Menyiasati Harta, Bukan Diperalat Harta

“Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang”

Demikian Paulus pernah tuliskan dalam suratnya kepada Timotius (1 Timotius 6:10), mengkritisi perilaku keliru umat di zaman itu. Mereka yang sepertinya begitu bangga telah bisa “memperalat” harta, padahal yang terjadi justru sebaliknya, nyatanya mereka justru tengah diperalat oleh harta.
Benar, harta bukan benda haram yang bisa menajiskan orang. Memilikinya pun tak lantas berarti salah atau dosa. Justru upaya untuk mengharamkan segala harta benda dan uang supaya bisa masuk sorga, bukanlah cara yang pas, kalau tak mau memakai istilah, salah sama sekali. Atau seperti pada arah pendulum sebaliknya, dengan “bercita-cita” menjadi orang melarat, supaya nanti bisa cepat melenggang masuk sorga.
Bukan tak pernah ada, sejarah menunjukkan hal serupa juga pernah ada dan terjadi. Dalam gereja pun pernah muncul ordo-ordo unik yang meyakini bahwa di dalam kesulitan dan kemiskinanlah kebenaran itu ada dan nyata. Berdasarkan apa yang dipercayai itu, banyak diantara mereka yang tadinya kaya-raya, rela menjual seluruh harta bendanya, sampai akhirnya tidak memiliki apa-apa lagi. Lalu, hasil penjualan harta benda yang jumlahnya sangat banyak itu dipersembahkan bagi pelayanan sosial kepada orang-orang miskin. Mereka sendiri pun akhirnya merelakan diri hidup sebagai orang miskin. Sebuah pilihan sikap yang sepertinya anti terhadap harta duniawi.
Ada juga di antara mereka yang mempraktikan askese (menyiksa diri) dalam menjalani sisa hidupnya. Mereka rela mengubur diri ke dalam tanah sampai sebatas leher. Ada juga yang sengaja tidur di atas pohon selama berbulan-bulan sampai kulitnya menempel dengan kulit pohon itu. Saking lamanya bahkan kulit jadi menyatu dengan pohon, tak ayal belatung pun mulai muncul. Semakin banyak belatung, konon dipercayai, semakin hebat dan ajaiblah dia.
Konsep-konsep semacam ini tumbuh dan berkembang di abad pertengahan. Meski meraih “sukses” di masa itu, tetapi kita tak perlu meniru. Tak usahlah terlalu ekstrim kiri atau ekstrim kanan seperti itu. Juga tak perlu ngotot bercita-cita untuk menjadi orang yang superkaya, sebagai alat untuk efektif melayani. Sebaliknya juga tak usah bercita-cita hidup miskin hanya untuk membuktikan Tuhan ada di hidup ini. Biarlah seberapa yang Tuhan percayakan kepada kita, itu yang dimaksimalkan. Sebaliknya apa yang tidak dipercayakan olehNya, usahlah lakukan. Hal seperti ini adalah bentuk aktualisasi dari apa yang pernah Yakobus tuliskan. Bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati. Artinya, orang beriman pasti berbuat sesuatu yang berguna bagi sesama dan menyenangkan hati Tuhan.
Begitu juga ketika orang dipercayakan harta kepadanya. Dengan harta yang ada seyogyanya orang bisa memakai untuk menyatakan kemuliaan Tuhan. Dipakai sebagai ekspresi rasa syukur karunia Allah yang besar kepada kita. Dia yang telah menebus dan sudah mengampuni dosa kita, Dia juga yang telah berbuat banyak, memberi banyak, untuk kita. Dengan harta yang dipercayakan kepadanya, maka orang yang diampuni oleh Tuhan, mestinya mampu menjadikannya sebagai sarana untuk berbuat baik. Tuhan kita bukan lantaran kita memberkati atau memberi berkat kepada orang lain, tapi karena Dia ingin memberkati orang yang hidup dalam kebenaran, berdasar kehendak dan keinginan Tuhan sendiri. Karena itu, jangan pernah memberi dengan motivasi ingin mendapat berkat ilahi, sebab Tuhan tidak mungkin bisa dobodohi oleh manusia. Allah tahu apa motivasi seseorang sewaktu memberi persembahan. Tetapi jika kita memberi dengan sungguh-sungguh dan rela, maka niscaya berkat yang akan kita dapatkan dari Tuhan sungguh melimpah. Tuhan akan memberikan segala apa yang menjadi kebutuhan hidup kita. Orang percaya juga musti mampu menyiasati setiap uang yang ada, dan bukan malah diperalat oleh uang. Kemampuan memanfaatkan uang secara baik akan menjadi pembeda antara anak terang dan anak yang bukan terang. Jangan sampai kita justru dibodohi dan diperalat oleh uang. Jika kita suka membagi-bagi uang kepada orang lain dengan maksud supaya kita dikenal dan dihormati, itu adalah suatu tindakan bodoh, karena kita telah diperalat uang. Oleh karena itu, kita yang mengaku percaya kepada Tuhan, seharusnya mampu mengaktualisasikan iman itu dalam kehidupan secara tepat. Jangan merasa berbuat baik terhadap sesama manusia karena suka membagi-bagikan uang. Relasi yang baik tidak akan pernah tercipta hanya karena uang yang ada. Dapat menjalin pergaulan yang harmonis dan beretika itu yang menjadi kuncinya. Gaya hidup yang penuh etika akan membuat setiap orang merasa senang dan kagum terhadap kita. Hingga pada akhirnya, interaksi yang sangat bagus ini akan bisa pula mengantarkan kita menjadi pribadi yang bisa dipercaya oleh orang, pun atasan. Dan bukan mustahil atasan akan memberikan promosi jabatan dan memberikan kedudukan terhormat kepada kita. (disarikan oleh slawi)

Recommended For You

About the Author: Reformata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *