Pak Pendeta, kampanye pilpres ini membuat saya terusik juga karena simbol-simbol keagamaan mulai dibawa-bawa. Sebagaimana kita ketahui, belum lama ini ada parpol yang mengusulkan agar istri capres SBY dan istri cawapres Boediono memakai jilbab. Usul ini mungkin untuk mengimbangi istri-istri Pak Jusuf Kalla dan Wiranto yang mengenakan jilbab.
SAUDARAKU Hala Santama yang dikasihi Tuhan, menarik apa yang Anda pertanyakan. Mengenai simbol-simbol keaga-maan dibawa-bawa, khususnya dalam konteks kampanye bukan hanya monopoli pemakaian jilbab saja. Dalam menarik simpati kons-tituen hampir setiap partai mema-kai simbol-simbol keagamaan se-suai dengan target yang ingin dicapai. Soal simbol keagamaan seperti ini menurut hemat saya tidaklah elok dibawa ke ranah politik. Hal seperti ini sangat rawan benturan dan kecurigaan menda-lam antara masing- masing peng-guna simbol. Di sisi lain juga sangat manipulatif terhadap kemurnian keimanan, apa pun agamanya. Nah, dalam kasus SBY-Boediono, apa yang diusulkan parpol koalisi adalah dalam rangka membangun citra yang muslimah. Di sini, kasus-nya bisa berbeda dengan pema-kaian simbol keagamaan umum-nya. Misalnya istri Pak JK dan Wiran-to, setahu saya selalu berjilbab, jauh sebelum kampanye. Jadi, jilbab bagi istri pasangan JK-Win gaya berpakaiannya, yang sering disebut sebagai model yang musli-mah. Bahwa kemudian, jika istri masing-masing pasangan SBY-Boediono juga memakainya dalam masa-masa kampanye ini, tentu saja tak dapat kita larang. Ada banyak alasan untuk menggunakan jilbab, sekalipun mungkin hanya sesaat. Itu soal pemakian jilbab dalam masa kampanye.
Lalu, mengapa wanita Kristen masa kini tidak mengenakan keru-dung? Mari kita lihat apa yang ter-catat di Alkitab. Dalam Alkitab ada disebut tentang “ikat-ikat kepala” yang biasa dipakai perempuan Israel, semacam selendang, yang da-lam bahasa Ibrani disebut mith-pakhat (Yesaya 3: 23). Paulus mengajarkan agar perempuan-perempuan Korintus mengenakan tudung kepala (1 Korintus 11: 2-10). Penutup kepala untuk pe-rempuan, atau yang biasa kita sebut kerudung adalah bagian dari cara perempuan Israel berpakaian. Kerudung ini terdiri dari beberapa macam. Untuk perempuan kala-ngan atas, biasanya mereka mema-kai kerudung yang lebih panjang. Sementara pada perempuan kelas bawah, kerudung juga sering dimanfaatkan untuk membawa atau membungkus barang.
Nah, ini lebih menyangkut kepada tradisi Yahudi ketimbang unsur teologis. Jadi dalam tradisi Yahudi, bahkan kemungkinan di wilayah Timur Tengah, pemakain kerudung adalah biasa. Dan keru-dung sudah dikenal sejak era Perjanjian Lama, jauh sebelum Tuhan Yesus Kristus datang ke dunia. Bah-wa, apakah tidak se-baiknya wanita Kristen di Indonesia berkeru-dung, itu adalah hal yang relatif, itu soal selera berpakaian. Para suster misalnya, semua memakai kerudung se-bagai uniform mereka. Dengan mudah kita bisa mengenali suster Katolik dengan pakaian mereka yang khas. Namun, dalam Protestan juga ada susteran seperti yang diketuai oleh Ba-silea Schlink. Mereka juga memakai kerudung yang sama dalam model yang sedikit berbeda.
