Meitasari dalam pencarian untuk mengenal Kristus secara pribadi.  “Tuhan ITU hidup dan ada bersama kita,” saksi Meita. “Kenyataannya dalam setiap pergumulanku dan keluarga, semuanya bisa dilewati, penuh keajaiban,” tambah Meita menegaskan.

“Tuhan itu baik kepada saya, Janjinya ya dan amin. Tuhan yang menjawab setiap doa dan memberi kekuatan bagi saya dalam setiap persoalan,” tandas Meita karena mengalami pertolongan-pertolongan  tak terduga. “Maka, Carilah Tuhan dan kebenaran-Nya, maka semua ditambahkan. Itu iya dalam hidup saya,” saksi Meitasari berlinang air mata, penuh keharuan karena kebaikan Tuhan yang dialami dan dirasakannya nyata.

Proses panjang menjadi istri bagi suami, dan ibu bagi keempat buah hatinya, dilewati dalam perjalanan yang tak mudah. Tuhan menolong dan bersama Meita sekeluarga dengan penuh syukur.

“Jika karena ingin masuk surga, saya berjuang hidup saleh dan taat, kini melalui suami, saya menemukan jalan kepastian ke rumah kekal: Surga, hanya ada dalam Kristus”, ungkap Opung 7 cucu ini, yakin dan penuh syukur. Inilah yang menumbuhkan sukacita melayani dan kemauan untuk bertumbuh dalam Tuhan, yang telah menggetarkan hidupnya sejak lama, dan menjadikan dirinya perempuan yang giat untuk beribadah dan melayani.

“Allah turut bekerja dalam segala sesuatu. Mengapa tidak mau mengikuti-Nya?. Doa dan harapanku: suami dan anak-anakku takut akan Tuhan. Betapa bahagianya kalau kami sama-sama dalam Tuhan. Bukan manusia yang memilih Tuhan, namun Tuhan yang memilih kita menjadi anak-anak NYA. Tuhan Yesus nomor satu, dan hidup ini hanya untuk memuliakan Tuhan. Apalagi yang mau kita cari, mudah bagi Tuhan jika DIA berkenan,’ ungkap Meita dalam kesadaran dan komitmen, hidup bagi kemuliaan Tuhan.

Tuhan mengantar Meitasari bertemu pribadi dengan-Nya, melalui pernikahan dan perjalanan panjang mencari kebenaran. Tak mudah, namun membahagiakan, karena kepastian keselamatan dan janji yang tak pernah lalai. Seakan berjuang sendiri, ternyata tidak sendiri, karena Tuhan hadir dan menyatakan pertolonganNya. Perjuangan itu tak ada akhirnya, sebelum Tuhan memanggil pulang. Namun perjuangan itu penuh nilai untuk mengasihi jiwa-jiwa lain, supaya datang dan hidup dalam Kristus, yang adalah KEPASTIAN hidup yang kekal, tinggal di Surga mulia.

Recommended For You

About the Author: Lidya Wattimena

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *