
Harry Puspito
(harry.puspito@yahoo.com)*
Reformata.com – SETIAP orang mempunyai standar etika yang mempengaruhi dia dalam berperilaku yang berhubungan dengan dengan masalah salah dan benar. Berbagai faktor mempengaruhi standar etika seseorang, seperti seperti latar belakang dan nilai-nilai keluarga, lingkungan, pengalaman hidup, peranan di masyarakat, dsb., dan terutama iman. Pada akhirnya etika seseorang dalam berperilaku di masyarakat sangat dipengaruhi kedewasaan moralnya yang terbentuk oleh berbagai faktor tadi.
Teori perkembangan moral yang klasik dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg, yang mengelompokkan perkembangan moral orang berdasarkan usianya ke dalam 7 tahapan setelah tahapan ‘tanpa moral’, yaitu ketika bayi melakukan apa saja yang menyenangkan dirinya saja. Tahapan yang masih sangat dangkal ini dan dua tahapan berikut pada masa kanak-kanak – yang ditandai dengan penghin-daran hukuman dan melakukan apa yang memberikan manfaat bagi dirinya – disebut sebagai tahap ‘pra konvensional’
Dua tahap berikut Kohlberg mengategorikan sebagai tingkat konvensional di mana cirinya adalah menyesuaikan dengan harapan orang lain dan terbentuk pada usia anak hingga menjelang remaja. Prinsip yang terbentuk dimulai dari menghindarkan penolakan; kemudian, melakukan tugas yang diberikan dan mematuhi aturan-aturan yang diterapkan.
Tahapan moral yang ‘tinggi’ adalah ‘post conventional’ yaitu ketika seseorang memelihara prinsip-prinsip internal atau pribadi, daripada harapan-harapan orang lain atau lingkungan. Tiga tingkatan dalam tahapan moral ini ditandai dengan menjaga respek dari orang lain; menjalankan prinsip-prinsip pribadi; dan paling tinggi, ketika seseorang hidup dengan prinsip-prinsip yang abadi, universal.
Pribadi yang sehat dan bertumbuh mulai memasuki tahapan post conventional pada usia remaja, dan menjelang pemuda memiliki kemungkinan membangun moral dengan prin-sip-prinsip yang universal itu. Namun kebanyakan moralitas orang tidak berkembang optimal dan berhenti pada tahap-tahap yang lebih rendah (conventional) atau sangat rendah (precon-ventional).
Moralitas dalam diri seseorang ini yang kemudian menentukan bagaimana perilaku etis sehari-hari. Bagaimana sikap kita ketika menghadapi masalah-masalah yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang kita anut sementara kita adalah orang yang beribadah? Misalnya ketika kita diminta untuk berbohong tentang keberadaan atasan kita, memalsukan nilai transaksi suatu jual beli untuk memperkecil pajak yang ditanggung, diminta memberikan uang pelicin untuk mendapatkan suatu proyek dari suatu organisasi, dsb. Sikap yang paling rendah sudah barang tentu adalah melakukan tindakan-tindakan yang tidak etis itu dengan mudah, tanpa rasa bersalah dan enjoy saja malah mungkin dengan bangga. Kita sering menyebut orang Kristen KTP atau orang Kristen Minggu. Di luar hari Minggu dan di luar gereja perilaku mereka tidak kristiani lagi.
Sikap yang sedikit lebih baik ketika seseorang menghadapi masalah etis bergumul walau akhirnya dia menyerah dan melakukan yang tidak benar. Paulus dalam Roma 7 menggambarkan orang yang bergumul dengan kebenaran dan akhirnya melakukan yang tidak benar. Orang-orang yang baru percaya kemungkinan akan banyak mengalami ini menghadapi berbagai kebiasaan lama. Mungkin kita bisa sebut mereka adalah orang-orang Kristen Kalah.
Ketika seseorang semakin bertumbuh, setelah bergumul masalah moral yang diperhadapkan kepadanya, dia mampu menang dan memilih tindakan yang benar, sesuai dengan keyakinannya. Mereka menjadi orang Kristen Pemenang.
Ketika semakin dewasa kerohaniannya maka seseorang akan bisa memilih sikap dan tindakan yang etis tanpa pergumulan lagi. Begitu diperhadapkan dengan suatu kasus, misalnya permintaan suap pengganti tilang di tengah jalan, dia sudah tahu akan menolak dan minta ditilang kalau bersalah. Kita bisa beri nama kelompok ini adalah orang Kristen Profesional.
Suatu penelitian di antara orang Kristen di Hong Kong pada 2009 memberikan nama pada keempat kelompok sebagai Sunday Christians, Strugglers, Panic Followers dan Soldiers; dan ternyata jumlah yang paling banyak adalah dua kelom-pok pertama (28.5% dan 30%). Artinya di Hong Kong, mayoritas orang Kristen adalah dari dua kelas moral yang lebih rendah. Sedangkan jumlah yang paling sedikit adalah segmen keempat, the Soldiers, yaitu 17.6% disusul oleh Panic Followers (23.9%). Oleh karena survei-survei tahunan menunjukkan ko-rupsi di negeri kita jauh lebih buruk dibandingkan dengan Hong Kong, dapat dipastikan profil orang Kristen di negeri kita juga demikian dalam moralitas.
Tantangan bagi gereja adalah menyiapkan jemaat menghadapi tantangan-tantangan etis di lingkungannya. Sekadar ikut ibadah Minggu jelas tidak cukup untuk membangun jemaat dan pemimpin Kristen yang berka-rakter. Hasil penelitian di Hong Kong itu menunjukkan program-program pemuridan, misi jangka pendek dan persekutuan (kom-sel) lebih berdampak daripada partisipasi dalam KKR-KKR dan lokakarya-lokakarya.
Sebagai jemaat yang mau berubah dan bertumbuh mari kita melibatkan diri dalam berbagai kegiatan yang lebih efektif membangun karakter diri ini. Tuhan memberkati.v