Jadi, orang Kristen di Indonesia yang memakainya juga ada, yaitu para suster. Artinya kerudung ini bukan hal yang asing bagi kekris-tenan. Bahwa berkerudung diang-gap sebagai pakaian yang sopan, agung dan berwibawa, sangat ter-gantung pada pemakainya. Karena Alkitab juga mengajarkan bahwa kecantikan sejati (sopan, agung, wibawa) seorang wanita bukan terletak pada pakaian atau perhia-sannya, melainkan sikap hatinya (Amsal 31: 30). Nah, Hala yang dikasihi Tuhan, menurut hemat saya, kerudung biarlah dipakai sebagai kesukaan dari seseorang, bukan sebagai kewajiban, apalagi paksaan. Dan seperti yang dikatakan di atas, pakaian memang bisa saja mencermikan pribadi si pemakai, tetapi juga bisa jadi “pembungkus” suatu rahasia. Akhirnya, sekali lagi, yang penting adalah perilaku pemakainya.
Dalam konteks Korintus, Paulus meminta wanita berkerudung sangat lokalistik, karena dia tidak me-nuliskan itu kepada jemaat perem-puan di kota lainnya. Korintus me-mang diwarnai oleh berbagai hal yang tidak sejalan dengan kekriste-nan, mulai dari makanan berhala, hingga penyalahgunaan kebebasan. Paulus ingin jemaat itu hidup tertib (1 Korintus 14: 40), dalam ibadah, termasuk dalam berpakaian. Jadi konteks ini tidak dapat digeneralisasi. Hal yang situasional, yang sangat bergantung pada kondisi yang ada, bisa jadi pilihan yang tepat, dan memiliki nilai lokal yang baik. Kasus ini mirip dengan sunat bagi orang Yahudi. Mereka terjebak hanya pada nilai sunat secara ritual saja, padahal Tuhan mau sunat juga harus dipaha-mi sebagai sunat hati (spiritual). Ak-hirnya sunat yang memang baik secara medis itu menjadi kehilangan makna yang sesungguhnya.
Jadi, jika ada perem-puan Kristen yang me-makai kerudung, dia tidak boleh terjebak pada model pakaian itu. Dia tidak boleh berpikir bahwa dengan berpa-kaian seperti itu maka dia adalah wanita yang baik. Karena sifat baik bukan soal model pa-kaian, melainkan perila-ku hidup. Jaman seka-rang, di era fashion yang multimodel, banyak fal-safah yang coba diba-ngun. Model pakaian diberi makna yang men-dalam, namun sangat “aksesoris”, karena sama sekali tidak mencermin-kan originalitas karakter pemakai-nya. Dan inilah era kita.
Akhirnya berkerudung atau tidak, sah-sah saja, tetapi me-nyimpulkan bahwa perempuan berkerudung berarti perempuan yang sopan, agung dan wibawa, tentu saja patut dipertanyakan, sekalipun sebagai model memang tampak sopan. Demikianlah Hala Santama yang dikasihi Tuhan, jawaban yang dapat saya berikan, semoga bisa menjadi inspirasi dan berkat yang limpah. Akhirnya salam hangat dari saya, terus setia berinteraksi dengan REFOR-MATA, Tuhan memberkati kita. v
Lalu, mengapa wanita Kristen masa kini tidak mengenakan keru-dung? Mari kita lihat apa yang ter-catat di Alkitab. Dalam Alkitab ada disebut tentang “ikat-ikat kepala” yang biasa dipakai perempuan Israel, semacam selendang, yang da-lam bahasa Ibrani disebut mith-pakhat (Yesaya 3: 23). Paulus mengajarkan agar perempuan-perempuan Korintus mengenakan tudung kepala (1 Korintus 11: 2-10). Penutup kepala untuk pe-rempuan, atau yang biasa kita sebut kerudung adalah bagian dari cara perempuan Israel berpakaian. Kerudung ini terdiri dari beberapa macam. Untuk perempuan kala-ngan atas, biasanya mereka mema-kai kerudung yang lebih panjang. Sementara pada perempuan kelas bawah, kerudung juga sering dimanfaatkan untuk membawa atau membungkus barang.
