
Pdt. Bigman Sirait
Follow @bigmansirait
Persepuluhan yang diajarkan, dipraktekkan, seringkali tak dipahami maksud dan tujuannya. Ironi, tapi itulah hidup keagamaan, melakukan karena anjuran, namun minus pengetahuan. Praktek persepuluhan dianggap sebagai ajaran Alkitab yang khas umat pilihan. Tak salah, namun juga tak benar sepenuhnya. Praktek persepuluhan juga dikenal oleh bangsa-bangsa kuno.
Abraham adalah orang pertama yang dicatat memberikan persepuluhan kepada imam Melkisedek sebagai hormat, upeti, atas kemenangannya berperang (Kejadian 14:17-20). Abraham bapak moyang Israel, tapi bukan Israel. Dan, Melkisedek jelas lebih jauh lagi. Israel adalah cucu dan buyut Abraham. Praktek persepuluhan sudah ada sebelum Israel, atau sebelum Taurat ada.
Lalu, pada masa Israel berdiri sebagai sebuah bangsa, lepas dari perbudakan Mesir dan menduduki tanah Kanaan. Dalam pembagian tanah untuk 12 suku, Lewi yang dihususkan sebagai Imam tidak mendapatkan tanah pusaka. Imam tak boleh berusaha, karena itu tak diberi tanah. Untuk menghidupi suku Lewi dan kebutuhan pelayanan Bait Allah, maka 11 suku memberikan persepuluhan mereka dari hasil yang mereka peroleh sebagai petani atau peternak. Jumlah yang dikumpulkan untuk keperluan Bait Allah dan Imam adalah 11×10= 110%. Sementara 11 suku, masing-masing memegang 90%. Jelas Alkitab tak mengajar dan membuat Imam lebih kaya dari pengusaha (110:90). Penerimaan 110%, tidak diperuntukkan hanya bagi kesejahteraan Imam, dan kebutuhan pemeliharaan Bait Allah. Tapi juga untuk menolong para janda miskin, anak yatim Israel, dan orang non Israel (Ulangan 14:22-29). Sangat jelas maksud dan tujuan persepuluhan adalah untuk menciptakan keseimbangan dimana keadilan itu tampak nyata (band 2 Korintus 8:13). Bukankah kesimpulan Taurat tentang hubungan antar sesama manusia, untuk mengasihinya seperti diri sendiri. Dan inilah kehidupan umat pilihan yang sesungguhnya. Namun dikemudian hari, Imam dan para rabbi Yahudi, menambahkan berbagai ketentuan yang diatur dalam Misna, ajaran lisan para rabbi, dan Talmud ajaran tertulis yang terdiri dari misna dan tafsir tentang hukum yang diberlakukan.
Dalam Matius 23:23; Yesus Kristus menegur keras para Imam sebagai orang yang memungut persepuluhan, tetapi tidak menegakkan keadilan, mengabaikan hak janda miskin dan orang asing. Para Imam getol mengumpulkan persepuluhan, dengan mengajarkan berbagai aturan yang menguntungkan diri sendiri, yang mereka atur dalam Misna dan Talmud. Mereka merampok, memperkaya diri, padahal mereka dipanggil untuk melayani, menyuarakan kebenaran, dan menegakkan keadilan. Ada banyak bagian Alkitab, baik PL maupun PB yang mencatat kebusukan para Imam dalam memanipulasi persepuluhan sebagai sumber kekayaan pribadi dan keluarganya. Firman Tuhan mereka jadikan topeng, yang diajarkan hanya yang menguntungkan diri. Miris, itulah realita praktek para Imam sejak dulu kala.
Jelas sekali praktek persepuluhan didalam PL untuk menciptakan keseimbangan kehidupan antar umat. Itu juga sebabnya orang miskin diperbolehkan memungut gandum, anggur, yang terjatuh. Juga diatur kewajiban untuk saling tolong menolong ( Imamat 19:10, Ulangan 22:1-4). Kini, sama seperti yang dulu, ada banyak ajaran yang dibangun dengan mengutip satu dua ayat, lepas dari konteksnya, demi legalisasi memungut keuntungan pribadi.