Nah, ini lebih menyangkut kepada tradisi Yahudi ketimbang unsur teologis. Jadi dalam tradisi Yahudi, bahkan kemungkinan di wilayah Timur Tengah, pemakain kerudung adalah biasa. Dan keru-dung sudah dikenal sejak era Perjanjian Lama, jauh sebelum Tuhan Yesus Kristus datang ke dunia. Bah-wa, apakah tidak se-baiknya wanita Kristen di Indonesia berkeru-dung, itu adalah hal yang relatif, itu soal selera berpakaian. Para suster misalnya, semua memakai kerudung se-bagai uniform mereka. Dengan mudah kita bisa mengenali suster Katolik dengan pakaian mereka yang khas. Namun, dalam Protestan juga ada susteran seperti yang diketuai oleh Ba-silea Schlink. Mereka juga memakai kerudung yang sama dalam model yang sedikit berbeda.
Jadi, orang Kristen di Indonesia yang memakainya juga ada, yaitu para suster. Artinya kerudung ini bukan hal yang asing bagi kekris-tenan. Bahwa berkerudung diang-gap sebagai pakaian yang sopan, agung dan berwibawa, sangat ter-gantung pada pemakainya. Karena Alkitab juga mengajarkan bahwa kecantikan sejati (sopan, agung, wibawa) seorang wanita bukan terletak pada pakaian atau perhia-sannya, melainkan sikap hatinya (Amsal 31: 30). Nah, Hala yang dikasihi Tuhan, menurut hemat saya, kerudung biarlah dipakai sebagai kesukaan dari seseorang, bukan sebagai kewajiban, apalagi paksaan. Dan seperti yang dikatakan di atas, pakaian memang bisa saja mencermikan pribadi si pemakai, tetapi juga bisa jadi “pembungkus” suatu rahasia. Akhirnya, sekali lagi, yang penting adalah perilaku pemakainya.
Dalam konteks Korintus, Paulus meminta wanita berkerudung sangat lokalistik, karena dia tidak me-nuliskan itu kepada jemaat perem-puan di kota lainnya. Korintus me-mang diwarnai oleh berbagai hal yang tidak sejalan dengan kekriste-nan, mulai dari makanan berhala, hingga penyalahgunaan kebebasan. Paulus ingin jemaat itu hidup tertib (1 Korintus 14: 40), dalam ibadah, termasuk dalam berpakaian. Jadi konteks ini tidak dapat digeneralisasi. Hal yang situasional, yang sangat bergantung pada kondisi yang ada, bisa jadi pilihan yang tepat, dan memiliki nilai lokal yang baik. Kasus ini mirip dengan sunat bagi orang Yahudi. Mereka terjebak hanya pada nilai sunat secara ritual saja, padahal Tuhan mau sunat juga harus dipaha-mi sebagai sunat hati (spiritual). Ak-hirnya sunat yang memang baik secara medis itu menjadi kehilangan makna yang sesungguhnya.
Jadi, jika ada perem-puan Kristen yang me-makai kerudung, dia tidak boleh terjebak pada model pakaian itu. Dia tidak boleh berpikir bahwa dengan berpa-kaian seperti itu maka dia adalah wanita yang baik. Karena sifat baik bukan soal model pa-kaian, melainkan perila-ku hidup. Jaman seka-rang, di era fashion yang multimodel, banyak fal-safah yang coba diba-ngun. Model pakaian diberi makna yang men-dalam, namun sangat “aksesoris”, karena sama sekali tidak mencermin-kan originalitas karakter pemakai-nya. Dan inilah era kita.
Akhirnya berkerudung atau tidak, sah-sah saja, tetapi me-nyimpulkan bahwa perempuan berkerudung berarti perempuan yang sopan, agung dan wibawa, tentu saja patut dipertanyakan, sekalipun sebagai model memang tampak sopan. Demikianlah Hala Santama yang dikasihi Tuhan, jawaban yang dapat saya berikan, semoga bisa menjadi inspirasi dan berkat yang limpah. Akhirnya salam hangat dari saya, terus setia berinteraksi dengan REFOR-MATA, Tuhan memberkati kita. v