Persepuluhan sebagai sumber kekayaan pribadi Imam tak dapat dipungkiri. Sementara umat yang hidup dalam kemiskinan, dengan kasat mata kita menyaksikannya. Dimasa Tuhan Yesus, para Imam kebanyakan tinggal di Yerikho, daerah pemungkiman mewah pada waktu itu. Baju mahal dan gaya hidup yang wah. Yesus Kristus mencela mereka; diluar tampak benar, didalam busuk. Kehidupan mereka bagai kuburan, yang dilaburi putih diluar tapi tulang belulang, dan kotoran, didalamnya (Matius 23:27-28).
Dimasa kini, pola hidup para Imam juga setali tiga uang. Sementara umat tetap dalam kebutaan. Dua ribu tahun berlalu sejak masa Kristus, ternyata gereja tak juga maju dalam pemahaman yang benar. Umat mencintai gereja dan pendetanya, bukan Tuhan nya. Ah, terasa sinis ya, tapi itulah realita. Jika saja umat belajar jadi umat yang benar, kritis pada tafsir, pasti umat akan menolong para pemimpin gereja agar tak tercebur dalam jurang uang. Sikap umat yang masa bodoh menumbuh kembangkan kekacauan yang ada. Alasan, itu urusan pemimpin gereja dengan Tuhan telah menyuburkan penyelewangan. Umat juga bertanggungjawab, karena Firman Tuhan jelas mengajarkan agar umat berhati-hati terhadap ajaran salah, dan berani mengatakan kebenaran.
Dalam PB (masa anugerah) jelas sekali diatur bahwa persembahan bukan lagi kewajiban seperti di PL (masa Taurat). Dalam 2 Korintus 8:12; diajarkan agar persembahan berdasarkan apa yang ada pada kita (bukan keharusan persentase), dan diberi dengan sukarela. Diayat sebelumnya, jemaat Makedonia yang miskin memberi dengan rela sebagai rasa syukur. Paulus sebagai rasul memuji mereka, karena mereka tidak berhitung untung rugi, sekalipun mereka miskin secara ekonomi, tapi kaya dalam iman. Berbanding terbalik dengan banyak orang yang kaya secara ekonomi, namun miskin iman, sehingga dalam memberi persembahan berhitung timbal baliknya. Jemaat PB memberi karena sudah ditebus oleh Yesus Kristus, bukan berdasarkan pembagian tanah pusaka. Seratus persen milik kita adalah milik Yesus Kristus yang telah menebus kita dari kematian. Kenapa berhitung? PB tidak mengajarkannya, namun memang tak sedikit orang yang menjadikannya ajaran untuk menjadi sumber kekayaan. Seharusnya, jika persepuluhan diterapkan, harus untuk tujuan mulia, yaitu menolong para janda miskin, orang asing. Bukan monopoli pemimpin gereja. Persepuluhan untuk rumah Tuhan, bukan organisasi gereja. Rumah Tuhan adalah orang percaya disegala tempat, dan disepanjang abad. Umat harus mengerti hal ini.
Dalam Matius 25:31-46, jelas sekali kepedulian pada orang yang tak berdaya, tersisihkan, akan menjadi perhatian serius dikekekalan. Apakah gereja telah memakai persepuluhannya untuk menolong mereka? Sangatlah jahat jika kita memperkaya diri sendiri dengan alasan diberkati Tuhan, tapi lalai menjadi berkat bagi sesama, khususnya mereka yang lemah secara ekonomi. Gereja harus berani menggugat diri sendiri, sehingga tak terjebak pada cinta materi yang akan menjadi akar segala kejahatan dikehidupan ini.
Persepuluhan menjadi sumber kekayaan, tak bisa dipungkiri, karena memiliki daya tarik yang luar biasa. Namun yang sesungguhnya luar biasa adalah hamba Tuhan yang tak tergiur pada tumpukan materi, seperti nabi Elisa yang menolak pemberian Naaman panglima kerajaan Aram yang kaya raya. Naaman disembuhkan dari kusta, Elisa tak menerima, karena dia tak mau menjajakan kemurahan Tuhan sebagai kesempatan mengeduk keuntungan diri.
Ah, semoga saja menjadikan persepuluhan sebagai sumber kekayaan pribadi, terhenti.